GAPPRI Tolak Pemberlakuan PP 28/2024 Terkait Pengamanan Zat Adiktif

Selasa, 14 Januari 2025 | 15:08:57 WIB
Foto: Industri Tembakau

JAKARTA - Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyatakan penolakannya terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 Bab XXI tentang pengamanan zat adiktif, khususnya pada Pasal 429 hingga 463, serta aturan turunannya berupa Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK). GAPPRI menilai regulasi ini dapat menciptakan persaingan tidak sehat dan memicu peningkatan peredaran rokok ilegal secara signifikan.

Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, mengungkapkan bahwa proses pembuatan PP 28/2024 minim transparansi dan tidak melibatkan pelaku industri hasil tembakau (IHT). Hal ini, menurutnya, menyebabkan ketidakseimbangan dalam produk hukum yang dihasilkan dan berpotensi memberikan dampak negatif terhadap industri maupun perekonomian nasional secara keseluruhan.

“PP 28/2024 ini dinilai akan menimbulkan persaingan tidak sehat dan memicu maraknya peredaran rokok ilegal,” tegas Henry dalam pernyataannya pada Selasa (14/1/2025).

Henry menyebutkan bahwa pemberlakuan regulasi ini mencerminkan agenda Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang diusung oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Ia menegaskan, regulasi semacam ini lebih memprioritaskan agenda internasional dibandingkan melindungi kemaslahatan masyarakat Indonesia.

“IHT adalah pihak yang langsung terkena dampak dari regulasi ini. Oleh karena itu, mereka memiliki hak untuk didengar dan dilibatkan dalam pembahasan regulasi tersebut,” tambahnya.

GAPPRI mendesak pemerintah untuk membuka ruang dialog yang inklusif dan transparan agar kebijakan yang dihasilkan lebih adil dan berimbang. Menurut Henry, dialog tersebut diperlukan untuk memastikan keberlanjutan industri, melindungi jutaan pekerja, serta menjaga stabilitas perekonomian nasional.

Dampak Negatif terhadap Industri dan Petani

PP 28/2024 mengatur pembatasan tar dan nikotin, pelarangan bahan tambahan, serta penyeragaman kemasan produk tembakau. Henry menilai kebijakan ini tidak cocok diterapkan di Indonesia yang memiliki produk khas seperti kretek, yang berbahan baku tembakau lokal dengan nikotin tinggi serta cengkeh.

“Dengan pelarangan bahan tambahan, petani tembakau dan cengkeh tidak akan mampu menjual hasil panennya,” ujar Henry.

Merujuk data GAPPRI, IHT merupakan sektor strategis nasional yang mempekerjakan sekitar 5,8 juta orang, mulai dari petani tembakau, pekerja pabrik, hingga distributor. Selain itu, sektor ini memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara melalui cukai, pajak, dan lapangan kerja padat karya.

Tantangan dalam Penerimaan Cukai

GAPPRI mencatat tekanan berat yang dialami IHT selama beberapa tahun terakhir. Hal ini terlihat dari tidak tercapainya target penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) dua tahun berturut-turut. Pada tahun 2024, realisasi penerimaan cukai hanya mencapai Rp 216,9 triliun dari target Rp 230,4 triliun.

“Ini menunjukkan bahwa IHT telah melewati titik optimumnya dan tidak mampu lagi memenuhi target APBN,” jelas Henry.

GAPPRI menyatakan dukungannya terhadap pemerintahan Presiden Prabowo-Gibran yang berkomitmen meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan lapangan kerja. Mereka berharap pemerintah mempertimbangkan masukan dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri, agar kebijakan yang diambil tidak hanya melindungi kesehatan masyarakat tetapi juga memperhatikan aspek ekonomi dan sosial.

“Pengaturan yang berlebihan terhadap IHT akan mengguncang stabilitas ekonomi nasional, mengingat kontribusi kretek terhadap penerimaan negara sangat signifikan,” pungkas Henry.

(kkz/kkz)

Terkini