JAKARTA - Rencana hibah aset senilai Rp 10 triliun dari terpidana korupsi Surya Darmadi ke Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara menjadi sorotan serius. Bukan hanya karena nilainya yang fantastis, tetapi juga karena sumber aset tersebut berasal dari kasus korupsi besar yang telah merugikan negara.
Di tengah sorotan publik, Komisi VI DPR RI menegaskan pentingnya kajian hukum mendalam sebelum rencana hibah ini diproses.
Anggota Komisi VI DPR RI, Sartono Hutomo, menyampaikan bahwa langkah kehati-hatian wajib dilakukan dalam setiap pengalihan aset bernilai besar, apalagi jika berasal dari seorang terpidana kasus korupsi.
“Tentu kami di Komisi VI DPR RI tidak berbicara menolak atau setuju. Kami lebih mendorong agar setiap rencana pengalihan aset dalam jumlah besar, terutama yang berasal dari terpidana, dikaji terlebih dahulu secara hukum yang sah atau sesuai konstitusi dan dilakukan secara transparan,” ujar Sartono.
Menurutnya, proses hibah dalam konteks ini tidak bisa dilakukan sembarangan. Sartono menilai, tanpa dasar hukum yang kuat, pengalihan dana sebesar itu justru berpotensi menciptakan permasalahan hukum baru di kemudian hari. “Jika pihak seperti Danantara atau siapapun tetap memproses penyerahan aset tersebut tanpa kepastian hukum, maka hal itu berpotensi menimbulkan temuan hukum di waktu yang akan datang,” tegasnya.
Politikus Partai Demokrat itu juga menambahkan, jika rencana hibah disetujui, maka mekanisme pengalihan dana harus melibatkan koordinasi antarlembaga terkait. Ia menekankan bahwa selama ini, dalam kasus korupsi, tidak dikenal adanya hibah dari koruptor ke negara. Aset hasil korupsi, kata Sartono, hanya dapat dikuasai negara melalui penyitaan oleh aparat penegak hukum, bukan melalui proses hibah.
“Setahu saya, tolong dikoreksi, tidak ada undang-undang yang mengatur hibah dari koruptor ke negara secara langsung, tetapi harta hasil korupsi dapat disita negara melalui proses hukum, terutama tindak pidana pencucian uang (TPPU),” ujarnya.
Rencana Hibah Aset Triliunan
Sebelumnya, Surya Darmadi—terpidana korupsi sekaligus bos PT Duta Palma Group—mengungkapkan niatnya untuk menghibahkan aset senilai Rp 10 triliun ke BPI Danantara. Aset yang akan dihibahkan berupa kebun sawit dan pabrik di Kalimantan Barat. Niat tersebut disampaikan melalui tim kuasa hukumnya kepada Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat dalam persidangan.
“Baik ya, jadi untuk surat yang sudah sampaikan terdakwa melalui penasihat hukum sudah kami terima,” kata Ketua Majelis Hakim Purwanto S Abdullah dalam persidangan tersebut.
Kuasa hukum Surya Darmadi, Handika Honggowongso, menyebut bahwa langkah hibah ini merupakan bentuk upaya kliennya membantu pemerintah. “Klien kami menyerahkan dana kebun sawit dan pabrik itu untuk membantu pemerintah,” ujarnya seusai sidang.
Surya Darmadi sendiri kini mendekam di Lapas Nusakambangan setelah divonis 16 tahun penjara dalam kasus korupsi penyerobotan lahan di Indragiri Hulu (Inhu), Riau. Kasus ini telah merugikan negara hingga triliunan rupiah. Hukuman tersebut tetap berlaku hingga putusan peninjauan kembali (PK) oleh Mahkamah Agung.
Hibah dari Koruptor Belum Ada Dasar Hukum
Pernyataan Sartono mempertegas keraguan sejumlah pihak terhadap mekanisme hibah dari pelaku korupsi ke negara. Dalam berbagai kasus sebelumnya, pengambilalihan aset koruptor selalu dilakukan melalui mekanisme penyitaan oleh aparat penegak hukum, bukan melalui jalur hibah sukarela.
Karena itu, DPR meminta proses ini dikaji mendalam oleh pihak berwenang, termasuk Kejaksaan, Kementerian Keuangan, dan lembaga hukum terkait lainnya.
Kajian tersebut penting untuk memastikan tidak ada celah hukum yang bisa dimanfaatkan di kemudian hari. Terlebih, nilai aset yang ditawarkan mencapai Rp 10 triliun—jumlah yang sangat besar dan strategis bagi negara.
Langkah kehati-hatian juga diperlukan untuk memastikan aset yang diserahkan benar-benar legal dan tidak tersangkut sengketa hukum lain. Jika tidak, bukannya membantu negara, hibah tersebut justru bisa membuka permasalahan hukum baru yang lebih kompleks.
Sorotan Publik dan Transparansi
Rencana hibah Surya Darmadi ini juga menyita perhatian publik luas. Sebagian menilai langkah ini sebagai bentuk “itikad baik”, sementara yang lain melihatnya sebagai strategi untuk meringankan tekanan atau memperbaiki citra. Karena itu, DPR menekankan bahwa proses ini harus berjalan transparan dan tunduk pada hukum yang berlaku.
Sartono menegaskan kembali, “Tentu kami tidak dalam posisi menghakimi niat tersebut. Namun, secara konstitusional dan hukum, setiap pengalihan aset dalam jumlah besar harus melalui proses yang benar dan tidak boleh ada celah hukum.”
Dengan demikian, sebelum wacana hibah ini dapat direalisasikan, pemerintah dan aparat hukum harus memastikan landasan hukum yang kuat dan mekanisme yang tepat. Transparansi dan koordinasi antarlembaga menjadi kunci agar tidak muncul persoalan hukum baru di masa depan.