Sabtu, 11 Oktober 2025

Biaya Medis Keracunan MBG Jadi Tanggung Jawab Pemda Jika KLB

Biaya Medis Keracunan MBG Jadi Tanggung Jawab Pemda Jika KLB
Biaya Medis Keracunan MBG Jadi Tanggung Jawab Pemda Jika KLB

JAKARTA - Isu pembiayaan medis bagi korban keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali mencuat di tengah meningkatnya jumlah kasus di berbagai daerah. Direktur Utama (Dirut) BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, menegaskan bahwa penanggung biaya pengobatan korban bergantung pada status hukum kejadian tersebut. Jika keracunan MBG dikategorikan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB), maka tanggung jawab pembiayaan sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah (Pemda).

Sebaliknya, jika belum ditetapkan sebagai KLB, maka BPJS Kesehatan tetap menanggung biaya medis—tentu hanya bagi masyarakat yang terdaftar sebagai peserta BPJS. Penjelasan ini disampaikan Ali Ghufron saat ditemui di Jakarta, Kamis (9/10/2025), sebagaimana dikutip dari Antaranews.

“Sepanjang tidak ada declare bahwa itu masalah terkait dengan KLB. Kalau KLB lokal, maka tanggung jawabnya pemda,” ujarnya menjelaskan.

Baca Juga

Home Credit Adalah: Syarat, Cara Daftar, hingga Cek Angsuran

Pernyataan tersebut menjadi penegasan atas banyaknya pertanyaan publik mengenai siapa yang menanggung biaya pengobatan korban keracunan dalam pelaksanaan program MBG yang belakangan menuai kritik.

BPJS Kesehatan Hanya Menanggung Peserta Terdaftar

Ali Ghufron juga menekankan bahwa BPJS Kesehatan tidak dapat menanggung biaya perawatan bagi masyarakat yang bukan peserta aktif. Ia mengingatkan bahwa skema jaminan kesehatan nasional hanya berlaku bagi mereka yang secara sah terdaftar dalam sistem BPJS.

“BPJS Kesehatan hanya menjamin peserta BPJS. Masa bukan (peserta) BPJS dijamin oleh BPJS?” ucapnya.

Pernyataan tersebut sekaligus memperjelas posisi BPJS Kesehatan sebagai lembaga pelaksana jaminan sosial, bukan lembaga penanggung beban seluruh pelayanan kesehatan tanpa batas administratif. Dengan demikian, korban keracunan MBG yang tidak memiliki keanggotaan BPJS aktif harus ditanggung melalui mekanisme pembiayaan lain, terutama bila peristiwa tersebut masuk kategori KLB.

Ribuan Warga Terdampak Keracunan MBG di Berbagai Daerah

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah untuk memperkuat gizi masyarakat, terutama anak sekolah, kini tengah menjadi sorotan nasional. Pasalnya, program tersebut justru menyebabkan ribuan warga mengalami keracunan massal di sejumlah daerah.

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hidayana, melaporkan bahwa hingga 30 September 2025, total korban yang terdampak mencapai lebih dari 6.457 orang.

“Kita lihat di wilayah satu ada yang mengalami gangguan pencernaan sebanyak 1.307 orang. Wilayah dua bertambah, tidak lagi 4.147, ditambah dengan yang di Garut mungkin 60 orang,” ujar Dadan saat rapat bersama Komisi IX DPR RI.
“Kemudian, wilayah III ada 1.003 orang,” lanjutnya.

Laporan BGN ini menunjukkan bahwa insiden keracunan tidak hanya terjadi di satu lokasi, melainkan menyebar di berbagai wilayah dengan tingkat keparahan yang bervariasi.

Data Kemenkes dan BPOM Tunjukkan Angka Kasus yang Tinggi

Selain BGN, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) juga mencatat data yang mengkhawatirkan. Hingga pertengahan September 2025, Kemenkes mencatat sedikitnya 60 kasus dengan 5.207 penderita akibat konsumsi menu dari program MBG.

Sementara itu, BPOM melaporkan 55 kasus dengan 5.320 penderita di berbagai wilayah Indonesia. Dari seluruh data tersebut, Provinsi Jawa Barat menjadi daerah dengan jumlah kasus terbanyak, menjadikannya pusat perhatian dalam evaluasi program nasional tersebut.

Data lintas lembaga ini memperlihatkan bahwa persoalan kebersihan, pengawasan, dan manajemen penyediaan makanan bergizi perlu diperketat, agar tidak menimbulkan risiko kesehatan masyarakat yang lebih luas.

Langkah Pemerintah: Evaluasi Total dan Pengetatan Prosedur MBG

Menanggapi meluasnya kasus keracunan, pemerintah bergerak cepat melakukan berbagai langkah penanganan dan evaluasi. Salah satu upaya utama adalah menutup sementara sejumlah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur umum MBG yang diduga bermasalah dalam pengelolaan bahan makanan.

Selain itu, pemerintah juga menetapkan standar baru bagi SPPG, yaitu kewajiban memiliki Sertifikat Laik Higienis dan Sanitasi (SLHS) sebelum kembali beroperasi. Langkah ini diambil untuk memastikan setiap penyedia makanan dalam program MBG memenuhi standar kebersihan dan keamanan pangan yang ketat.

Tidak hanya itu, evaluasi terhadap juru masak dan sistem pengolahan limbah dapur juga menjadi perhatian utama. Pemerintah menilai, kualitas sumber daya manusia di lapangan berperan besar dalam mencegah terjadinya kontaminasi makanan.

Reformasi di Badan Gizi Nasional (BGN)

Sebagai lembaga pelaksana program, Badan Gizi Nasional (BGN) juga akan menjalani perombakan tata kelola secara menyeluruh. Pemerintah berencana memperkuat manajemen internal BGN dengan meningkatkan standar rekrutmen tenaga dapur profesional serta memperluas pelatihan keamanan pangan.

“Pemerintah memerintahkan agar BGN merekrut koki atau juru masak yang terlatih,” ujar Dadan Hidayana menegaskan dalam rapat dengan DPR.

Langkah ini menjadi bagian dari upaya membangun sistem yang lebih tangguh agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.

Program Tetap Berjalan, Namun dengan Pengawasan Ketat

Meski dihantam polemik dan sorotan publik, pemerintah memastikan bahwa program Makan Bergizi Gratis tidak akan dihentikan. Program ini tetap dianggap strategis untuk mendukung perbaikan gizi anak-anak dan masyarakat rentan di berbagai daerah.

Namun, pelaksanaannya kini berada di bawah pengawasan lebih ketat lintas kementerian dan lembaga, termasuk BGN, BPOM, Kemenkes, dan pemerintah daerah.

Fokus utama pemerintah adalah menjamin keamanan pangan dan kesehatan masyarakat, sembari tetap menjaga keberlanjutan program prioritas nasional yang diharapkan dapat menekan angka stunting dan malnutrisi.

Keseimbangan antara Perlindungan dan Tanggung Jawab

Kasus keracunan MBG menjadi pelajaran penting tentang keseimbangan antara tanggung jawab pemerintah dan sistem perlindungan sosial. BPJS Kesehatan berperan memastikan peserta mendapat layanan kesehatan, sementara Pemda wajib hadir ketika kejadian sudah ditetapkan sebagai KLB.

Dengan kolaborasi yang tepat, pemerintah berharap setiap warga mendapatkan penanganan medis yang adil tanpa mengabaikan aspek tanggung jawab administratif dan hukum.

“Sepanjang tidak ada declare bahwa itu KLB, BPJS tetap menjamin. Kalau sudah KLB, maka pemda harus tanggung jawab,” tegas Ali Ghufron.

Wildan Dwi Aldi Saputra

Wildan Dwi Aldi Saputra

teropongbisnis.id adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.

Rekomendasi

Berita Lainnya

BPKH Perkuat Ekosistem Haji Berkelanjutan dengan Dana Rp171 Triliun

BPKH Perkuat Ekosistem Haji Berkelanjutan dengan Dana Rp171 Triliun

Mensos Gus Ipul Beberkan 9 Arah Kebijakan Strategis Kemensos

Mensos Gus Ipul Beberkan 9 Arah Kebijakan Strategis Kemensos

Menbud Fadli Zon Dorong Reformasi Hak Cipta Musik Indonesia

Menbud Fadli Zon Dorong Reformasi Hak Cipta Musik Indonesia

Dishub DKI Evaluasi Tarif TransJakarta Demi Layanan Berkelanjutan

Dishub DKI Evaluasi Tarif TransJakarta Demi Layanan Berkelanjutan

Polri Targetkan 5.000 Kamera ETLE Demi Lalu Lintas Aman

Polri Targetkan 5.000 Kamera ETLE Demi Lalu Lintas Aman