KLH Tegaskan Pencemar Bayar Dekontaminasi Radioaktif di Cikande

Senin, 20 Oktober 2025 | 09:33:53 WIB
KLH Tegaskan Pencemar Bayar Dekontaminasi Radioaktif di Cikande

JAKARTA - Kasus kontaminasi radioaktif Cesium-137 (Cs-137) di kawasan industri Cikande, Kabupaten Serang, Banten, menjadi perhatian serius pemerintah. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menegaskan bahwa seluruh perusahaan di kawasan terdampak wajib menanggung biaya dekontaminasi secara mandiri sesuai dengan prinsip polluters pay principle — atau pencemar membayar.

Deputi Bidang Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLH, Irjen Pol Rizal Irawan, menyampaikan bahwa prinsip tersebut bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan amanat langsung dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Prinsipnya polluters pay principle. Siapa yang melakukan pencemaran atau polusi, dia yang bertanggung jawab. Ada strict liability di situ, tanggung jawab mutlak yang diatur dalam undang-undang,” ujar Rizal di Serang.

Ia menegaskan, pembiayaan dekontaminasi tidak akan ditanggung oleh negara. Seluruh perusahaan yang berada di area terkontaminasi wajib bertanggung jawab penuh atas proses pembersihan, termasuk penyediaan peralatan khusus dan biaya operasional. 

“Mereka diperintahkan untuk melakukan dekontaminasi masing-masing dan biayanya mereka yang bayar sendiri. Jadi, tidak ada ke kita, silakan mereka mandiri. Polusi di kawasan industri adalah tanggung jawab industri. Prinsipnya sederhana, siapa yang mencemari, dia yang membersihkan,” tegasnya.

Dekontaminasi Jadi Tanggung Jawab Penuh Perusahaan

Rizal menjelaskan, meskipun proses dekontaminasi melibatkan sejumlah tim teknis dari lembaga negara, tanggung jawab pembiayaan sepenuhnya ada di tangan perusahaan. Tim teknis yang terlibat antara lain Gegana, Nubika TNI, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

“Mereka menyediakan sendiri perlengkapannya, karena itu menggunakan bahan khusus yang tidak murah. Itu bukan tanggung jawab negara,” kata Rizal.

Ia juga menegaskan perbedaan mendasar antara tanggung jawab industri dengan masyarakat terdampak. Jika pencemaran terjadi di lingkungan masyarakat umum, maka pembiayaan penanganan menjadi tanggung jawab negara. Namun, jika kontaminasi berada di area pabrik atau kawasan industri, maka perusahaan wajib menanggung seluruh biayanya.

“Kalau masyarakat, itu tanggung jawab negara. Tetapi, kalau di area pabrik, perusahaan lah yang wajib menanggung sesuai prinsip polluters pay,” ujarnya.

Langkah tegas ini menjadi bentuk penegakan hukum lingkungan hidup yang mengedepankan keadilan lingkungan dan mendorong industri untuk lebih bertanggung jawab terhadap aktivitasnya.

Sumber Kontaminasi Diduga Kuat Berasal dari PT PMT

Rizal mengungkapkan bahwa hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) menunjukkan indikasi kuat bahwa sumber utama kontaminasi radioaktif Cs-137 berasal dari PT PMT. Pabrik tersebut menjadi fokus utama penelusuran karena temuan material radioaktif berada di area tungku proses dan area bahan baku mereka.

“Pabrik-pabrik lain bukan penyebab, beda dengan PMT. Di PMT kami menemukan sumbernya di tungku proses dan area bahan baku. Ada indikasi kuat penyebab kontaminasi berasal dari sana,” ujarnya.

Sementara itu, perusahaan lain seperti PT Jongka Indonesia disebut tidak terlibat dalam penyebaran kontaminasi dan justru menjadi korban. “Kalau PT Jongka ini termasuk korban,” kata Rizal.

Terkait dengan kemungkinan keterlibatan bahan baku impor dalam kasus ini, ia menjelaskan bahwa data sementara menunjukkan bahan logam yang terkontaminasi berasal dari dalam negeri. Hal ini karena PT PMT tidak melakukan impor bahan baku. Meski demikian, Polri melalui Bareskrim masih melakukan penelusuran untuk memastikan asal pasti dari bahan logam tersebut.

Pemerintah Perketat Pengawasan dan Penanganan

Selain menetapkan tanggung jawab industri, KLH bersama BRIN dan lembaga teknis terkait juga tengah melakukan pemetaan zona merah dan zona kuning di sekitar kawasan terdampak untuk memastikan langkah penanganan yang terukur.

Upaya ini bertujuan mencegah meluasnya paparan radiasi dan meminimalkan dampak lingkungan. “Pemerintah akan terus memastikan proses dekontaminasi berjalan sesuai prosedur hukum lingkungan dan tidak membebani keuangan negara,” tegas Rizal.

Kasus ini juga mendorong pemerintah untuk memperketat pengawasan terhadap penggunaan dan pengelolaan bahan radioaktif di sektor industri. KLH berkomitmen memperkuat regulasi dan prosedur pengawasan agar insiden serupa tidak kembali terjadi.

Sebagai catatan, Cs-137 merupakan isotop radioaktif berbahaya yang dapat memberikan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan kesehatan jika tidak ditangani secara benar. Oleh karena itu, proses dekontaminasi harus mengikuti standar internasional serta protokol keselamatan radiasi yang ketat.

Industri Diminta Tertib dan Bertanggung Jawab

Pemerintah mengingatkan seluruh pelaku industri untuk mematuhi regulasi terkait pengelolaan limbah berbahaya dan beracun (B3), termasuk bahan radioaktif. Insiden di Cikande menjadi peringatan keras bahwa kelalaian dalam pengawasan bahan berbahaya dapat berdampak besar tidak hanya bagi lingkungan, tetapi juga masyarakat sekitar dan dunia usaha itu sendiri.

Langkah KLH mempertegas prinsip polluters pay diharapkan menjadi preseden penting dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Dengan begitu, perusahaan terdorong untuk meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi, menerapkan standar keselamatan yang ketat, dan menghindari praktik abai terhadap pengelolaan limbah berbahaya.

Dengan pemetaan risiko yang lebih ketat serta penegakan hukum yang konsisten, pemerintah berharap insiden serupa tidak akan terulang dan kawasan industri di Indonesia semakin aman dari ancaman kontaminasi radioaktif.a

Terkini

Panduan Makeup Bold Glamor Sendiri di Rumah, Mudah!

Senin, 20 Oktober 2025 | 15:56:24 WIB

Ini 10 Negara dengan Biaya Hidup Termahal Tahun 2025

Senin, 20 Oktober 2025 | 15:56:19 WIB

5 Resep Donat Kentang Empuk yang Mudah Dipraktikkan

Senin, 20 Oktober 2025 | 15:56:11 WIB