JAKARTA - Wacana penerapan bahan bakar minyak (BBM) ramah lingkungan kembali mencuat setelah Presiden Prabowo Subianto menyetujui rencana mandatori etanol 10 persen (E10). Namun, keputusan tersebut menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat: apakah seluruh kendaraan bermotor siap menggunakan bensin campuran berbasis etanol ini?
Pemerintah menyebut langkah tersebut sebagai bagian dari strategi mengurangi ketergantungan pada impor minyak dan sekaligus memperkuat transisi menuju energi hijau. Meski begitu, para ahli mengingatkan bahwa tidak semua kendaraan dapat menerima E10 tanpa risiko kerusakan.
E10, Lanjutan dari Program Bahan Bakar Nabati
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menjelaskan bahwa program E10 merupakan kelanjutan dari keberhasilan mandatori biodiesel berbahan minyak sawit yang saat ini telah mencapai B40. Menurutnya, etanol yang digunakan berasal dari bahan nabati seperti tebu dan jagung.
“Ke depan kita akan mendorong untuk ada E10. Kemarin malam sudah kami rapat dengan Bapak Presiden. Bapak Presiden sudah menyetujui untuk direncanakan mandatori 10 persen etanol. Dengan demikian, kita akan campur bensin kita dengan etanol,” ungkap Bahlil dalam sebuah agenda di Anjungan Sarinah, Jakarta, Selasa (7/10/2025).
Tujuan utama penerapan E10, kata Bahlil, adalah menekan impor minyak yang masih tinggi sekaligus menghasilkan BBM yang lebih ramah lingkungan.
“Tujuannya, agar kita tidak impor banyak dan juga untuk membuat minyak yang bersih, yang ramah lingkungan. Nah, ini untuk anak-anak generasi Gen Z ini kan mau yang bersih-bersih. Jadi, kita kasih untuk yang bersih,” tambahnya.
Tantangan Impor Minyak yang Masih Tinggi
Data pemerintah menunjukkan, konsumsi BBM Indonesia mencapai 1,6 juta barel per hari (bph). Sementara itu, lifting minyak nasional hanya sekitar 600.000 bph. Dengan demikian, Indonesia harus mengimpor sekitar 1 juta bph untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Dalam konteks ini, program E10 dipandang sebagai salah satu solusi jangka menengah untuk menekan ketergantungan impor. Meski sudah disetujui Presiden, Bahlil menekankan bahwa E10 belum bisa langsung diterapkan.
“E10 sekarang belum, sekarang ini belum. E10 masih di dalam pembahasan dan masih di dalam kita menguji coba dulu. Sudah dinyatakan clear, sudah bagus, baru kita jalankan,” kata Bahlil.
Ia memperkirakan butuh waktu 2–3 tahun untuk pengembangan sebelum kebijakan bisa resmi berlaku. “Ya, 2-3 tahun. 2-3 tahun terhitung sekarang ya. Jadi kita harus hitung baik-baik dulu,” jelasnya.
Apakah Semua Mobil Aman Gunakan E10?
Meski terdengar menjanjikan, muncul kekhawatiran mengenai kesiapan kendaraan yang beredar di Indonesia. Pakar otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Tri Yuswidjajanto Zaenuri, menegaskan bahwa tidak semua kendaraan aman menggunakan campuran etanol 10 persen.
“Mobil maupun sepeda motor di Indonesia yang sudah mengikuti regulasi emisi terakhir bisa menggunakan bensin campur etanol sampai 10 persen,” ujar Tri.
Namun, kendaraan lama justru berisiko menghadapi masalah pada sejumlah komponen. “Pada kendaraan lama, material yang terbuat dari paduan karet alam akan mengalami swelling (melar) dan material logam yang tidak tahan korosi akan terkorosi,” tambahnya.
Hal ini disebabkan sifat etanol yang lebih mudah menyerap air, sehingga mempercepat proses korosi pada komponen logam sekaligus memengaruhi daya tahan material tertentu dalam sistem bahan bakar.
Risiko Kendaraan Lama
Bagi pemilik kendaraan lama, penggunaan E10 bisa menimbulkan biaya tambahan karena berpotensi merusak komponen vital. Mulai dari saluran bahan bakar, tangki, hingga sistem injeksi bisa terdampak jika material tidak kompatibel dengan etanol.
Tri menekankan pentingnya kehati-hatian. Pemilik kendaraan lawas disarankan untuk menunggu panduan resmi pemerintah sebelum beralih menggunakan bensin campuran etanol. Pengecekan teknis juga sangat diperlukan agar tidak menimbulkan kerusakan yang justru merugikan konsumen.
Infrastruktur dan Sosialisasi Jadi Kunci
Di luar kesiapan kendaraan, pemerintah juga perlu memastikan kesiapan infrastruktur distribusi dan pengawasan mutu BBM. Sistem penyimpanan, pengangkutan, hingga pengawasan di SPBU harus sesuai standar agar etanol tetap stabil dan tidak merusak mesin kendaraan.
Sosialisasi juga menjadi tantangan besar. Pemerintah harus menjelaskan dengan gamblang siapa saja yang bisa langsung menggunakan E10, bagaimana cara beradaptasi bagi pemilik kendaraan lama, serta langkah mitigasi jika terjadi kendala teknis di lapangan.
Tanpa komunikasi yang jelas, penerapan E10 bisa menimbulkan resistensi publik, sama halnya dengan kebijakan energi lain yang pernah menimbulkan perdebatan.
Menunggu Implementasi Nyata
Meski masih dalam tahap uji coba, kebijakan E10 menandai langkah serius pemerintah dalam mengejar target energi bersih. Keputusan Presiden Prabowo memberi sinyal kuat bahwa transisi energi tidak bisa ditunda, terutama ketika impor minyak semakin memberatkan neraca perdagangan.
Namun, di sisi lain, tantangan teknis dan sosial tidak bisa dianggap remeh. Pemerintah dituntut untuk menyiapkan regulasi yang matang, melibatkan produsen otomotif, serta memberi kepastian bagi pemilik kendaraan lama agar tidak terjebak pada biaya perbaikan yang tinggi.
Penerapan E10 jelas bukan sekadar soal teknologi bahan bakar, melainkan juga ujian koordinasi lintas sektor: dari energi, industri, transportasi, hingga konsumen. Keberhasilan program ini akan sangat bergantung pada seberapa baik pemerintah menyiapkan semua prasyarat tersebut.