Kamis, 09 Oktober 2025

Denmark Siapkan Larangan Media Sosial Anak di Bawah 15 Tahun

Denmark Siapkan Larangan Media Sosial Anak di Bawah 15 Tahun
Denmark Siapkan Larangan Media Sosial Anak di Bawah 15 Tahun

JAKARTA - Isu keselamatan anak di dunia digital kembali menjadi sorotan global setelah Denmark mengumumkan rencana pelarangan penggunaan media sosial untuk anak di bawah usia 15 tahun. 

Kebijakan yang disampaikan langsung oleh Perdana Menteri Mette Frederiksen ini memicu perdebatan luas, baik di dalam negeri maupun di kalangan pengamat internasional.

Inisiatif tersebut disampaikan Frederiksen dalam pidato pembukaan sidang musim gugur parlemen pada Selasa, 7 Oktober 2025. Meski demikian, ia tidak memerinci platform mana yang akan terdampak larangan ataupun bagaimana mekanisme pengawasannya akan diberlakukan.

Baca Juga

8 Rekomendasi Pecel Lezat Jawa Timur Wajib Coba

Alasan di Balik Larangan Media Sosial

Dalam pidatonya, Frederiksen menekankan bahwa media sosial dan ponsel pintar telah mengubah pola interaksi anak-anak secara drastis. Ia menyatakan, “Ponsel dan media sosial merampas masa kecil anak-anak kita,” seperti dikutip dari AFP.

Pernyataan ini berangkat dari keprihatinan pemerintah Denmark terhadap dampak psikologis dan sosial yang ditimbulkan dunia digital pada generasi muda. 

Data menunjukkan bahwa sekitar 60 persen anak laki-laki Denmark berusia 11 hingga 19 tahun lebih suka tinggal di rumah daripada beraktivitas atau bersosialisasi dengan teman sebaya. Angka tersebut dipandang sebagai sinyal alarm akan semakin menurunnya interaksi sosial tatap muka di kalangan remaja.

Tren Global Regulasi Media Sosial untuk Anak

Denmark bukan negara pertama yang mengajukan pembatasan akses media sosial bagi anak di bawah umur. Australia telah lebih dahulu mengambil langkah serupa. Pada akhir 2024, parlemen Australia mengesahkan aturan yang melarang anak di bawah 16 tahun menggunakan media sosial. 

Namun, implementasi aturan tersebut masih menyisakan banyak pertanyaan, termasuk bagaimana pemerintah akan menegakkan kebijakan tersebut secara teknis.

Beberapa platform populer seperti Facebook, Snapchat, TikTok, dan YouTube disebut masuk dalam cakupan larangan di Australia. Tujuan utamanya adalah melindungi anak-anak dari potensi bahaya dunia maya, mulai dari kecanduan digital hingga paparan konten yang tidak sesuai usia.

Selain Australia, Yunani juga ikut melontarkan gagasan serupa. Pada Juni lalu, pemerintah Yunani mengusulkan konsep “usia dewasa digital” untuk seluruh 27 negara anggota Uni Eropa. Usulan itu berarti anak-anak tidak bisa mengakses media sosial tanpa persetujuan orang tua, sebuah upaya untuk mengembalikan kontrol keluarga terhadap aktivitas daring anak-anak.

Tantangan Regulasi dan Penegakan Hukum

Meski mendapat dukungan dari sebagian kalangan, rencana Denmark untuk melarang anak di bawah 15 tahun menggunakan media sosial tidak luput dari pertanyaan kritis. Salah satu tantangan terbesar adalah teknis penegakan aturan.

Pengalaman Australia menunjukkan bahwa meski kebijakan telah ditetapkan, belum ada mekanisme jelas untuk memastikan anak-anak benar-benar tidak bisa mengakses platform. Identifikasi usia pengguna di internet kerap mudah dimanipulasi, sementara perusahaan teknologi global juga memiliki kebijakan privasi yang rumit.

Selain itu, muncul pula perdebatan mengenai keseimbangan antara perlindungan anak dan kebebasan digital. Sebagian kalangan berpendapat bahwa tanggung jawab utama seharusnya tetap berada pada orang tua, bukan negara. Namun, ada juga yang menilai intervensi pemerintah penting karena dampak media sosial pada perkembangan anak semakin nyata dan serius.

Mengapa Denmark Memilih Usia 15 Tahun?

Pemilihan batas usia 15 tahun oleh Denmark dianggap sebagai langkah yang cukup tegas dibandingkan negara lain. Umumnya, beberapa regulasi internasional menetapkan usia minimum 13 tahun untuk menggunakan media sosial, sejalan dengan kebijakan platform global.

Namun, Frederiksen dan pemerintah Denmark menilai bahwa masa remaja awal (13–15 tahun) merupakan fase kritis dalam pembentukan identitas, kepercayaan diri, dan keterampilan sosial anak. Dengan membatasi akses di usia tersebut, diharapkan anak-anak memiliki ruang lebih luas untuk berinteraksi secara nyata di dunia offline.

Dukungan dan Kritik dari Berbagai Pihak

Rencana ini mendapat tanggapan beragam. Kelompok orang tua yang khawatir dengan dampak media sosial cenderung menyambut positif kebijakan tersebut. Mereka menilai aturan semacam ini dapat membantu mencegah kecanduan gawai serta mengurangi risiko anak terpapar konten berbahaya.

Di sisi lain, para kritikus berpendapat bahwa larangan total mungkin bukan solusi efektif. Mereka menilai yang lebih dibutuhkan adalah literasi digital, edukasi media, serta peran aktif orang tua dalam mendampingi anak-anak. 

Selain itu, ada pula kekhawatiran bahwa larangan justru dapat mendorong anak mencari cara alternatif untuk tetap mengakses media sosial secara sembunyi-sembunyi.

Menuju Standar Global Penggunaan Media Sosial Anak

Dengan semakin banyak negara yang menggagas pembatasan akses media sosial bagi anak di bawah umur, muncul pertanyaan apakah dunia sedang menuju ke arah standar global baru. Usulan Yunani tentang “usia dewasa digital” di level Uni Eropa, ditambah langkah Australia dan Denmark, dapat menjadi cikal bakal terbentuknya regulasi internasional.

Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin akan ada konsensus global mengenai batas usia minimum anak untuk menggunakan media sosial. Hal ini akan sangat bergantung pada kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, serta perusahaan teknologi raksasa yang menguasai platform digital.

Rencana Denmark untuk melarang penggunaan media sosial bagi anak di bawah 15 tahun menambah panjang daftar negara yang berusaha melindungi generasi mudanya dari dampak negatif dunia digital. 

Meski masih menyisakan pertanyaan teknis tentang implementasi, kebijakan ini setidaknya menunjukkan keseriusan pemerintah dalam merespons perubahan sosial akibat teknologi.

Apakah langkah Denmark akan menjadi model bagi negara lain? Atau justru memicu perdebatan lebih luas tentang batas intervensi negara dalam kehidupan digital warganya? Yang jelas, isu ini menandai babak baru diskusi global mengenai keseimbangan antara kebebasan digital dan perlindungan anak.

Wildan Dwi Aldi Saputra

Wildan Dwi Aldi Saputra

teropongbisnis.id adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.

Rekomendasi

Berita Lainnya

Hindari 8 Makanan Ini Agar Terhindar Batu Empedu

Hindari 8 Makanan Ini Agar Terhindar Batu Empedu

Efek Blue Mind: Manfaat Air untuk Kesehatan Tubuh Pikiran

Efek Blue Mind: Manfaat Air untuk Kesehatan Tubuh Pikiran

7 Maskapai Larang Power Bank, Aturan Terbaru Penumpang

7 Maskapai Larang Power Bank, Aturan Terbaru Penumpang

Stevia atau Gula Pasir: Mana Pemanis Alami Lebih Sehat?

Stevia atau Gula Pasir: Mana Pemanis Alami Lebih Sehat?

15 Rekomendasi Kuliner Sarapan Ringan Banjarmasin Legendaris dan Murah

15 Rekomendasi Kuliner Sarapan Ringan Banjarmasin Legendaris dan Murah