Rupiah Diproyeksi Stabil Meski Modal Asing Tertekan

Senin, 13 Oktober 2025 | 10:02:06 WIB
Rupiah Diproyeksi Stabil Meski Modal Asing Tertekan

JAKARTA - Meskipun arus modal asing keluar dari Indonesia masih berlanjut sepanjang 2025, proyeksi terhadap nilai tukar rupiah menjelang akhir tahun justru terbilang cukup stabil. Kondisi ini dipengaruhi kombinasi faktor domestik maupun global, mulai dari kebijakan Bank Indonesia (BI), kinerja perdagangan, hingga dinamika ekonomi dunia yang sedang bergejolak.

Arus Modal Asing: Kontras Antara Obligasi dan Saham

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengungkapkan bahwa hingga 10 Oktober 2025, aliran dana asing ke pasar keuangan Indonesia masih menunjukkan tren yang berlawanan.

Di pasar obligasi, investor asing masih mencatatkan net inflow year to date (YTD) sebesar US$ 4,22 miliar. Namun pada saat yang sama, terjadi net outflow di pasar saham mencapai US$ 6,61 miliar serta di instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar US$ 8,30 miliar.

“Secara kumulatif, total net outflow hampir US$ 11 miliar. Keluarnya dana dari Indonesia saat dolar menguat, ditambah pelemahan diferensial imbal hasil terhadap AS,” jelas Josua kepada Kontan, Minggu (12/10/2025).

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Menurut Josua, pada pekan yang sama kawasan Asia juga mencatat aliran modal masuk yang terbatas. Indonesia bahkan hanya memperoleh inflow kecil di pasar saham, sementara di pasar obligasi justru mengalami arus keluar.

Spread SUN dan UST yang Menyempit

Faktor lain yang menekan daya tarik investasi di Indonesia adalah penyempitan selisih imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia dengan obligasi pemerintah Amerika Serikat (US Treasury/UST).

Josua menjelaskan, pada 10 Oktober 2025, imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun turun ke level 6,12%. Selisih imbal hasil SUN 10 tahun dengan UST juga menurun tajam, sehingga premi risiko domestik semakin kecil di tengah penguatan dolar AS.

Kondisi ini mengurangi minat investor asing terhadap instrumen berdenominasi rupiah, karena daya tarik carry trade ikut berkurang.

Proyeksi Pasar Obligasi, Saham, dan SRBI

Ke depan, Josua memperkirakan pasar obligasi masih berpeluang mencatat tambahan inflow moderat hingga akhir tahun.

“Hingga akhir tahun, pasar obligasi masih berpotensi mencatat tambahan net inflow moderat sekitar US$ 1 miliar hingga US$ 2 miliar, seiring ekspektasi penurunan suku bunga global dan kebutuhan suplai SBN yang ditopang permintaan domestik,” jelas Josua.

Namun, ruang pertumbuhan tersebut disebutnya terbatas karena spread terhadap UST yang semakin menyempit dan sentimen global yang mudah berubah.

Di sisi lain, pasar saham kemungkinan masih menghadapi net outflow tambahan sekitar US$ 0,5 hingga US$ 1,5 miliar. Investor asing dinilai masih menahan diri sambil menunggu arah kebijakan ekonomi pemerintah yang lebih jelas.

Sementara itu, instrumen SRBI diperkirakan tetap menghadapi tekanan keluar dana asing dengan potensi outflow tambahan sekitar US$ 1 miliar hingga US$ 2 miliar.

“Secara total, net outflow 2025 kami perkirakan berada di kisaran US$ 11,5 miliar hingga US$ 13 miliar, searah outflow didorong kombinasi pro-growth stance, pelemahan diferensial suku bunga, dan intervensi stabilisasi,” ujar Josua.

Faktor Global yang Menekan Pasar

Dari sisi eksternal, penguatan dolar AS menjadi faktor utama yang menekan pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.

Josua menilai, penguatan tersebut dipicu berbagai faktor global, mulai dari gejolak politik di Jepang dan Prancis, tertundanya data ekonomi Amerika Serikat akibat government shutdown, hingga nada hawkish dari risalah rapat Federal Open Market Committee (FOMC).

Selain itu, lonjakan harga emas yang menembus US$ 4.000 per ons troi juga mengindikasikan meningkatnya permintaan aset lindung nilai. Kondisi ini biasanya menekan minat investor untuk menempatkan dana di pasar berisiko, seperti saham atau obligasi negara berkembang.

Respons Kebijakan Domestik

Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) telah mengambil langkah penting dengan menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 4,75% pada September 2025. BI juga memperlebar koridor suku bunga sebagai sinyal bahwa bank sentral ingin mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat.

Pemerintah juga menyalurkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp 200 triliun ke lima bank pelat merah, yang diharapkan mampu memperkuat likuiditas perbankan dan mendukung target defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026.

Menurut Josua, langkah-langkah tersebut memperlihatkan komitmen pemerintah dan BI untuk menjaga momentum pertumbuhan. Namun, efek sampingnya adalah menyempitnya diferensial suku bunga terhadap AS yang justru bisa menahan minat investor asing, terutama di SRBI.

Neraca Dagang Jadi Penopang

Di sisi lain, terdapat faktor positif yang bisa menahan laju arus keluar modal, yaitu neraca dagang Indonesia yang tetap surplus.

Josua mencatat, surplus neraca dagang pada September 2025 mencapai US$ 5,5 miliar, yang berfungsi sebagai bantalan terhadap tekanan arus keluar modal asing. Kondisi ini sekaligus menjadi salah satu faktor kunci yang membuat rupiah tidak terdepresiasi lebih dalam.

Rupiah Berpeluang Stabil di Akhir Tahun

Dengan mempertimbangkan seluruh faktor, Josua memperkirakan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek akan bergerak di kisaran Rp 16.400–Rp 16.600 per dolar AS dalam dua hingga empat minggu mendatang.

Menjelang akhir tahun, rupiah bahkan berpotensi stabil atau menguat tipis di rentang Rp 16.300–Rp 16.600 per dolar AS, lebih baik dibandingkan posisi awal Oktober 2025.

“(Rupiah akhir tahun) menguat tipis dari posisi awal Oktober, dengan alasan potensi The Fed melanjutkan penurunan suku bunga, kurva SUN yang semakin menarik untuk investor domestik, dan surplus dagang yang bertahan,” ungkap Josua.

Potensi Perubahan Arah Modal Asing

Meski demikian, Josua juga mengingatkan bahwa proyeksi ini masih bergantung pada perkembangan eksternal. Jika data ekonomi AS melemah atau ketegangan politik di Jepang dan Prancis mereda, dolar AS bisa melemah dan membuka peluang inflow lebih besar ke obligasi Indonesia.

Namun sebaliknya, jika ketidakpastian politik global berlanjut atau spread SUN terhadap UST semakin sempit, potensi tambahan outflow terutama dari saham dan SRBI tetap besar. Dalam skenario terburuk, rupiah bisa bergerak di kisaran Rp 16.500–Rp 16.700 per dolar AS pada akhir tahun.

Secara keseluruhan, meskipun Indonesia masih menghadapi net outflow hingga US$ 13 miliar sepanjang 2025, dukungan neraca dagang yang surplus, langkah kebijakan moneter BI, dan stabilitas domestik membuat rupiah diproyeksikan tetap terjaga.

Kombinasi faktor positif dan negatif inilah yang menjadikan rupiah berpeluang relatif stabil menjelang akhir 2025, meski tekanan arus modal asing belum sepenuhnya mereda.

Terkini