
JAKARTA - Petani Indonesia mencatat kemajuan signifikan dalam daya beli mereka pada September 2025.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai tukar petani (NTP) naik 0,63% secara bulanan menjadi 124,36, menandakan bahwa pendapatan dari hasil pertanian lebih cepat bertumbuh dibandingkan harga kebutuhan yang mereka beli. Kenaikan ini terutama terlihat pada subsektor tanaman perkebunan rakyat dan peternakan.
Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, M. Habibullah, menegaskan, “Peningkatan NTP ini terjadi karena indeks harga yang diterima petani atau It naik sebesar 0,71%, lebih tinggi dari kenaikan indeks harga yang dibayarkan petani atau Ib yang sebesar 0,08%.” Hal ini menunjukkan adanya keuntungan nyata bagi para petani dalam menjaga daya beli mereka di tengah inflasi barang konsumsi.
Baca JugaStimulus Fiskal Dorong Pembangunan Gudang Kopdes Merah Putih
Jika dibandingkan dengan Agustus 2025, NTP sebelumnya berada di level 123,57. Dengan angka baru 124,36, kemampuan petani untuk menukar produk pertanian dengan barang dan jasa yang dibutuhkan meningkat. NTP sendiri dihitung dengan membandingkan indeks harga yang diterima petani (It) dengan indeks harga yang dibayar petani (Ib).
Menurut Habibullah, indeks harga yang diterima petani (It) meningkat dari 153,95 pada Agustus menjadi 155,04 pada September 2025. Komoditas yang menjadi penyumbang utama kenaikan It di tingkat nasional antara lain kopi, kelapa sawit, cabai merah, dan karet. Di sisi lain, indeks harga yang dibayarkan petani (Ib) naik tipis 0,08%, dari 124,58 menjadi 124,67. Kenaikan Ib ini dipengaruhi oleh komoditas seperti cabai merah, daging ayam ras, sigaret kretek mesin (SKM), dan telur ayam ras.
Subsektor tanaman perkebunan rakyat (NTPR) mencatat peningkatan tertinggi, yakni 1,57% dari 157,30 pada Agustus menjadi 159,77 pada September. “Subsektor tanaman perkebunan rakyat mengalami peningkatan NTP sebesar 1,57%. Hal ini karena It naik sebesar 1,68%, lebih tinggi dari kenaikan Ib,” ujar Habibullah. Komoditas yang berperan signifikan dalam subsektor ini antara lain kopi, kelapa sawit, karet, dan cengkih.
Tidak kalah positif, subsektor peternakan (NTPT) juga mengalami pertumbuhan NTP sebesar 1,51%. Nilai NTPT meningkat dari 100,47 pada Agustus menjadi 101,99 pada September. Kenaikan ini terjadi karena indeks harga yang diterima peternak lebih tinggi dibandingkan kenaikan biaya yang mereka keluarkan. Habibullah menambahkan, “Komoditas yang dominan memengaruhi peningkatan It adalah ayam ras pedaging, telur ayam ras, ayam kampung, dan sapi potong.”
Namun, tidak semua subsektor mencatat pertumbuhan. Horikultura (NTPH) justru mengalami penurunan 1,63%, dari 122,89 pada Agustus menjadi 120,89 pada September. Penurunan ini menunjukkan adanya tantangan bagi petani hortikultura dalam menyesuaikan harga hasil panen dengan biaya produksi dan kebutuhan sehari-hari.
Di samping itu, nilai tukar nelayan (NTN) juga mengalami peningkatan 0,14% karena indeks harga yang diterima lebih tinggi dibandingkan kenaikan biaya yang dibayarkan. Komoditas utama yang memengaruhi It pada subsektor nelayan adalah tongkol, teri, dan kakap. Hal ini menunjukkan bahwa selain sektor pertanian, sektor perikanan juga mulai menunjukkan perbaikan dalam daya beli para nelayan.
Secara keseluruhan, kenaikan NTP ini menjadi indikator positif bagi kesejahteraan petani di Indonesia. Kenaikan terutama dipicu oleh harga produk yang diterima petani lebih tinggi daripada kenaikan biaya yang mereka keluarkan. Dengan kata lain, pendapatan dari hasil pertanian kini mampu lebih baik menutupi kebutuhan sehari-hari petani, sekaligus meningkatkan kualitas hidup mereka.
Habibullah menekankan pentingnya memahami dinamika NTP sebagai alat ukur kesejahteraan petani. “NTP yang meningkat menunjukkan bahwa daya beli petani di pedesaan semakin kuat, yang menjadi salah satu tolok ukur utama untuk melihat kesejahteraan masyarakat pertanian,” ujarnya.
Data BPS juga menunjukkan bahwa meski beberapa subsektor menghadapi penurunan, seperti hortikultura, subsektor lain mampu menopang pertumbuhan NTP nasional. Hal ini menandakan adanya peluang untuk meningkatkan pendapatan melalui diversifikasi komoditas pertanian.
Selain itu, kenaikan NTP juga berimplikasi pada perencanaan kebijakan pemerintah untuk mendukung petani dan nelayan. Pemerintah dapat menyesuaikan program subsidi, akses kredit, dan bantuan teknis berdasarkan indikator NTP, sehingga intervensi kebijakan dapat lebih tepat sasaran.
Dengan tren kenaikan NTP ini, para petani perkebunan dan peternak diharapkan mampu mengoptimalkan produksi dan meningkatkan efisiensi usaha pertanian mereka. Hal ini penting untuk memastikan keberlanjutan sektor pertanian nasional dan menjaga stabilitas harga pangan di pasar domestik.
Secara ringkas, kenaikan NTP ke level 124,36 pada September 2025 menegaskan bahwa kesejahteraan petani Indonesia meningkat. Sektor perkebunan rakyat dan peternakan menjadi motor penggerak utama, sementara subsektor lain seperti hortikultura masih menghadapi tantangan. Peningkatan ini memberikan sinyal positif bagi pertumbuhan ekonomi pedesaan dan memperkuat basis produksi pangan nasional.

Mazroh Atul Jannah
teropongbisnis.id adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
Mesin, Pakaian, Alas Kaki Dorong Surplus Ekspor Indonesia
- 02 Oktober 2025
2.
Peluang Karier Relationship Officer BCA untuk Lulusan Baru
- 02 Oktober 2025
3.
Harga Emas Antam Terbaru Hari Ini dan Aturan Pajak Pembeliannya
- 02 Oktober 2025
4.
Rekomendasi Saham dan Update IHSG Kamis 2 Oktober 2025
- 02 Oktober 2025
5.
Cara Praktis dan Cepat Cek Pajak Kendaraan Online 2025
- 02 Oktober 2025