JAKARTA - Kementerian Agama (Kemenag) Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, menegaskan bahwa keberadaan aplikasi Simkah (Sistem Informasi Manajemen Nikah) menjadi salah satu kunci utama dalam mencegah kasus pernikahan anak di wilayahnya.
Kepala Kemenag Mataram, H Hamdun, mengatakan, sejak sistem ini diterapkan, pihaknya tidak lagi mencatat adanya pernikahan anak.
"Sejak aplikasi Simkah diterapkan beberapa tahun lalu, kami sudah tidak lagi mencatat pernikahan anak," ungkap H Hamdun di Mataram.
Aplikasi Simkah memastikan setiap calon pengantin yang mendaftar melalui Kantor Urusan Agama (KUA) memenuhi persyaratan legal, salah satunya usia minimal 19 tahun. Jika data calon pengantin di bawah batas usia tersebut, sistem secara otomatis menolak pendaftaran. Hal ini membuat pernikahan anak dapat dicegah sejak awal proses administrasi.
Penanganan Pernikahan Siri dan Isbat Nikah
Meski demikian, Hamdun menjelaskan, ada kalanya pernikahan anak tetap terjadi di luar kontrol Kemenag, misalnya melalui pernikahan siri. Dalam situasi ini, untuk memperoleh buku nikah resmi atau isbat nikah, para pihak diarahkan untuk menempuh proses di pengadilan.
"Kami tetap tidak memberi izin dan tidak keluarkan buku nikah mereka," tegasnya. Sistem ini menegaskan peran Kemenag sebagai pengawas dan penegak batas usia minimal perkawinan.
Langkah ini memastikan bahwa pernikahan di bawah umur yang sah secara hukum benar-benar mematuhi prosedur, sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi anak dan keluarga.
Edukasi Anak dan Remaja sebagai Upaya Pencegahan
Selain kontrol administratif melalui Simkah, Kemenag Kota Mataram aktif melakukan edukasi di sekolah dan madrasah untuk mencegah pernikahan dini. Program ini dikenal dengan nama Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS), yang bertujuan memberikan pemahaman kepada siswa mengenai pentingnya kematangan usia dan perlindungan hak anak.
Melalui BRUS dan sosialisasi langsung oleh penyuluh agama di KUA, peserta mendapatkan informasi tentang risiko kesehatan, pendidikan, sosial, dan keluarga akibat pernikahan dini. Program ini tidak hanya berhenti pada teori, tetapi juga melibatkan bimbingan perkawinan pranikah bagi calon pengantin yang sudah memenuhi syarat usia minimal 19 tahun, mempersiapkan mereka secara mental, sosial, dan finansial.
Menurut Hamdun, kombinasi pengawasan administratif dan edukasi sosial menjadi strategi efektif dalam menekan angka pernikahan anak.
Data Kasus Pernikahan Anak di Mataram
Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Mataram menunjukkan, dari Januari hingga September 2025, terdapat 8 kasus pernikahan anak yang ditangani. Dari jumlah tersebut, enam kasus berhasil dicegah atau dibatalkan, sedangkan dua kasus tetap dilanjutkan dengan alasan kehamilan yang tidak diinginkan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa meski upaya pencegahan melalui Simkah dan edukasi berjalan efektif, masih ada tantangan yang harus dihadapi, terutama terkait situasi sosial dan budaya yang mendorong pernikahan dini.
Hamdun menegaskan bahwa keberhasilan program ini memerlukan kolaborasi antara KUA, penyuluh agama, sekolah, madrasah, dan keluarga. Dengan demikian, anak-anak tidak hanya terlindungi secara administratif, tetapi juga mendapatkan pemahaman yang kuat mengenai pentingnya usia matang sebelum menikah.
Sinergi Sistem dan Edukasi Efektif
Keberhasilan mencegah pernikahan anak di Mataram tidak hanya bergantung pada aplikasi Simkah, tetapi juga pada sinergi edukasi yang dilakukan di sekolah dan masyarakat. Sistem administrasi yang akurat dipadukan dengan pemahaman sosial dan kesehatan bagi remaja mampu menciptakan lingkungan yang menunda perkawinan dini.
“Kami sudah tidak lagi mencatat pernikahan anak, dan ini bukti bahwa kombinasi sistem dan edukasi dapat berjalan efektif,” pungkas H Hamdun.
Langkah ini menjadi contoh bagi daerah lain dalam mengimplementasikan teknologi dan program pendidikan untuk menekan kasus pernikahan anak, sekaligus melindungi hak dan masa depan generasi muda.