Senin, 20 Oktober 2025

Tantangan Swasembada Pangan Pemerintah Prabowo-Gibran di Tengah Realitas Produksi Nasional

Tantangan Swasembada Pangan Pemerintah Prabowo-Gibran di Tengah Realitas Produksi Nasional
Tantangan Swasembada Pangan Pemerintah Prabowo-Gibran di Tengah Realitas Produksi Nasional

JAKARTA - Swasembada pangan kembali menjadi sorotan setelah masuk dalam Asta Cita Pemerintahan Prabowo-Gibran.

Ambisi besar untuk mencapai kemandirian pangan nasional dinilai mulia, namun para ahli mengingatkan bahwa cita-cita tersebut tidak bisa dilepaskan dari realita kondisi produksi dan konsumsi pangan Indonesia yang masih timpang.

Guru Besar IPB University Prof. Dwi Andreas Santosa mengungkapkan, swasembada pangan sejatinya hanya bisa terwujud jika rasio produksi terhadap konsumsi (self-sufficiency ratio) minimal sama dengan satu. Artinya, hasil produksi nasional harus mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri secara penuh.

Baca Juga

Pemerintah Ubah Skema Subsidi Tol Laut Demi Efisiensi

“Jika melihat impor 12 komoditas pangan utama yang justru melonjak dari 22 juta ton menjadi 34 juta ton dalam sepuluh tahun terakhir, swasembada pangan nasional jelas mustahil,” ujar Andreas.

Menurutnya, masih banyak komoditas yang secara agroklimat tidak dapat ditanam di Indonesia, seperti gandum yang setiap tahun impornya mencapai rata-rata 11 juta ton. Dengan kondisi tersebut, ia menilai swasembada total bukanlah langkah realistis, melainkan perlu difokuskan pada beberapa komoditas strategis seperti beras atau jagung.

Produksi Beras Meningkat, Momentum yang Harus Dijaga

Meski tantangan besar menghadang, capaian produksi beras nasional tahun 2025 patut diapresiasi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras pada periode Januari–November 2025 mencapai 33,19 juta ton, atau naik 12,62% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan capaian tersebut, pemerintah optimistis bisa mengumumkan status swasembada beras penuh pada akhir tahun.

Indonesia juga tercatat pernah mencapai periode tanpa impor beras konsumsi selama empat tahun berturut-turut, dari 2019 hingga 2022. Namun, Andreas menekankan bahwa capaian tersebut jangan sekadar menjadi prestasi sesaat, melainkan harus berkelanjutan.

Peningkatan produksi tahun ini, katanya, lebih banyak disokong oleh faktor alam, khususnya fenomena kemarau basah yang meningkatkan curah hujan dan memperluas area tanam serta panen. “Kalau tahun depan terjadi El Nino atau kemarau panjang, hasil produksi bisa saja kembali menurun,” ujarnya mengingatkan.

Selain itu, potensi serangan hama juga perlu diwaspadai. Pengalaman tahun 2017 menunjukkan bahwa produksi sempat anjlok setelah peningkatan besar pada tahun sebelumnya akibat serangan hama padi. Andreas mendorong pemerintah menyiapkan strategi pengendalian hama lebih dini agar produksi tidak terganggu dan impor tidak kembali melonjak.

Evaluasi Proyek Food Estate yang Masih Menuai Kritik

Dalam upaya memperkuat ketahanan pangan, pemerintah juga kembali menggencarkan program food estate atau pembukaan lahan pertanian skala besar. Namun, langkah ini dinilai masih problematik.

“Saya terlibat dalam pembukaan lahan gambut 1 juta hektar di Kalimantan Tengah tahun 1996–1998. Apa yang terjadi saat itu? Gagal semua,” ungkap Andreas.

Kegagalan food estate tidak hanya terjadi pada masa lalu. Proyek serupa pada era SBY melalui program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), hingga kebijakan food estate di masa Presiden Jokowi, juga menuai hasil yang tidak optimal. Bahkan, sebagian lokasi food estate sebelumnya menjadi titik kebakaran hutan besar pada 2015 dengan kerugian mencapai US$ 16 miliar.

Andreas menilai, kegagalan food estate disebabkan karena pengabaian prinsip ilmiah kelayakan lahan. Ia menekankan pentingnya memenuhi empat pilar utama dalam pengembangan pertanian skala luas: kesesuaian lahan dan agroklimat, infrastruktur pendukung, kelayakan budidaya dan teknologi, serta aspek sosial-ekonomi masyarakat setempat. “Kalau empat pilar ini tidak dipenuhi, hasilnya akan selalu sama,” tegasnya.

Produktivitas Lahan Jadi Kunci Ketahanan Pangan Berkelanjutan

Alih-alih membuka lahan baru, Andreas menyarankan agar pemerintah memusatkan perhatian pada peningkatan produktivitas lahan pertanian yang sudah ada. Menurutnya, produktivitas padi Indonesia cenderung stagnan di kisaran 5,1 hingga 5,3 ton per hektare, bahkan menurun sekitar 0,7% per tahun selama satu dekade terakhir.

Sebagai perbandingan, Vietnam sudah mampu mencapai produktivitas 6–6,2 ton per hektare. Padahal, varietas padi unggul Indonesia memiliki potensi hasil di atas 10 ton per hektare jika dikelola dengan optimal. “Siapapun yang memerintah, sebaiknya fokus ke produktivitas. Tidak perlu buka lahan baru, dana disebarkan ke sana ke mari,” tutur Andreas.

Ia menegaskan, peningkatan produktivitas dan adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan langkah paling rasional untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Program swasembada akan lebih bermakna jika didukung oleh inovasi teknologi pertanian, efisiensi tata kelola air, serta distribusi pupuk dan benih yang tepat sasaran.

Dengan pendekatan berbasis produktivitas, pemerintah tidak hanya bisa menekan ketergantungan impor, tetapi juga menciptakan sistem pangan yang lebih tangguh menghadapi perubahan cuaca ekstrem dan gejolak harga global.

Cita-cita swasembada pangan pemerintahan Prabowo–Gibran merupakan ambisi yang pantas diapresiasi. Namun, seperti yang diingatkan para pakar, kemandirian pangan sejati tidak semata diukur dari berhentinya impor, melainkan dari kemampuan mempertahankan produktivitas tinggi dan stabilitas pasokan secara berkelanjutan.

Keberhasilan jangka panjang hanya dapat tercapai jika pemerintah mampu menyeimbangkan kebijakan strategis antara produksi domestik, efisiensi lahan, serta kebijakan impor yang cerdas dan selektif.

Mazroh Atul Jannah

Mazroh Atul Jannah

teropongbisnis.id adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.

Rekomendasi

Berita Lainnya

Trump Perkuat Industri Otomotif AS Lewat Kebijakan Tarif Baru

Trump Perkuat Industri Otomotif AS Lewat Kebijakan Tarif Baru

Penerbangan Langsung Tiongkok–India Dibuka Kembali, Hubungan Membaik

Penerbangan Langsung Tiongkok–India Dibuka Kembali, Hubungan Membaik

BYD Recall 115 Ribu Mobil di China, Indonesia Aman

BYD Recall 115 Ribu Mobil di China, Indonesia Aman

BMKG Prediksi Cuaca 20 Oktober 2025: Panas Ekstrem dan Hujan

BMKG Prediksi Cuaca 20 Oktober 2025: Panas Ekstrem dan Hujan

Konektivitas Daerah Semakin Kuat Lewat Layanan Kereta Api Bandara

Konektivitas Daerah Semakin Kuat Lewat Layanan Kereta Api Bandara