Tekanan Barang Impor dan Selundupan Ancam Industri Tekstil Indonesia

Senin, 13 Januari 2025 | 12:35:29 WIB
Foto: Industri Tekstil

JAKARTA - Industri tekstil dalam negeri menghadapi tantangan berat akibat gempuran barang impor dan selundupan. Ketua Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengungkapkan bahwa situasi ini tidak hanya mengancam keberlanjutan bisnis tetapi juga merugikan ekonomi nasional hingga Rp 235 triliun per tahun.

Menurut Redma, potensi industri tekstil sebenarnya sangat besar dalam memberikan nilai tambah ekonomi. Sebagai gambaran, bahan baku seperti Paraxylene (PX) yang dibeli seharga Rp 5.000 per 0,3 kg dapat menghasilkan produk akhir berupa pakaian senilai Rp 104 ribu per kilogram. Ini menciptakan nilai tambah hingga 200%.

"Jika potensi tersebut dimaksimalkan, nilai ekonomi industri tekstil dalam negeri dapat mencapai Rp 235 triliun setiap tahun," ujar Redma dalam keterangannya, Senin (13/1/2025).

Kontribusi Ekonomi dan Pajak yang Signifikan

Industri tekstil juga memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara. Dengan PPN sebesar 11%, pemerintah dapat mengumpulkan hingga Rp 25 triliun per tahun dari sektor ini. Belum lagi, kontribusi PPN impor bahan baku seperti kapas yang diperkirakan mencapai Rp 18,95 triliun per tahun, berdasarkan konsumsi kapas domestik sebesar 611.550 metrik ton per 2023.

Namun, Redma menyoroti bahwa besarnya potensi ini terhambat oleh maraknya barang impor dan selundupan, terutama pada produk kain dan garmen. Hal ini berdampak pada penurunan kapasitas produksi di sektor benang dan poliester.

"Masuknya kain impor membuat produk lokal tidak dibutuhkan. Akibatnya, pabrik benang dan poliester terpaksa mengurangi kapasitas produksi atau bahkan tutup," jelas Redma.

Kebijakan Perlindungan Dibutuhkan

Redma menilai, langkah konkret dari pemerintah sangat diperlukan untuk melindungi industri tekstil dari ancaman barang impor dan selundupan. Pengawasan terhadap produk kain dan garmen di sektor hilir harus diperketat.

"Pemerintah perlu memprioritaskan penggunaan produk tekstil lokal, terutama untuk kebutuhan proyek nasional seperti seragam sekolah dan pengadaan pemerintah lainnya," tambahnya.

Selain itu, Redma juga mempertanyakan keakuratan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat pertumbuhan sektor tekstil sebesar 7,43% pada triwulan III 2024. Ia menduga angka ini terdistorsi akibat importasi besar-besaran yang tidak tercatat, sehingga terlihat seolah-olah neraca perdagangan tekstil dalam negeri positif.

"Faktanya, banyak pabrik tutup, PHK terjadi di mana-mana, dan neraca perdagangan tekstil kita negatif lebih dari US$ 2,5 miliar tahun ini," tegasnya.

Industri tekstil lokal memiliki kapasitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik. Oleh karena itu, Redma mendorong pemerintah untuk segera mengambil langkah strategis demi melindungi keberlangsungan sektor ini.

"Jika kebijakan yang melindungi industri tidak segera diterapkan, pabrik-pabrik yang memproduksi kain, benang, poliester, PTA, hingga Paraxylene akan terus tertekan dan berisiko tutup," pungkasnya.

(kkz/kkz)

Terkini