Cara Gen Z Menilai Rumah, Antara Gaya Hidup dan Investasi

Selasa, 14 Oktober 2025 | 11:07:02 WIB
Cara Gen Z Menilai Rumah, Antara Gaya Hidup dan Investasi

JAKARTA - Bagi generasi sebelumnya, memiliki rumah merupakan simbol keberhasilan hidup — tanda seseorang telah mandiri dan mapan.

Namun, generasi Z (kelahiran 1997–2012) memiliki cara pandang berbeda. Bagi mereka, rumah tidak lagi menjadi tolok ukur kesuksesan, melainkan bagian dari pilihan gaya hidup yang fleksibel dan dinamis.

Generasi ini tumbuh di tengah perubahan sosial dan ekonomi yang cepat, di mana mobilitas, teknologi, serta pengalaman hidup lebih diprioritaskan dibanding kepemilikan aset tetap. Mereka lebih suka kebebasan untuk berpindah tempat, bekerja secara remote, dan menyesuaikan gaya hidup dengan perubahan tren.

Pertanyaannya, apakah keputusan menunda atau menolak membeli rumah ini murni karena keterbatasan finansial, atau karena adanya perubahan nilai dan prioritas hidup?

Antara Harga Rumah dan Pilihan Finansial yang Realistis

Fenomena menurunnya kepemilikan rumah di kalangan muda bukan tanpa sebab. Data Populix (Juni 2025) menunjukkan bahwa 66% anak muda Indonesia belum membeli rumah karena belum siap secara finansial. Sementara itu, 11% belum memiliki pekerjaan tetap dan 10% masih mencari lokasi yang sesuai.

Tingginya harga properti yang tak sebanding dengan pertumbuhan pendapatan menjadi kendala utama. Data Kementerian PUPR (2019) juga memperlihatkan bahwa sekitar 81 juta milenial belum memiliki rumah sendiri. Di rentang usia 26–30 tahun, hanya 38% yang berhasil membeli rumah, sementara usia 31–35 tahun baru mencapai 40%.

Kondisi ini diperparah dengan keterbatasan akses terhadap subsidi KPR, terutama bagi pekerja lepas atau wirausaha muda. Maka tidak heran jika banyak dari mereka memilih menunda pembelian rumah dan mengalihkan perhatian ke bentuk investasi lain yang lebih terjangkau dan cepat memberikan imbal hasil.

Arah Baru Investasi: Dari Properti ke Aset Digital

Alih-alih fokus pada properti, Gen Z kini menaruh minat besar pada investasi digital, seperti kripto dan saham. Data Bappebti (2025) menunjukkan bahwa lebih dari 60% investor kripto di Indonesia berasal dari rentang usia 18–30 tahun, mayoritas merupakan Gen Z. Jumlah investor kripto nasional per Maret 2025 bahkan telah mencapai 13,7 juta orang dan terus meningkat.

Bagi mereka, investasi digital menawarkan likuiditas tinggi, kemudahan akses, serta fleksibilitas, sesuai dengan gaya hidup serba cepat dan berbasis teknologi. Properti dianggap membutuhkan modal besar dan komitmen jangka panjang, sedangkan aset digital bisa dikelola secara mobile dan disesuaikan dengan kondisi finansial.

Fenomena ini menegaskan bahwa Gen Z tidak anti terhadap investasi, hanya saja mereka lebih memilih bentuk yang sejalan dengan gaya hidup digital dan kebutuhan mobilitas tinggi.

Gaya Hidup Fleksibel dan Konsumsi Pengalaman

Survei YouGov Indonesia (2025) mengungkap bahwa Gen Z lebih banyak mengalokasikan pengeluaran untuk gaya hidup — 21% untuk perawatan diri, 20% untuk pakaian dan fesyen, serta 14% untuk makan di luar. Pola konsumsi ini menandakan bahwa mereka lebih menekankan pada pengalaman dan kesejahteraan emosional, bukan sekadar akumulasi aset.

Fleksibilitas menjadi kunci utama. Banyak anak muda memilih untuk menyewa tempat tinggal agar bisa berpindah sesuai kebutuhan karier dan lingkungan sosial. Dengan cara ini, mereka merasa lebih bebas dan tidak terbebani cicilan jangka panjang yang bisa membatasi ruang gerak.

Gaya hidup ini juga dianggap sebagai bentuk self-reward di tengah tekanan ekonomi modern. Walaupun terkadang harus mengorbankan kebutuhan jangka panjang seperti menabung untuk rumah, Gen Z menganggap kebahagiaan dan keseimbangan hidup sebagai prioritas utama.

Pergeseran Makna Rumah: Dari Kepemilikan ke Kenyamanan

Meski kepemilikan rumah bukan prioritas utama, bukan berarti Gen Z tidak peduli pada tempat tinggal. Hanya saja, makna “rumah” kini telah berubah. Bagi mereka, rumah bukan sekadar bangunan yang dimiliki, tapi ruang yang nyaman dan efisien, mendukung produktivitas sekaligus mencerminkan gaya hidup.

Berdasarkan Deloitte Global Millennial Survey (2024), sebanyak 80% Gen Z bersedia membayar lebih untuk hunian ramah lingkungan. Hal ini menunjukkan kesadaran terhadap isu keberlanjutan dan keinginan untuk hidup sejalan dengan nilai-nilai modern yang hijau dan efisien energi.

Mereka lebih memilih menunggu hingga kondisi finansial stabil untuk membeli rumah yang benar-benar sesuai dengan prinsip hidup, alih-alih memaksakan diri membeli rumah murah yang tidak mencerminkan kebutuhan dan identitas mereka.

Bukan Tidak Mau, Hanya Berbeda Prioritas

Pada akhirnya, keputusan Gen Z untuk menunda atau tidak membeli rumah bukan semata karena ketidakmampuan finansial. Ini adalah pilihan sadar yang dilandasi perubahan nilai hidup dan cara pandang terhadap masa depan.

Bagi generasi ini, rumah bukan lagi ukuran kesuksesan, melainkan bagian dari identitas dan keseimbangan hidup. Mereka lebih memilih fleksibilitas, kemandirian finansial, dan kebebasan menentukan arah hidup.

Mereka mungkin belum memiliki rumah hari ini, tetapi bukan berarti tidak punya tujuan. Gen Z sedang membangun fondasi baru — bukan di atas tanah dan beton, melainkan pada prinsip fleksibilitas, keberlanjutan, dan kesejahteraan yang lebih holistik.

Terkini