
JAKARTA - Pasar energi global kembali diguncang pada Jumat (Sabtu waktu Jakarta) setelah harga minyak mentah jatuh tajam. Penurunan ini bukan semata-mata karena faktor pasokan dan permintaan, melainkan juga dipicu oleh ketegangan geopolitik serta kebijakan perdagangan internasional.
Pernyataan terbaru dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang mengancam akan memberlakukan tarif lebih tinggi terhadap produk Tiongkok, menjadi pemicu utama penurunan harga. Ancaman tersebut muncul setelah Beijing memperketat kontrol ekspor mineral tanah jarang, yang selama ini menjadi komoditas strategis bagi berbagai industri global.
Kondisi ini membuat investor cemas terhadap kemungkinan perlambatan ekonomi dunia. Pasalnya, tarif baru yang diusulkan AS dinilai berpotensi menekan rantai pasokan global sekaligus mengurangi permintaan energi. Akibatnya, harga minyak langsung terkoreksi signifikan di akhir pekan.
Baca JugaPemerintah Lelang 7 Seri Sukuk Negara Rp7 Triliun Dukung APBN 2025
Minyak Mentah AS dan Brent Sama-Sama Turun
Mengutip CNBC, Sabtu, 11 Oktober 2025, harga minyak mentah Amerika Serikat anjlok USD 2,61 atau sekitar 4,24% sehingga ditutup pada USD 58,90 per barel.
Sementara itu, patokan global minyak Brent juga tak luput dari tekanan. Harga Brent melemah USD 2,49 atau 3,82% dan berada di level USD 62,73 per barel.
Koreksi ini menunjukkan betapa rapuhnya pasar minyak terhadap gejolak politik maupun kebijakan ekonomi yang melibatkan dua negara adidaya dunia.
Sentimen Perdagangan AS–Tiongkok Jadi Pemicu
Hubungan dagang Washington dan Beijing memang sempat menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Namun, langkah balasan Tiongkok terkait ekspor mineral dan respon keras dari Presiden Trump kembali memperkeruh situasi.
“Sebagai Presiden Amerika Serikat, saya akan dipaksa untuk melawan langkah mereka secara finansial,” ujar Trump melalui platform media sosialnya, Truth Social.
Ia menegaskan bahwa salah satu opsi yang tengah dipertimbangkan adalah menaikkan tarif besar-besaran terhadap produk asal Tiongkok. “Ada banyak langkah balasan lain yang juga sedang dipertimbangkan secara serius,” lanjutnya.
Pernyataan keras tersebut langsung menimbulkan kepanikan pasar. Investor khawatir peningkatan tensi dagang ini akan menekan pertumbuhan ekonomi global yang sudah melambat, sekaligus mengurangi kebutuhan energi di masa mendatang.
Pasar Saham Ikut Terkoreksi
Tidak hanya minyak, pasar saham global juga ikut terguncang. Komentar Trump memicu aksi jual oleh investor yang ingin mengurangi risiko atas ketidakpastian baru ini.
“Ketika pasar menyaksikan aksi saling balas ini, bagi pasar minyak, hal ini berdampak pada pertumbuhan yang lebih lambat dan bahkan mungkin penurunan permintaan,” kata Andy Lipow, Presiden Lipow Oil Associates.
Selain faktor geopolitik, pasar minyak juga sudah lebih dulu dibebani oleh peningkatan pasokan dari OPEC+ yang berlangsung dalam beberapa bulan terakhir.
Tekanan Tambahan dari Pasokan OPEC+
Menurut analis minyak Kpler, Matt Smith, kondisi pasokan minyak semakin longgar di tengah pelemahan permintaan. “Minyak di perairan melonjak bulan lalu, permintaan minyak mentah turun signifikan di tengah pemeliharaan kilang, dan penumpukan inventaris akan segera dimulai,” jelasnya.
Dengan tambahan suplai yang melimpah dan konsumsi yang melemah, wajar jika harga minyak dunia semakin sulit mempertahankan level stabil.
Faktor Geopolitik Timur Tengah
Meski isu dagang mendominasi, situasi Timur Tengah juga tetap menjadi perhatian pelaku pasar. Konflik di Gaza yang melibatkan Israel dan Hamas berulang kali menimbulkan ketegangan di pasar energi. Namun, gencatan senjata terbaru memberi sedikit rasa lega.
“Pelaku pasar memanfaatkan kesempatan ini untuk pada dasarnya mengatakan, kita bisa beralih dari geopolitik dan kembali fokus pada kondisi pasokan,” kata Helima Croft, Kepala Strategi Komoditas Global RBC Capital Markets.
Hal ini menandakan bahwa meskipun isu keamanan kawasan masih sensitif, pasar kali ini lebih terfokus pada dinamika pasokan dan permintaan nyata.
Implikasi Jangka Pendek
Turunnya harga minyak dunia hingga lebih dari 4% dalam sehari menjadi pengingat bahwa pasar energi sangat rentan terhadap berita politik dan kebijakan perdagangan. Investor kini menunggu langkah lanjutan dari Washington maupun Beijing, apakah benar-benar akan ada tarif tambahan atau sekadar retorika politik.
Jika ketegangan terus meningkat, bukan hanya harga minyak yang tertekan, tetapi juga stabilitas pasar saham global, nilai tukar, hingga perekonomian negara-negara berkembang yang bergantung pada energi impor.
Anjloknya harga minyak kali ini merupakan kombinasi antara faktor geopolitik, kebijakan perdagangan, serta kondisi fundamental pasar. Ancaman tarif besar-besaran AS terhadap Tiongkok menjadi pemicu utama, sementara peningkatan suplai OPEC+ dan gencatan senjata di Timur Tengah turut membentuk sentimen pasar.
Dengan harga minyak mentah AS turun ke USD 58,90 per barel dan Brent di USD 62,73 per barel, pelaku pasar global kini berada dalam mode waspada. Bagaimana dinamika selanjutnya sangat bergantung pada arah hubungan dagang AS–Tiongkok dan kebijakan produksi OPEC+.

Wildan Dwi Aldi Saputra
teropongbisnis.id adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Arsenal Perkuat Tim dengan 7 Pemain Baru, Siap Jadi Juara Liga Premier
- Selasa, 14 Oktober 2025
TOGA Tampilkan Kreativitas Baru yang Unik di London Fashion Week 2025
- Selasa, 14 Oktober 2025
Terpopuler
1.
Kenduri Budaya Pangan Lokal Perkuat Kedaulatan Pangan
- 14 Oktober 2025
2.
DADA Perkuat Fondasi Bisnis Lewat Penjajakan Investor Strategis
- 14 Oktober 2025
3.
Telkom Dorong Talenta Muda Adaptif Lewat Program Magang Nasional
- 14 Oktober 2025
4.
Samir Perkuat Keamanan Digital dan Bangun Kepercayaan Konsumen
- 14 Oktober 2025
5.
PNM Bangun Akses Air Bersih untuk Warga Toisapu Ambon
- 14 Oktober 2025