Jumat, 03 Oktober 2025

Pemegang Saham Tesla Tolak Paket Kompensasi Fantastis Elon Musk

Pemegang Saham Tesla Tolak Paket Kompensasi Fantastis Elon Musk
Pemegang Saham Tesla Tolak Paket Kompensasi Fantastis Elon Musk

JAKARTA - Paket kompensasi senilai US$1 triliun untuk CEO Tesla, Elon Musk, menghadapi penolakan keras dari sejumlah pemegang saham dan pejabat negara bagian Amerika Serikat. Desakan ini muncul menjelang rapat umum pemegang saham Tesla pada November 2025, sebagaimana tercatat dalam dokumen regulator terbaru.

Kelompok penentang, yang mencakup SOC Investment Group serta bendahara negara bagian Nevada, New Mexico, dan Connecticut, meminta para investor untuk menolak paket kompensasi tersebut sekaligus menentang pemilihan ulang tiga anggota dewan Tesla: Ira Ehrenpreis, Joe Gebbia, dan Kathleen Wilson-Thompson.

Dalam surat terbuka kepada pemegang saham, koalisi ini menyoroti fokus berlebihan dewan direksi terhadap Musk, yang dianggap menghambat pencapaian target utama perusahaan yang sebelumnya ditetapkan dalam rapat tahunan. Mereka juga menekankan penurunan kinerja operasional dan finansial Tesla, serta lemahnya pengawasan terhadap manajemen.

Baca Juga

Zoomlion Gandeng Mitra Lokal Tingkatkan Pertambangan Nasional

“Dewan direksi terlalu fokus mempertahankan Musk, sehingga menghambat kemajuan pada target utama yang ditetapkan dalam rapat tahunan sebelumnya,” tulis koalisi dalam surat terbuka.

Meski demikian, Tesla tetap mencatatkan rekor pengiriman kuartalan pada kuartal terakhir. Namun, kekhawatiran pasar terhadap potensi penurunan permintaan kendaraan listrik meningkat, menyusul berakhirnya insentif pajak EV di Amerika Serikat.

Paket Kompensasi Terbesar dalam Sejarah Korporasi

Bulan lalu, dewan Tesla mengajukan paket kompensasi untuk Musk yang disebut-sebut sebagai paket terbesar dalam sejarah korporasi dunia. Paket ini dirancang berdasarkan pencapaian target ambisius, sekaligus bertujuan memperkuat kendali Musk atas perusahaan.

“Jika Elon Musk tidak memberikan hasil, ia tidak akan menerima apa pun,” tulis Tesla melalui akun resmi di X, menegaskan bahwa rencana kompensasi ini sejalan dengan penciptaan nilai bagi pemegang saham senilai triliunan dolar.

Meski nilainya fantastis, paket tersebut belum disetujui pemegang saham, sehingga masih berpotensi ditolak pada rapat umum mendatang. Penolakan ini menjadi sorotan, karena menunjukkan ketegangan antara kepemimpinan eksekutif ultra-kaya dan kontrol tata kelola perusahaan publik.

Penentang Vokal dari Sektor Publik

Salah satu penentang vokal paket ini adalah Brad Lander, Pengawas Keuangan Kota New York. Walaupun dana pensiun kota bukan pemegang saham utama Tesla, Lander dikenal aktif dalam kampanye reformasi tata kelola perusahaan besar dan menyoroti risiko kompensasi berlebihan terhadap perusahaan publik. Masa jabatannya akan berakhir pada 1 Januari 2026.

“Kompensasi ini terlalu besar dan berisiko merusak mekanisme pengawasan terhadap manajemen,” ujar Lander dalam pernyataan publiknya.

Dampak bagi Investor dan Pasar

Koalisi penentang menekankan bahwa paket tersebut mencerminkan dominasi individu atas perusahaan, yang bisa menimbulkan ketidakpastian bagi investor. Selain itu, penurunan kinerja keuangan dan volatilitas pasar EV menambah kekhawatiran, terutama karena Tesla menghadapi tekanan dari persaingan kendaraan listrik global dan berakhirnya insentif pajak EV di AS.

Sementara itu, Tesla menegaskan bahwa paket ini berbasis kinerja, sehingga jika Musk gagal mencapai target, ia tidak akan menerima kompensasi. Pernyataan ini dimaksudkan untuk menenangkan kekhawatiran investor mengenai risiko moral hazard.

Konteks Sejarah dan Kekayaan Elon Musk

Sebagai catatan, kekayaan Elon Musk saat ini mendekati US$500 miliar, menjadikannya calon triliuner pertama dunia. Namun, nilai kompensasi yang diajukan oleh dewan Tesla jauh melebihi sebagian besar paket CEO lainnya, sehingga memicu kontroversi mengenai keseimbangan antara imbalan eksekutif dan hak pemegang saham.

“Paket ini terkait pencapaian target ambisius, tetapi para pemegang saham merasa harus ada keseimbangan antara kompensasi dan kinerja,” kata analis pasar yang enggan disebut namanya.

Beberapa pengamat menilai, penolakan ini bisa menjadi momen penting bagi tata kelola perusahaan publik, terutama untuk meninjau bagaimana perusahaan besar menghadapi dominasi CEO ultra-kaya sambil tetap melindungi kepentingan investor minoritas.

Menjelang Rapat Pemegang Saham

Menjelang rapat umum pemegang saham November mendatang, tekanan terhadap Tesla diperkirakan akan meningkat. Investor akan menilai apakah paket US$1 triliun masih proporsional dengan pencapaian perusahaan atau justru menimbulkan risiko tata kelola.

Dalam kondisi ini, keputusan para pemegang saham bisa menjadi preseden penting, tidak hanya bagi Tesla, tetapi juga bagi perusahaan publik lain yang dipimpin oleh eksekutif dengan kompensasi sangat besar.

“Hasil rapat akan menjadi barometer tata kelola perusahaan global, khususnya bagaimana investor menyeimbangkan antara insentif eksekutif dan perlindungan terhadap kepentingan pemegang saham,” ujar pakar keuangan internasional.

Dengan sorotan global terhadap paket ini, masa depan kompensasi Elon Musk di Tesla tetap menjadi topik hangat, sekaligus mencerminkan tantangan perusahaan publik besar dalam mengelola ekspektasi pemegang saham dan kinerja eksekutif ultra-kaya.

Wildan Dwi Aldi Saputra

Wildan Dwi Aldi Saputra

teropongbisnis.id adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.

Rekomendasi

Berita Lainnya

Chandra Asri Raih Peringkat idAA, Prospek Keuangan Stabil

Chandra Asri Raih Peringkat idAA, Prospek Keuangan Stabil

CFX Dorong Indonesia Jadi Pusat Aset Kripto Asia Tenggara

CFX Dorong Indonesia Jadi Pusat Aset Kripto Asia Tenggara

Bank Jakarta Dukung Literasi Keuangan Melalui Abang None

Bank Jakarta Dukung Literasi Keuangan Melalui Abang None

Astra Dorong Pemberdayaan Masyarakat di Lestari Summit 2025

Astra Dorong Pemberdayaan Masyarakat di Lestari Summit 2025

FAST Jelaskan Penyebab Utang Bengkak Rp3,97 Triliun

FAST Jelaskan Penyebab Utang Bengkak Rp3,97 Triliun