JAKARTA - Pemerintah menyiapkan strategi ambisius untuk meningkatkan penerimaan pajak nasional, di tengah tantangan ketidakpastian global dan pergeseran ekonomi digital.
Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, menargetkan rasio pajak Indonesia naik ke level 12% pada 2026, sebuah lompatan signifikan dari posisi saat ini yang stagnan di 9%-10% selama sepuluh tahun terakhir. Meski target ini belum tercantum dalam RAPBN 2026, langkah konkret untuk mendorong pencapaian itu mulai digulirkan, termasuk insentif bagi pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan penguatan sistem administrasi perpajakan.
Purbaya menekankan pentingnya keseimbangan antara target ambisius dan realitas di lapangan. Target penerimaan pajak tahun depan ditetapkan sebesar Rp 2.357,7 triliun, naik 13,52% dibanding proyeksi 2025, yang membuat rasio pajak terhadap PDB diperkirakan mencapai 9,17%. “Sekarang kan tax ratio sekitar 10% ya, kalau bisa masuk 12% dalam waktu setahun nanti kita akan kasih insentif ke mereka. Supaya fair treatment, ada hukuman, ada juga reward jika mereka bekerja dengan baik,” ujar Purbaya.
Meski demikian, pemerintah tetap berhati-hati terhadap estimasi shadow economy yang beredar di publik. Purbaya menekankan, potensi ekonomi gelap tidak bisa langsung diasumsikan masuk ke perhitungan penerimaan negara. Fokus utama tetap pada penguatan pelacakan dan pencatatan ekonomi formal.
Staf Ahli Menkeu Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, menambahkan tantangan global turut memengaruhi strategi peningkatan tax ratio. Fluktuasi harga komoditas, ketidakpastian ekonomi, dan pergeseran ke ekonomi digital dapat memengaruhi stabilitas penerimaan pajak. “Ketidakpastian tadi menyebabkan harga komoditas fluktuatif, maka penerimaan pajak juga pasti fluktuatif. Pergeseran struktur perpajakan ke digital juga belum sepenuhnya diakomodir,” jelasnya.
Untuk mencapai target, pemerintah menyiapkan berbagai strategi. Perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan wajib pajak, dan implementasi penuh sistem Coretax pada 2026 menjadi pilar utama. Selain itu, penyesuaian terhadap kebijakan pajak global, termasuk pajak minimum 15% bagi perusahaan multinasional, turut diperhitungkan. Yon menekankan pentingnya kepatuhan sukarela masyarakat, karena sekitar 95% penerimaan pajak global berasal dari voluntary compliance.
Selain itu, potensi peningkatan tax ratio bisa lebih besar jika penerimaan dari DJBC, PNBP SDA, dan pajak daerah turut dihitung. Namun saat ini, DJP belum memasukkan sektor-sektor tersebut dalam perhitungan resmi. Yon menegaskan, “Tax ratio melihat karakteristik beban masyarakat, bukan sekadar sumber yang muncul dari penerimaan.”
Dengan kombinasi strategi fiskal, reformasi administrasi, dan kepatuhan wajib pajak, pemerintah berharap target ambisius 12% rasio pajak bisa dicapai. Meski tidak mudah, langkah-langkah tersebut diharapkan memperkuat kemandirian fiskal dan stabilitas penerimaan negara, sekaligus mendukung pembangunan nasional secara berkelanjutan.