
JAKARTA - Cuaca tidak menentu kembali dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Meski secara kalender klimatologis Agustus 2025 seharusnya menjadi puncak musim kemarau, hujan deras justru masih rutin mengguyur sejumlah wilayah di tanah air. Keadaan ini pun menimbulkan pertanyaan dari masyarakat: sampai kapan kondisi ini akan berlangsung?
Fenomena yang dikenal dengan istilah “kemarau basah” ini menjadi salah satu topik penting dalam diskusi iklim dan cuaca nasional. Hujan yang terus turun selama musim kemarau memang bukan hal baru, namun intensitas dan luas wilayah yang terdampak membuatnya terasa tidak biasa.
Menurut data yang tercatat dalam tiga hari pertama bulan Agustus 2025, curah hujan lebat hingga ekstrem terjadi di beberapa wilayah. Maluku tercatat mengalami hujan dengan intensitas 205,3 mm per hari. Kalimantan Barat mencatat curah hujan 89,5 mm per hari, Jawa Tengah 83 mm per hari, dan Jabodetabek mencapai 121,8 mm per hari.
Baca Juga
Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, menyebutkan bahwa fenomena ini sebenarnya masih dalam batas normal secara klimatologis. Istilah kemarau basah digunakan untuk menggambarkan musim kemarau yang masih ditandai dengan curah hujan tinggi, meskipun frekuensinya lebih rendah dibanding musim hujan.
“Seperti yang disampaikan oleh BMKG, kondisi ini menyambung sampai musim hujan kembali,” ujar Guswanto.
Ia menjelaskan bahwa beberapa faktor menjadi penyebab utama kemunculan hujan deras di tengah musim kemarau ini. Salah satunya adalah kondisi Indian Ocean Dipole (IOD) yang saat ini berada pada fase negatif dengan indeks -0,6. Fase ini menunjukkan suhu permukaan laut yang hangat di Samudra Hindia, yang berkontribusi besar terhadap peningkatan uap air ke atmosfer.
Suhu permukaan laut yang hangat mendorong pembentukan awan-awan hujan di wilayah Indonesia. Guswanto juga menegaskan bahwa fenomena ini tidak dipengaruhi oleh La Nina, yang sering diasosiasikan dengan peningkatan curah hujan di wilayah tropis.
Selain IOD, faktor atmosfer lainnya juga berperan. Salah satunya adalah gelombang Madden-Julian Oscillation (MJO), yang sedang aktif di wilayah Sumatera hingga Jawa bagian barat. Aktivitas MJO meningkatkan potensi pembentukan awan hujan secara signifikan di daerah-daerah tersebut.
Di sisi lain, Bibit Siklon Tropis 90S yang terpantau berada di Samudra Hindia barat daya Bengkulu, turut memperkuat konvergensi angin di sepanjang Pulau Jawa. Konvergensi ini mendukung terbentuknya awan-awan hujan yang lebih besar dan menyebar.
Tak hanya itu, suhu muka laut (SST) di perairan Indonesia yang tetap hangat turut meningkatkan kandungan uap air di atmosfer. Kombinasi dari berbagai kondisi ini memicu hujan intens yang turun di awal Agustus.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, sebelumnya juga menyampaikan bahwa anomali curah hujan yang terjadi sejak Mei 2025 diprediksi akan terus berlanjut. Curah hujan di atas normal akan terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia setidaknya hingga Oktober 2025.
"Melemahnya Monsun Australia yang berasosiasi dengan musim kemarau turut menyebabkan suhu muka laut di selatan Indonesia tetap hangat dan hal ini berkontribusi terhadap terjadinya anomali curah hujan tersebut," ujarnya dalam konferensi pers daring awal Juli lalu.
Faktor lain yang turut memperparah kondisi ini adalah gelombang atmosfer seperti Kelvin, Rossby Ekuator, dan Low-Frequency, yang saat ini sedang aktif dan memperkuat proses konvektif atau pembentukan awan-awan hujan di langit Indonesia.
BMKG juga mencatat adanya perlambatan dan belokan angin di wilayah Jawa bagian barat dan selatan, yang memicu penumpukan massa udara lembap. Hal ini mendukung peningkatan potensi hujan, termasuk di kawasan padat penduduk seperti Jabodetabek.
Sementara itu, pakar klimatologi dari BRIN, Erma Yulihastin, memberikan prediksi tambahan terkait fenomena ini. Ia menyatakan bahwa curah hujan pada bulan Agustus bahkan berpotensi lebih tinggi dibandingkan bulan Juli.
"Nanti Agustus itu 2 kali lipat hujan yang sekarang. Terjadi di dasarian ketiga. Dasarian ketiga itu berarti tanggal 21 sampai akhir Agustus," tuturnya dalam sebuah unggahan di media sosial X.
Menurut Erma, cuaca buruk di bulan Agustus akan lebih merata, karena keberadaan vorteks yang diperkirakan akan mendekat ke wilayah Indonesia. Hal ini dapat menimbulkan peningkatan intensitas hujan dua kali lipat dibandingkan saat ini.
Ia mengingatkan bahwa jika terjadi banjir selama seminggu di wilayah Jabodetabek, potensi kerugian ekonomi bisa mencapai Rp2 hingga Rp10 triliun. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat diminta untuk bersiap dan mengambil langkah mitigasi.
"Masyarakat agar waspada, terutama yang tinggal di sekitar DAS," imbaunya.
Melihat prediksi tersebut, pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait diminta meningkatkan kewaspadaan serta menyiapkan langkah antisipatif. Masyarakat juga diimbau untuk tidak mengabaikan informasi cuaca harian, khususnya mereka yang tinggal di wilayah rawan bencana.
BMKG dan beberapa pusat iklim dunia telah menyatakan bahwa baik ENSO (fenomena suhu muka laut di Samudra Pasifik) maupun IOD diperkirakan akan tetap berada pada fase netral di semester kedua tahun 2025. Namun demikian, tetap diperlukan kewaspadaan mengingat intensitas hujan masih tinggi dan sifatnya menyebar.
Dengan situasi seperti ini, musim kemarau tahun 2025 menjadi berbeda dari biasanya. Masyarakat perlu menyesuaikan diri dengan fenomena kemarau basah yang sedang berlangsung, sambil terus memperhatikan perkembangan prakiraan cuaca dan informasi resmi dari lembaga terkait.

Sutomo
teropongbisnis.id adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
Infinix Hot 50 Performa Kencang Desain Stylish
- 07 September 2025
2.
iQOO 13 Smartphone Flagship Harga Terjangkau
- 07 September 2025
3.
Rekomendasi POCO 2025: Hasil Foto Spektakuler
- 07 September 2025
4.
OnePlus Pad 2 Pro, Tablet Android Performa Gahar
- 07 September 2025
5.
Vivo X300 Hadir dengan Layar Perlindungan Mata
- 07 September 2025