JAKARTA - Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) menjadi tonggak baru dalam perjalanan ekonomi hijau Indonesia.
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyambut langkah ini sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk memperkuat kepastian hukum dan menarik investasi hijau di sektor lingkungan.
Menurut Raja Juli, regulasi ini akan menjadi landasan kuat bagi pelaku usaha, lembaga keuangan, serta investor yang ingin terlibat dalam perdagangan karbon dan proyek restorasi hutan. Hal tersebut ia sampaikan usai menghadiri Sidang Kabinet Paripurna 1 Tahun Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di Istana Negara, Jakarta, Senin, 20 Oktober 2025.
“Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Presiden atas terbitnya Perpres 110 tentang nilai ekonomi karbon. Dulu, waktu Presiden Jokowi meluncurkan bursa karbon, hasilnya belum maksimal. Salah satu kendalanya karena investor, baik lokal maupun internasional, membutuhkan kepastian hukum. Kini, dengan perpres ini, kepastian itu hadir,” ujar Raja Juli.
Regulasi ini diharapkan menjadi jawaban atas kekhawatiran pelaku industri terkait ketidakjelasan kebijakan karbon di masa lalu, sekaligus mempertegas arah pembangunan ekonomi rendah emisi yang sedang digencarkan pemerintah.
Potensi Ekonomi Karbon Bernilai Ratusan Triliun Rupiah
Raja Juli menjelaskan bahwa nilai ekonomi karbon Indonesia memiliki potensi luar biasa besar. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, total potensi emisi yang dapat diserap mencapai 13,4 miliar ton CO? ekuivalen. Bila setiap ton karbon dihargai sekitar US$5, maka potensi perdagangan karbon nasional dapat mencapai Rp41 triliun hingga Rp120 triliun per tahun, tergantung pada fluktuasi harga pasar global.
“Ini peluang ekonomi baru yang sangat besar. Kita bicara minimum Rp41 triliun, bisa maksimal sampai Rp120 triliun per tahun,” tegasnya.
Selain menciptakan peluang ekonomi, mekanisme nilai ekonomi karbon juga diharapkan memberikan manfaat sosial dan lingkungan. Melalui skema perdagangan karbon, masyarakat sekitar kawasan hutan bisa mendapatkan insentif dari aktivitas penyerapan karbon, sementara sektor industri mendapat kesempatan untuk menyeimbangkan emisi dengan investasi hijau.
Raja Juli menambahkan, dengan adanya dasar hukum yang kuat, Indonesia kini dapat menarik lebih banyak investor hijau untuk terlibat dalam program rehabilitasi hutan dan penanaman kembali di lahan kritis.
Komitmen Pemerintah Wujudkan Investasi Hijau
Lebih jauh, Raja Juli menegaskan bahwa komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menanam 12 juta pohon di lahan kritis menjadi langkah nyata dalam mengimplementasikan Perpres 110/2025. Proyek tersebut diyakini akan menjadi magnet bagi para investor yang ingin berkontribusi dalam aksi iklim global.
“Dengan aturan turunan dari Perpres ini, insyaAllah akan banyak investor yang dulu bisnisnya menebang, kini akan menanam, demi mendapatkan harga karbon yang lebih baik,” ujarnya.
Regulasi nilai ekonomi karbon ini tidak hanya berfungsi sebagai instrumen mitigasi perubahan iklim, tetapi juga sebagai strategi ekonomi baru untuk memperkuat penerimaan negara nonpajak. Selain itu, pemerintah berharap sistem ini dapat menciptakan ekosistem industri yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Raja Juli juga menilai, penerapan nilai ekonomi karbon akan mendorong perusahaan untuk menerapkan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam kegiatan bisnisnya, sehingga membuka peluang kerja sama internasional yang lebih luas di bidang pembiayaan hijau.
Keberhasilan Tekan Kebakaran Hutan dan Lahan
Di luar aspek ekonomi, Raja Juli turut menyoroti keberhasilan pemerintah dalam menekan angka kebakaran hutan dan lahan (karhutla) secara signifikan sepanjang 2025. Berdasarkan catatan Kementerian Kehutanan, luas karhutla turun drastis dari 376.000 hektare pada 2024 menjadi hanya 213.000 hektare tahun ini.
“Puji Tuhan, di tahun pemerintahan Pak Prabowo ini, kebakaran hutan turun drastis. Ini prestasi yang patut dicatat,” ujarnya.
Penurunan tersebut, kata Raja Juli, tidak terlepas dari kepemimpinan tegas Presiden Prabowo, yang dua kali memimpin langsung rapat terbatas (ratas) penanganan karhutla. Kolaborasi lintas instansi seperti TNI, Polri, BNPB, BMKG, dan Manggala Agni juga menjadi faktor utama keberhasilan di lapangan.
Menurutnya, pengendalian karhutla bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga menyangkut kesehatan masyarakat, pendidikan, hingga reputasi internasional Indonesia. “Syukurlah tahun ini bisa diantisipasi dengan baik,” tambahnya.
Dengan berbagai langkah konkret tersebut, pemerintah berupaya menunjukkan bahwa ekonomi hijau bukan hanya jargon, tetapi arah nyata menuju pembangunan berkelanjutan. Perpres Nilai Ekonomi Karbon menjadi salah satu pilar penting dalam mencapai target net zero emission Indonesia pada 2060 atau lebih cepat.