
JAKARTA - Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan langkah besar untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor bensin dengan mempercepat penerapan mandatori bioetanol E10 atau bensin dengan campuran etanol nabati sebesar 10%.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menargetkan kebijakan ini bisa mulai diberlakukan pada tahun 2027.
Menurut Bahlil, percepatan implementasi E10 merupakan strategi penting dalam memperkuat ketahanan energi nasional. Ia menegaskan bahwa pemerintah sedang menyusun timeline dan melakukan kajian menyeluruh agar mandatori bioetanol dapat diterapkan secara efektif tanpa mengganggu pasokan energi domestik.
Baca JugaBMTP Berlaku, Industri Benang Kapas Dalam Negeri Siap Bersaing
“Sekarang lagi dilakukan kajian; apakah mandatori ini dilakukan 2027 atau 2028 atau tahun berapa. Menurut saya, hal yang kita lagi desain, kelihatannya paling lama 2027 ini sudah bisa berjalan, karena E10 adalah bagian dari strategi pemerintah untuk mengurangi impor bensin,” ujarnya.
Selama ini, Indonesia diketahui mengimpor sekitar 27 juta kiloliter (kl) bensin per tahun, menjadikannya sebagai importir bensin terbesar di kawasan Asia Pasifik menurut catatan Argus Media. Dengan implementasi E10, pemerintah berharap porsi impor dapat berkurang secara bertahap seiring meningkatnya pemanfaatan bahan bakar nabati dalam negeri.
Impor Bensin Indonesia Masih Jadi Tantangan Energi Nasional
Tingginya angka impor bensin masih menjadi tantangan besar bagi sektor energi Indonesia. Berdasarkan data dari Global Trade Tax (GTT), impor bensin Indonesia mencapai rekor tertinggi pada Desember 2024, yakni 475.000 barel gasoline per hari, naik 29% dibandingkan bulan sebelumnya dan 24% lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
Secara keseluruhan, Indonesia mengimpor 378.500 barel gasoline per hari sepanjang 2024, meningkat dari 369.000 barel pada 2023. Negara pemasok utama bensin Indonesia masih didominasi oleh Singapura, yang berperan sebagai pusat pencampuran bahan bakar di Asia Tenggara, dengan pasokan 279.000 barel per hari. Malaysia berada di posisi kedua dengan pasokan 97.000 barel per hari.
Kondisi ini membuat pemerintah semakin terdorong untuk mempercepat transisi energi melalui pemanfaatan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif. Dengan mengurangi ketergantungan impor, Indonesia tidak hanya bisa menghemat devisa, tetapi juga memperkuat kemandirian energi nasional.
Pabrik Etanol Jadi Kunci Sukses Mandatori Bioetanol
Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa kunci utama keberhasilan program E10 terletak pada ketersediaan fasilitas produksi etanol dalam negeri. Ia menilai, pengolahan bahan baku bioetanol seperti singkong dan tebu harus dilakukan sepenuhnya di Indonesia agar dapat memberikan nilai tambah ekonomi sekaligus menciptakan lapangan kerja baru.
“Pabrik etanol ini dari singkong, dari tebu, dan ini mampu menciptakan lapangan pekerjaan karena petani-petani kita ke depan akan kita dorong untuk melakukan ini,” ujarnya.
Namun, realisasi target tersebut masih membutuhkan waktu dan investasi besar. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi menyebut bahwa penerapan E10 kemungkinan baru bisa dilakukan penuh pada 2028, dimulai dari sektor non-public service obligation (PSO).
“Dua–tiga tahun, sekitar 2028. Non-PSO dulu, jadi bukan tahun depan,” kata Eniya. Ia menjelaskan, kebutuhan bioetanol untuk tahap awal akan mencapai 1,2 juta kiloliter, sementara saat ini kapasitas produksi nasional masih jauh di bawah angka tersebut.
Sebagai langkah transisi, pemerintah berencana memperluas penggunaan E5 atau bensin dengan campuran 5% etanol, seperti yang sudah diterapkan pada produk Pertamax Green 95 milik Pertamina. Selain itu, Kementerian ESDM tengah menyiapkan keputusan menteri yang akan menjadi peta jalan implementasi mandatori bioetanol ke depan.
Tantangan Kapasitas Produksi dan Arah Kebijakan Bioetanol
Peneliti energi independen Akhmad Hanan menilai bahwa target pemerintah untuk menerapkan E10 dalam waktu dekat masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam hal kapasitas produksi bioetanol. Ia memperkirakan kebutuhan nasional akan mencapai 890.000 kiloliter per tahun jika program tersebut dijalankan pada 2026.
“Kalau program E10 ini benar-benar akan diterapkan pada 2026, kebutuhan nasional bisa mencapai lebih dari 890.000-an per tahun, dan ini masih butuh infrastruktur dan peningkatan produksi dalam negeri,” kata Akhmad.
Ia menambahkan bahwa kapasitas terpasang produksi etanol hingga 2024 baru mencapai 303.000 kiloliter, sementara realisasi produksinya hanya sekitar 161.000 kiloliter. Artinya, masih ada kesenjangan besar antara kapasitas aktual dan kebutuhan ideal untuk menjalankan program bioetanol skala nasional.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (BBN), pemerintah menargetkan produksi bioetanol berbasis tebu dapat mencapai 1,2 juta kiloliter pada 2030.
Dengan dukungan investasi industri dan kebijakan yang konsisten, implementasi E10 diharapkan menjadi langkah strategis menuju ketahanan energi berkelanjutan, sekaligus membuka jalan bagi kemandirian energi Indonesia dari sumber daya alamnya sendiri.

Mazroh Atul Jannah
teropongbisnis.id adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Layanan Logistik Terpadu Dorong Percepatan Transformasi Bisnis Indonesia
- Selasa, 21 Oktober 2025
Berita Lainnya
Layanan Logistik Terpadu Dorong Percepatan Transformasi Bisnis Indonesia
- Selasa, 21 Oktober 2025
Terpopuler
1.
Tahun Pertama Pemerintahan Prabowo Bebas Kasus Sengketa Tanah
- 21 Oktober 2025
2.
Simkah Efektif Cegah Pernikahan Anak di Kota Mataram
- 21 Oktober 2025
3.
Kementerian ESDM Dorong Energi Berkeadilan untuk Rakyat
- 21 Oktober 2025
4.
Pemkot Bekasi Sewa Mobil Listrik Demi Efisiensi Anggaran
- 21 Oktober 2025
5.
Volvo Indonesia Siapkan Mobil Listrik ES90 Andalan Terbaru
- 21 Oktober 2025