Harga Batu Bara Kian Melemah, Energi Terbarukan Jadi Pemenang Baru
- Selasa, 14 Oktober 2025

JAKARTA - Pasar komoditas global kembali diramaikan oleh pergerakan harga batu bara yang melandai.
Pada perdagangan Senin, 13 Oktober 2025, harga batu bara di pasar ICE Newcastle untuk kontrak pengiriman bulan depan ditutup di level US$ 104,4 per ton. Angka tersebut turun 0,14% dibandingkan penutupan akhir pekan sebelumnya, sekaligus menjadi posisi terendah dalam hampir tiga pekan terakhir, tepatnya sejak 24 September 2025.
Penurunan ini memperpanjang tren pelemahan harga batu bara sepanjang tahun berjalan. Berdasarkan data, harga si “batu hitam” tersebut telah anjlok 16,65% secara point-to-point (year-to-date). Artinya, sepanjang 2025, harga batu bara belum mampu menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang signifikan di tengah tantangan global yang kian kompleks.
Baca Juga
Faktor utama di balik penurunan ini adalah pasokan yang melimpah di pasar internasional, disertai menurunnya permintaan akibat pergeseran global menuju sumber energi yang lebih bersih. Negara-negara besar mulai mempercepat transisi energi demi mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang beremisi tinggi, termasuk batu bara.
Energi Terbarukan Lampaui Batu Bara untuk Pertama Kalinya
Salah satu alasan fundamental di balik tekanan harga batu bara adalah lonjakan produksi listrik dari energi terbarukan. Berdasarkan laporan lembaga riset Ember, untuk pertama kalinya dalam sejarah, energi baru dan terbarukan berhasil melampaui batu bara sebagai sumber utama pembangkit listrik dunia.
Pada semester I-2025, produksi listrik dari energi terbarukan tercatat mencapai 5.072 terawatt hour (TWh), lebih tinggi dibandingkan pembangkitan berbasis batu bara yang sebesar 4.896 TWh. Angka tersebut menandai momen bersejarah dalam transisi energi global, di mana sumber energi seperti matahari dan angin mulai mendominasi sistem kelistrikan dunia.
“Kita melihat sebuah titik balik yang krusial. Matahari (solar) dan angin kini tumbuh cepat untuk memenuhi permintaan listrik,” ujar Malgorzata Wiatros-Myotka, Senior Electricity Analyst di Ember, dalam laporannya.
Selama paruh pertama 2025, permintaan listrik global tumbuh 2,6% secara tahunan atau meningkat sekitar 369 TWh. Pertumbuhan tersebut sebagian besar dapat dipenuhi oleh peningkatan kapasitas pembangkitan dari energi matahari yang bertambah 306 TWh dan energi angin sebesar 97 TWh. Fakta ini menunjukkan bahwa dunia semakin mampu memenuhi kebutuhan listrik tanpa terlalu bergantung pada batu bara.
Tak hanya dari sisi permintaan, kebijakan lingkungan global juga menjadi faktor penting yang menekan harga batu bara. Banyak negara mulai menerapkan carbon tax atau pajak karbon serta batas emisi industri, yang otomatis mengurangi penggunaan batu bara dalam sektor pembangkitan listrik dan manufaktur berat.
Kondisi ini membuat para pelaku pasar komoditas harus menyesuaikan strategi investasinya. Investor yang sebelumnya banyak menempatkan dana pada sektor energi konvensional kini mulai mengalihkan investasi ke proyek-proyek energi hijau seperti panel surya, turbin angin, dan infrastruktur penyimpanan energi.
Tekanan Masih Berlanjut, Tapi Ada Peluang Rebound Teknis
Secara teknikal, tren pelemahan harga batu bara masih belum menunjukkan sinyal kuat pembalikan arah. Berdasarkan analisis teknikal harian (daily time frame), indikator Relative Strength Index (RSI) saat ini berada di level 44, menandakan aset masih dalam zona bearish. RSI di bawah 50 umumnya menunjukkan bahwa tekanan jual masih mendominasi pasar.
Meski begitu, indikator lain memberikan sedikit harapan. Stochastic RSI berada di level 13, yang artinya sudah memasuki area jenuh jual (oversold). Kondisi ini menandakan bahwa dalam jangka pendek, harga batu bara berpeluang mengalami rebound teknikal, meskipun ruang kenaikannya diperkirakan terbatas.
Untuk perdagangan Selasa, 14 Oktober 2025, harga batu bara diperkirakan berpotensi menguat secara moderat, dengan level resistance di kisaran US$ 105–108 per ton. Namun jika tekanan jual kembali meningkat, support level berada pada rentang US$ 99–88 per ton.
Artinya, meskipun masih ada peluang koreksi ke atas dalam jangka pendek, tren jangka menengah dan panjang batu bara masih cenderung melemah. Transisi energi yang makin cepat serta turunnya permintaan global akan terus menjadi tantangan bagi harga komoditas ini hingga akhir tahun.
Ke depan, pelaku industri batu bara harus mampu beradaptasi dengan cepat terhadap dinamika pasar energi global. Diversifikasi bisnis menuju energi bersih, seperti gas alam, bioenergi, atau bahkan investasi di sektor energi terbarukan, bisa menjadi pilihan strategis untuk tetap relevan di tengah perubahan besar yang sedang terjadi.
Dengan arah kebijakan dunia yang kian jelas menuju dekarbonisasi dan net zero emission, harga batu bara kemungkinan akan sulit kembali ke masa kejayaannya. Namun, peluang rebound teknikal tetap terbuka bagi investor jangka pendek yang jeli memanfaatkan momentum pasar.
Harga batu bara yang terus menurun bukan hanya sekadar fenomena pasar, tetapi refleksi dari pergeseran energi global. Energi terbarukan kini bukan lagi masa depan, melainkan realitas baru dalam sistem pembangkitan dunia.
Meski masih ada ruang untuk fluktuasi harga dalam jangka pendek, arah besar pasar sudah menunjukkan pergeseran dari bahan bakar fosil ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Dunia sedang berada di titik balik energi, dan batu bara harus berhadapan dengan kenyataan bahwa perannya perlahan tergantikan oleh matahari dan angin.

Mazroh Atul Jannah
teropongbisnis.id adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
Transformasi Digital Dorong Pertumbuhan Investasi Saham
- 14 Oktober 2025
2.
Longsor Tambang Freeport Picu Potensi Hentikan Operasi Smelter
- 14 Oktober 2025
3.
Harga Saham BCA Diskon, Investor Bisa Manfaatkan Momentum
- 14 Oktober 2025
4.
Formosa Ingredient (BOBA) Siapkan Dividen Interim Rp 2,31 Miliar
- 14 Oktober 2025