Fenomena Tagar KaburAjaDulu, Mencari Peluang atau Ancaman bagi Indonesia?

Senin, 17 Februari 2025 | 13:14:05 WIB
Foto: Illustrasi #KaburAjaDulu

JAKARTA - Dalam beberapa waktu terakhir, dunia maya diramaikan oleh tagar #KaburAjaDulu yang mencerminkan kekhawatiran masyarakat terhadap kondisi sosial, politik, dan ekonomi Indonesia. Ajakan untuk mencari peluang di luar negeri, baik dalam bidang pendidikan maupun pekerjaan, semakin marak diperbincangkan.

Menurut pengamat ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada, Tadjudin Nur Effendi, salah satu faktor utama yang mendorong minat bekerja di luar negeri adalah besaran upah yang jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Di Jepang, misalnya, pekerja bisa memperoleh hingga 1.000 yen per jam atau sekitar Rp 106.000, sedangkan di Australia, pekerja pertanian bisa mendapatkan Rp 150.000 per jam, dengan tambahan uang lembur serta bonus yang menarik.

Selain upah tinggi, pekerja migran juga menikmati berbagai fasilitas seperti jaminan sosial dan kesehatan, bahkan beberapa sektor menawarkan tempat tinggal gratis. "Di Australia, pekerja pertanian ada yang mendapatkan fasilitas mess dan jaminan kesehatan, sehingga mereka bisa menabung hingga ratusan juta rupiah," ujar Tadjudin.

Minimnya Kesempatan Kerja di Dalam Negeri

Tagar #KaburAjaDulu juga dipicu oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan lapangan pekerjaan dan jumlah lowongan yang tersedia. Tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang meningkat dalam beberapa waktu terakhir turut memperburuk situasi.

"Sampai saat ini yang santer terdengar bukan peluang kerja yang muncul, tetapi justru banyaknya PHK. Walaupun ada lapangan kerja yang dibuka, jumlahnya belum mampu mengimbangi kebutuhan yang ada," jelas Tadjudin.

Selain itu, persyaratan ketat dalam perekrutan kerja di Indonesia, seperti batasan usia dan tingkat pendidikan, semakin menyulitkan generasi muda dalam mendapatkan pekerjaan yang layak.

Dampak Positif dan Tantangan Fenomena #KaburAjaDulu

Fenomena migrasi tenaga kerja ini memiliki dua sisi. Di satu sisi, meningkatnya jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri turut menyumbang devisa bagi negara melalui remitansi. Data dari Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan bahwa pada tahun 2024, jumlah remitansi dari pekerja migran mencapai Rp 251,5 triliun, meningkat 14% dibandingkan tahun sebelumnya.

Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran terhadap efek jangka panjang dari migrasi tenaga kerja ini. Bhima Yudhistira, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menyoroti potensi brain drain atau kehilangan sumber daya manusia berkualitas.

"Sektor digital di Indonesia masih kekurangan sekitar 9 juta tenaga kerja berkeahlian tinggi. Jika mereka lebih memilih bekerja di luar negeri dan menetap di sana, Indonesia akan kehilangan talenta terbaik yang seharusnya bisa membangun negeri ini," papar Bhima.

Selain itu, apabila para pekerja muda memutuskan untuk menetap secara permanen di luar negeri dengan membeli aset seperti properti dan kendaraan, maka angka remitansi yang masuk ke Indonesia akan berkurang. Hal ini berisiko menyebabkan stagnasi pertumbuhan ekonomi domestik serta menimbulkan dampak demografi yang kurang menguntungkan bagi Indonesia.

(kkz/kkz)

Terkini