JAKARTA - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menaikkan harga jual eceran (HJE) rokok pada tahun 2026.
Pernyataan ini sekaligus menegaskan bahwa tarif cukai hasil tembakau (CHT) juga tidak akan dinaikkan, sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas harga rokok legal di pasar.
“Belum ada kebijakan seperti itu (kenaikan HJE). Seharusnya tidak usah, kalau tidak kan tipu-tipu. Anda anggap saya tukang kibul, cukai tidak naik tapi harganya dinaikkan, sama saja,” ujar Purbaya.
Keputusan ini diambil untuk menekan peredaran rokok ilegal di masyarakat. Menurut Purbaya, selisih harga antara rokok legal dan rokok ilegal akan tetap terkendali, sehingga masyarakat tidak terdorong membeli produk ilegal yang lebih murah.
“Selisih antara produk yang legal dengan ilegal jadi semakin besar. Kalau makin besar akan mendorong barang-barang ilegal,” jelas Purbaya.
Langkah ini berbeda dengan kebijakan sebelumnya di era Menteri Keuangan Sri Mulyani. Pada 2025, meskipun tarif cukai rokok tidak dinaikkan, pemerintah menetapkan kenaikan harga jual eceran rokok konvensional maupun rokok elektrik. Kenaikan tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96/2024 dan 97/2024.
Dalam PMK 97/2024, pemerintah menetapkan rata-rata kenaikan HJE rokok konvensional sebesar 9,53% untuk tahun 2025. Sementara itu, PMK 96/2024 mengatur kenaikan harga rokok elektrik dan produk pengolahan tembakau lainnya, dengan rata-rata kenaikan 11,34% dan 6,19%. Kebijakan tersebut bertujuan untuk menyesuaikan harga rokok legal dengan inflasi dan mempertahankan penerimaan negara dari cukai.
Kebijakan Purbaya untuk mempertahankan harga rokok tahun depan diharapkan menjadi angin segar bagi industri tembakau. Dengan harga tetap stabil, produsen rokok dapat menjaga daya beli konsumen dan meminimalkan risiko peredaran produk ilegal.
Selain itu, keputusan ini juga dipandang strategis untuk mengendalikan inflasi. Kenaikan harga rokok, yang merupakan barang konsumsi massal, memiliki potensi menambah tekanan inflasi jika dilakukan bersamaan dengan kenaikan harga komoditas lain. Dengan menahan HJE, pemerintah bisa memberikan ruang bagi daya beli masyarakat tetap terjaga.
Kebijakan cukai tembakau memang selalu menjadi topik sensitif di Indonesia. Di satu sisi, pemerintah membutuhkan penerimaan cukai untuk mendukung APBN, sementara di sisi lain, kenaikan harga rokok terlalu tinggi dapat memicu peredaran ilegal dan memberatkan konsumen. Dengan tidak menaikkan HJE dan tarif cukai, pemerintah mencoba menjaga keseimbangan antara kepentingan fiskal dan sosial.
Selain itu, langkah ini sejalan dengan strategi pemerintah untuk memperkuat pengawasan terhadap rokok ilegal. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) akan terus melakukan operasi dan pengawasan di pasar untuk memastikan produk rokok yang beredar sesuai regulasi. Penegakan hukum terhadap rokok ilegal juga menjadi bagian dari upaya menjaga pendapatan negara dari cukai tembakau.
Sejumlah pelaku industri tembakau menyambut baik keputusan ini. Mereka menilai stabilitas harga HJE akan membantu produsen rokok mengatur strategi produksi dan distribusi. Selain itu, stabilitas harga juga meminimalkan risiko penurunan penjualan akibat masyarakat beralih ke produk ilegal.
Meski demikian, pemerintah tetap menegaskan bahwa pengawasan dan edukasi kepada masyarakat mengenai bahaya rokok tetap menjadi prioritas. Kampanye anti-rokok ilegal dan informasi tentang pentingnya membeli produk resmi diharapkan dapat menekan pasar rokok ilegal lebih efektif.
Secara keseluruhan, keputusan untuk menahan kenaikan harga jual eceran rokok pada 2026 mencerminkan pendekatan pemerintah yang hati-hati dalam menjaga keseimbangan fiskal, perlindungan konsumen, dan stabilitas industri. Dengan kebijakan ini, masyarakat dapat menikmati harga rokok yang lebih stabil, sementara industri dan pemerintah tetap memperoleh kepastian dalam perencanaan keuangan dan penerimaan negara.
Dengan demikian, langkah Menkeu Purbaya tidak hanya berdampak pada harga dan konsumsi rokok, tetapi juga mencerminkan strategi fiskal yang matang dalam menghadapi tantangan ekonomi dan sosial di tengah dinamika pasar tembakau Indonesia.