Harga Batu Bara Anjlok, Tertekan Pasokan dan Energi Terbarukan
- Senin, 20 Oktober 2025

JAKARTA - Harga batu bara kembali mengalami penurunan tajam di pasar global. Penurunan ini bukan hanya soal angka, melainkan juga mencerminkan perubahan besar dalam dinamika energi dunia.
Pasar kini tidak hanya diwarnai oleh faktor pasokan dan permintaan, tetapi juga oleh transisi global menuju energi bersih yang semakin menekan posisi bahan bakar fosil.
Pada perdagangan akhir pekan lalu, harga batu bara Newcastle untuk kontrak pengiriman bulan depan ditutup di level US$ 103,45 per ton. Angka ini turun 1,1% dibandingkan hari sebelumnya dan menjadi level terendah sejak 19 September. Artinya, harga si “batu hitam” kini menyentuh posisi terendah dalam hampir sebulan terakhir.
Baca JugaBappenas Dorong Bali Jadi Model Ekonomi Berkelanjutan Nasional
Tekanan Pasar dan Kesadaran Lingkungan
Kondisi bearish pada batu bara bukan sekadar soal suplai berlebih. Faktor lain yang ikut menekan harga adalah meningkatnya kesadaran global terhadap isu lingkungan. Dunia kini semakin gencar mengurangi ketergantungan pada energi kotor, termasuk batu bara, yang selama puluhan tahun menjadi tulang punggung energi di banyak negara.
Data terbaru dari McKinsey memperkuat pandangan tersebut. Kajian mereka menunjukkan bahwa kontribusi energi fosil terhadap bauran energi dunia akan terus menurun. Jika saat ini posisinya masih sekitar 64%, maka pada 2050 diperkirakan hanya akan berada di kisaran 41–55%.
Sebaliknya, energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan hidro diproyeksikan mengalami lonjakan kontribusi hingga 61–67% dari total bauran energi global pada periode yang sama. Pergeseran ini jelas memberi tekanan psikologis bagi pasar batu bara, yang makin kehilangan daya tarik sebagai sumber energi utama.
Tren Teknis: Bearish Tapi Berpotensi Rebound
Secara teknikal, pergerakan harga batu bara masih menunjukkan kecenderungan bearish. Hal ini tercermin dari indikator Relative Strength Index (RSI) yang berada di level 45. Angka di bawah 50 menunjukkan aset berada dalam tekanan jual, meski belum sepenuhnya jatuh dalam kondisi jenuh jual.
Indikator lain, yaitu Stochastic RSI, bahkan berada di angka 34, yang menegaskan adanya tekanan di area jual kuat. Situasi ini membuat banyak analis menilai harga batu bara masih rentan mengalami pelemahan lebih lanjut jika tidak ada sentimen positif yang muncul.
Meski demikian, peluang rebound tetap terbuka. Secara teknikal, pivot point harga berada di sekitar US$ 104 per ton. Jika harga mampu bertahan di atas level tersebut, peluang untuk mengetes level resisten di US$ 108 per ton—yang merupakan Moving Average (MA) 20—sangat mungkin terjadi.
Apabila momentum positif berlanjut, resisten lanjutan berada di US$ 110 per ton yang bertepatan dengan MA-50. Sebaliknya, jika harga menembus level support di kisaran US$ 102–101 per ton, maka risiko pelemahan lebih dalam hingga US$ 81 per ton terbuka lebar.
Batu Bara di Persimpangan Jalan
Pergerakan harga dalam jangka pendek tentu masih akan dipengaruhi oleh faktor teknikal serta dinamika pasokan dan permintaan. Namun, dalam jangka panjang, batu bara menghadapi tantangan lebih serius: transisi energi global.
Banyak negara, termasuk konsumen besar batu bara seperti Tiongkok dan India, mulai memperkuat kebijakan transisi menuju energi terbarukan. Di sisi lain, negara-negara Eropa terus mendorong percepatan dekarbonisasi sebagai bagian dari agenda hijau.
Tren ini memperlihatkan bahwa batu bara berada di persimpangan jalan. Meski saat ini masih dibutuhkan untuk menopang kebutuhan energi industri dan rumah tangga, masa depannya kian terancam. Pasar pun semakin peka terhadap perkembangan kebijakan lingkungan global, yang secara tidak langsung membatasi ruang gerak harga batu bara untuk melesat tinggi seperti beberapa tahun lalu.
Prospek ke Depan
Untuk pekan ini, para pelaku pasar disarankan mencermati pergerakan harga di sekitar level pivot US$ 104 per ton. Jika harga mampu menguat di atasnya, tren rebound jangka pendek bisa terbentuk. Namun, jika tekanan jual berlanjut, harga batu bara kemungkinan besar akan kembali menembus level support dan menguji titik krusial di bawah US$ 100 per ton.
Bagi investor dan pelaku industri, tren ini menjadi sinyal penting. Batu bara mungkin masih memiliki peran dalam jangka menengah, tetapi arah besar transisi energi tidak bisa diabaikan. Dengan proyeksi menurunnya kontribusi energi fosil hingga 2050, batu bara kini bukan lagi primadona tunggal dalam portofolio energi dunia.
Anjloknya harga batu bara hingga titik terendah dalam sebulan terakhir mencerminkan tekanan ganda yang dihadapi komoditas ini. Selain karena suplai yang melimpah, dorongan global menuju energi terbarukan membuat posisinya semakin terpinggirkan.
Meski ada peluang rebound dalam jangka pendek, prospek jangka panjang batu bara jelas menghadapi tantangan besar. Dunia sedang bergerak menuju energi bersih, dan batu bara harus bersaing keras untuk tetap relevan di tengah perubahan besar tersebut.

Wildan Dwi Aldi Saputra
teropongbisnis.id adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
Investasi Domestik Pecah Rekor, Motor Baru Ekonomi Nasional
- 20 Oktober 2025
2.
IHSG Turun, Asing Diam-Diam Borong Saham CASA Jumbo
- 20 Oktober 2025
3.
Daftar Saham Pilihan Pekan Ini, Simak Proyeksi Analis
- 20 Oktober 2025
4.
Pasar Crypto Anjlok, Investor Diminta Waspada dan Cari Peluang
- 20 Oktober 2025
5.
Pendiri Huobi dan Investor Asia Bangun Treasury Ethereum
- 20 Oktober 2025