
JAKARTA - Harga minyak mentah global kembali bergerak naik tipis pada perdagangan Selasa, 14 Oktober 2025, di tengah mencairnya tensi dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Kabar tentang perbaikan hubungan dua raksasa ekonomi dunia itu memberikan napas segar bagi pasar energi, yang sempat khawatir akan menurunnya permintaan bahan bakar akibat ketegangan politik dan ekonomi yang berlarut.
Berdasarkan data Reuters, harga kontrak berjangka Brent naik sebesar 18 sen atau 0,28 persen menjadi US$63,50 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) milik AS turut meningkat 16 sen atau 0,27 persen ke US$59,65 per barel.
Baca Juga
Kenaikan ini memperpanjang tren positif setelah sebelumnya Brent menguat 0,9 persen dan WTI naik 1 persen, menyusul tekanan harga yang sempat menurunkan posisi minyak ke level terendah sejak Mei lalu.
Optimisme pasar mulai terlihat setelah Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menyampaikan bahwa Presiden Donald Trump berencana bertemu Presiden China Xi Jinping di Korea Selatan akhir bulan ini.'
“Pertemuan tersebut diharapkan bisa menurunkan tensi perdagangan kedua negara yang selama ini dipicu oleh ancaman tarif dan kontrol ekspor,” ungkap Bessent.
Ia juga menambahkan bahwa komunikasi intensif antara Washington dan Beijing terus dilakukan sepanjang akhir pekan. Sejumlah pertemuan lanjutan pun telah dijadwalkan, yang menambah kepercayaan pasar terhadap potensi perbaikan hubungan dagang dua kekuatan ekonomi global ini.
Ketegangan Mereda, Optimisme Global Mulai Terbentuk
Meredanya hubungan antara AS dan China menimbulkan ekspektasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi global dan peningkatan permintaan energi.
Pasar menilai bahwa jika kesepakatan dagang tercapai, sektor industri dan transportasi di berbagai negara akan kembali pulih, sehingga konsumsi minyak mentah akan meningkat.
Namun, para analis mengingatkan bahwa euforia ini masih bersifat rapuh, mengingat tingginya risiko geopolitik yang terus membayangi.
Ketegangan antara Washington dan Beijing sebelumnya sempat memanas ketika China memperluas kontrol ekspor terhadap logam tanah jarang, komponen penting untuk industri teknologi tinggi. Sebagai balasan, Trump mengancam untuk menerapkan tarif tambahan hingga 100 persen serta pembatasan ekspor perangkat lunak mulai 1 November mendatang.
Situasi semakin tidak menentu setelah Trump sempat menulis di platform Truth Social, bahwa pertemuannya dengan Xi Jinping di sela KTT APEC 30 Oktober–1 November bisa saja dibatalkan.
Namun, pernyataan terbaru dari Gedung Putih menandakan sikap yang lebih terbuka dan moderat, yang menenangkan pasar sementara waktu.
Analis dari ANZ, Daniel Hynes, menilai industri minyak tetap berada dalam posisi yang sensitif terhadap perubahan kebijakan geopolitik.
“Situasi ini menunjukkan betapa sensitifnya pasar terhadap dinamika hubungan politik antara dua negara besar tersebut,” ujar Hynes dalam catatan risetnya.
Ia juga menyoroti langkah China yang memberlakukan tarif pada kapal-kapal milik AS, termasuk kapal pengangkut minyak, yang menyebabkan pembatalan pengiriman secara mendadak serta lonjakan biaya pengapalan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap perubahan kecil dalam kebijakan dagang dapat langsung mengguncang pasar minyak dunia.
Faktor Timur Tengah dan Proyeksi OPEC Jadi Penentu
Selain dinamika hubungan AS-China, situasi geopolitik di Timur Tengah juga ikut memengaruhi arah pergerakan harga minyak.
Presiden Trump baru-baru ini mengumumkan berakhirnya perang Gaza yang telah berlangsung selama dua tahun dan mengguncang stabilitas kawasan.
Berakhirnya konflik di wilayah tersebut menambah optimisme bahwa pasokan minyak global bisa kembali stabil, karena selama masa konflik banyak pengiriman terganggu akibat risiko keamanan.
Di sisi lain, Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama sekutunya termasuk Rusia, dalam laporan bulanannya memperkirakan bahwa defisit pasokan minyak global akan mulai menyempit pada tahun 2026.
Proyeksi ini sejalan dengan rencana OPEC+ untuk meningkatkan produksi secara bertahap, yang diyakini dapat menyeimbangkan kondisi pasar dalam jangka menengah.
Meski demikian, para pelaku pasar tetap berhati-hati. Kenaikan pasokan bisa menghambat laju kenaikan harga jika tidak diimbangi dengan pertumbuhan permintaan yang kuat, terutama dari sektor industri dan transportasi.
Selain itu, kebijakan transisi energi di banyak negara juga berpotensi mengubah pola konsumsi minyak dalam jangka panjang.
Beberapa analis menyebut, faktor-faktor geopolitik dan kebijakan produksi global akan terus menjadi penggerak utama harga minyak hingga akhir 2025.
Perubahan kecil dalam hubungan diplomatik, pengumuman kebijakan energi, hingga konflik regional bisa memicu volatilitas tajam di pasar.
Optimisme Hati-Hati di Tengah Pasar yang Rentan
Secara keseluruhan, penguatan harga minyak mentah dunia di tengah mencairnya hubungan AS-China memberikan sinyal positif bagi stabilitas pasar energi global.
Harapan terhadap kesepakatan dagang membuka peluang pertumbuhan permintaan bahan bakar, namun di sisi lain, pasar masih harus menghadapi tantangan besar dari ketidakpastian geopolitik dan kebijakan produksi OPEC+.
Kondisi saat ini menunjukkan bahwa harga minyak masih sangat rentan terhadap perubahan politik dan ekonomi global.
Jika pembicaraan antara Washington dan Beijing benar-benar membuahkan hasil konkret, maka tren penguatan harga minyak berpotensi berlanjut dalam beberapa bulan mendatang.
Namun, jika kembali terjadi ketegangan atau gangguan pasokan di kawasan Timur Tengah, pasar bisa kembali tertekan dan volatilitas harga meningkat tajam.

Mazroh Atul Jannah
teropongbisnis.id adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
GWM Indonesia Perluas Dealer ke Batam dengan Fasilitas Lengkap
- 14 Oktober 2025
2.
Alamtri Minerals Siapkan Rp513 Miliar untuk Eksplorasi Batu Bara
- 14 Oktober 2025
3.
Gen Z Lebih Prioritaskan Self-Care Dibanding Baby Boomer
- 14 Oktober 2025
4.
Krisis Global: Kematian Generasi Muda Terus Meningkat
- 14 Oktober 2025