Minggu, 07 September 2025

Indonesia Pertahankan Penggunaan Batu Bara di Tengah Target Net Zero Emission 2060: Solusi atau Tantangan

Indonesia Pertahankan Penggunaan Batu Bara di Tengah Target Net Zero Emission 2060: Solusi atau Tantangan
Indonesia Pertahankan Penggunaan Batu Bara di Tengah Target Net Zero Emission 2060: Solusi atau Tantangan

JAKARTA - Di tengah upaya global untuk mengurangi emisi karbon dan mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat, Indonesia tetap memilih untuk mempertahankan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. Keputusan ini mencerminkan pendekatan realistis terhadap tantangan energi negara sambil memperkenalkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS).

Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, Indonesia berencana menggunakan teknologi CCS untuk menangkap emisi karbon dari PLTU batu bara, yang kemudian akan disimpan di bekas sumur minyak dan gas. "Jadi, judulnya batu bara bukan kotor, ini batu bara bersih," kata Bahlil dalam Indonesia Economic Summit di Jakarta, Rabu (19 Februari).

Kombinasi Energi Baru Terbarukan dan Batu Bara

Bahlil menegaskan bahwa Indonesia terus berkomitmen meningkatkan kapasitas energi baru terbarukan (EBT) seperti tenaga surya dan angin. Namun, untuk menjaga agar harga energi tetap terjangkau dan industri tetap kompetitif, strategi yang diterapkan adalah mengombinasikan EBT dengan batu bara. "Kita blending agar harganya pas masuk. Karena kalau tidak, saya yakinkan bahwa kita akan mengalami persoalan yang susah," tambahnya.

Ini merupakan langkah strategis untuk memastikan bahwa produk-produk Indonesia tetap kompetitif di pasar global, meskipun dihadapkan pada pertumbuhan pesat energi terbarukan di negara lain.

Tantangan Implementasi EBT di Indonesia

Salah satu tantangan utama dalam penerapan EBT di Indonesia ialah tingginya biaya produksi listrik dari gas yang jauh lebih mahal dibandingkan batu bara. Selisih biaya tersebut dilaporkan bisa mencapai Rp5-6 triliun per gigawatt (GW) per tahun. Jika Indonesia berencana membangun 10 GW PLTU gas hingga 2029, selisih biaya ini bisa mencapai Rp50 triliun per tahun. Untuk pembangunan PLTU gas hingga 21 GW pada 2034, diperlukan dana sebesar Rp500 triliun.

Di tengah kondisi ini, dua pilihan utama muncul: meningkatkan tarif listrik untuk masyarakat atau memberikan subsidi dari negara. Namun, memberikan subsidi akan meningkatkan beban anggaran negara secara signifikan. "Ini dilema yang sangat luar biasa. Sudah harganya tinggi, gas kita dipakai semua ke sana," ungkap Bahlil.

Selain aspek finansial, ketersediaan gas juga menjadi isu kritis. Diperlukan sekitar 250 kargo gas LNG (Liquefied Natural Gas) untuk mengoperasikan 10 GW PLTU gas per tahun. Dengan jumlah tersebut, hampir seluruh produksi gas dalam negeri akan digunakan untuk kebutuhan listrik, sehingga membatasi ketersediaan untuk sektor lain.
 

Dampak dari Langkah AS dan Keputusan Global

Bahlil juga mencatat bahwa upaya Indonesia untuk memenuhi Paris Agreement menghadapi tantangan pasca keputusan Amerika Serikat keluar dari perjanjian tersebut di bawah kepemimpinan Donald Trump. Hal ini, menurut Bahlil, menunjukkan adanya celah dalam kesepakatan global yang perlu dievaluasi kembali.

Dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2025-2034, Indonesia sudah merencanakan untuk mengurangi pemanfaatan batu bara secara signifikan dan menggantinya dengan gas serta EBT lainnya. Namun, keputusan internasional seperti yang diambil AS, menambahkan lapisan kompleksitas dalam implementasi kebijakan energi tersebut di tingkat domestik.

Strategi Menuju Harga Energi yang Kompetitif

Bahlil menyampaikan bahwa ia telah berdiskusi dengan Presiden Prabowo mengenai pentingnya menyusun strategi agar harga energi tetap terjangkau. "Saya laporkan kepada Pak Presiden, saya bilang kalau batu bara kita ini kan masih banyak, kenapa harus kita ikut gendang negara-negara besar? China, India, masih batu bara, cuma di-blending," ujarnya.

Ke depan, keharusan untuk tetap menggunakan batu bara, meski dengan pendekatan yang lebih bersih dan teknologi pendukung seperti CCS, akan terus diupayakan untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional serta daya saing internasional. Pemerintah diharapkan akan terus mengevaluasi dan menyesuaikan kebijakan energinya sambil menyeimbangkan antara tuntutan global dan kebutuhan domestik.

Kesimpulan

Menghadapi tantangan emisi dan keterbatasan sumber daya, strategi Indonesia mempertahankan penggunaan batu bara sembari mengembangkan EBT mungkin perlu dirancang dengan cermat untuk mengoptimalkan potensi keduanya. Keputusan ini sejalan dengan kondisi ekonomi dan keterbatasan infrastruktur saat ini. Meskipun demikian, inovasi dan investasi dalam EBT harus tetap menjadi prioritas untuk mencapai target jangka panjang yang berkelanjutan.

Dengan pendekatan berimbang dan inovatif, Indonesia dapat berharap tidak hanya mematuhi komitmen globalnya namun juga memastikan ketahanan energi bagi pertumbuhan ekonomi domestik yang inklusif.

Baca Juga

Harga BBM Pertamina Terbaru Hari Ini

Regan

Regan

teropongbisnis.id adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.

Rekomendasi

Berita Lainnya

Takalar Tawarkan Rumah Murah Bawah Rp200 Juta

Takalar Tawarkan Rumah Murah Bawah Rp200 Juta

Harga Gabah Tinggi, Petani Tanah Laut Tersenyum

Harga Gabah Tinggi, Petani Tanah Laut Tersenyum

Harga BBM Terbaru Berlaku Seluruh SPBU

Harga BBM Terbaru Berlaku Seluruh SPBU

Cara Hemat Tambah Daya Listrik September 2025

Cara Hemat Tambah Daya Listrik September 2025

Pertamina Tambah Pasokan Gas Elpiji Malang Raya

Pertamina Tambah Pasokan Gas Elpiji Malang Raya