Senin, 08 September 2025

Apa yang Dimaksud Istilah Childfree, Dampak, dan Penyebabnya

Apa yang Dimaksud Istilah Childfree, Dampak, dan Penyebabnya
istilah childfree

Istilah childfree mulai ramai dibicarakan setelah Gita Savitri menyebut ia dan suaminya memilih untuk tidak memiliki anak.

Di tanah air, istilah yang satu sebenarnya belum terlalu dikenal secara luas oleh masyarakat. 

Namun sejak pernyataan Gita Savitri muncul dan menjadi perbincangan, istilah tersebut pun mulai sering muncul dalam berbagai obrolan serta diskusi, terutama di platform media sosial.

Baca Juga

Harga dan Spesifikasi Asus Vivobook Pro 16X OLED K6604 di Indonesia

Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah ini? Mengapa ada pasangan yang dengan sadar memilih jalan hidup tersebut? Mari simak penjelasan lengkapnya untuk memahami lebih jauh tentang istilah childfree.

Apa yang Dimaksud dengan Istilah Childfree?

Menurut situs HeylawEdu, istilah childfree berarti keputusan seseorang atau pasangan untuk tidak memiliki anak. 

Oxford Dictionary juga menjelaskan bahwa istilah ini merujuk pada situasi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak punya keturunan sebagai alasan utama. 

Definisi serupa juga ditemukan dalam Cambridge Dictionary, yang menegaskan bahwa istilah ini mengacu pada pilihan tidak memiliki anak.

Istilah yang satu ini dikenal luas di kalangan feminis dan menjadi bagian dari agenda feminisme. 

Dalam buku “Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam” karya Siti Muslikhati, dijelaskan bahwa feminisme berupaya mewujudkan kesetaraan gender, di mana pria dan wanita berperan setara, baik di dalam maupun luar rumah.

Pada masa reformasi, gerakan feminisme mulai berkembang pesat dan mengangkat isu ketimpangan gender, yang menggambarkan kondisi perempuan yang kurang beruntung dan terpinggirkan. 

Hal ini memicu para feminis untuk mendorong gerakan yang mendukung perempuan dan pasangan memilih childfree sebagai bentuk kebebasan dalam menentukan peran mereka, termasuk kebebasan memilih untuk tidak menjadi ibu atau tidak menjalani proses kehamilan dan kelahiran.

Keputusan untuk childfree sejatinya sangat pribadi. Namun, di Indonesia, pilihan ini masih dianggap tabu. Contohnya, pengumuman dari Gita Savitri saat memutuskan childfree menuai beragam kritik dan penilaian negatif dari masyarakat.

Namun, pertanyaan yang muncul adalah, apakah semua asumsi tersebut benar? Dan bagaimana dampak dari keputusan seseorang atau pasangan untuk childfree?

Dampak Childfree untuk Kesehatan

Keputusan seorang wanita atau pasangan untuk tidak memiliki anak ternyata bisa memberikan pengaruh pada aspek kesehatan biologis. 

Ada sejumlah efek kesehatan yang mungkin muncul saat pasangan menjalani pilihan childfree dalam pernikahan mereka.

Berdasarkan hasil penelitian, perempuan tanpa keturunan memiliki potensi mengalami kondisi kesehatan yang kurang baik di masa depan. Selain itu, kondisi ini juga berhubungan dengan peningkatan risiko kematian dini.

Tidak memiliki anak juga dikaitkan dengan peningkatan risiko terkena kanker payudara. Saat seorang perempuan hamil dan menyusui, risiko tersebut menurun karena adanya perubahan hormonal selama masa kehamilan dan menyusui.

Selama kehamilan, hormon progesteron meningkat sementara estrogen menurun, yang membuat perempuan hamil lebih terlindungi dari risiko kanker payudara. 

Selain itu, hormon yang berperan dalam pertumbuhan kanker juga mengalami penurunan saat hamil, sehingga wanita yang tidak melalui masa kehamilan memiliki risiko lebih tinggi mengalami kanker tersebut.

Di sisi lain, beberapa studi lain menyebutkan bahwa perempuan yang memilih untuk tidak memiliki anak justru cenderung memiliki umur lebih panjang dan menjalani gaya hidup yang lebih sehat.

Hal ini dijelaskan karena tanggung jawab merawat anak yang cukup berat dapat menimbulkan kelelahan fisik dan mental. Kelelahan pikiran yang dialami ibu terkadang memicu gangguan kesehatan lain seperti psikosomatik.

Psikosomatik adalah kondisi di mana seseorang merasakan sakit fisik tanpa adanya luka, yang muncul akibat tekanan emosional atau mental.

Dari dua penelitian dengan hasil berbeda tersebut, dapat disimpulkan bahwa keputusan untuk childfree memiliki dampak yang beragam. 

Oleh karena itu, penting bagi wanita yang memilih gaya hidup ini untuk secara rutin memeriksa kondisi kesehatannya, guna mendeteksi lebih awal dan mengurangi risiko penyakit yang telah disebutkan.

Apakah Pasangan Dapat Hidup Bahagia dengan Keputusan Childfree?

Di Indonesia, masyarakat cenderung menganut pandangan hidup kolektif, yang mengarah pada harapan bahwa seseorang yang telah beranjak dewasa akan segera menikah, dan setelah itu akan memiliki keturunan. 

Maka dari itu, ketika ada individu yang memilih untuk tidak memiliki anak, reaksi umum berupa kebingungan hingga tekanan sosial pun muncul. 

Lingkungan sekitar kerap kali mempertanyakan keberadaan anak dalam kehidupan rumah tangga pasangan tersebut.

Banyak orang memandang bahwa kehadiran buah hati merupakan bagian penting dalam kehidupan pernikahan. Anak dianggap sebagai pelengkap kebahagiaan, pembawa keberuntungan, hingga simbol keberhasilan dalam membina rumah tangga. 

Dari sudut pandang budaya yang menekankan kebersamaan tersebut, muncul perenungan: apakah pasangan yang memutuskan untuk tidak memiliki anak bisa tetap menjalani hidup yang penuh kebahagiaan?

Tidak bisa dimungkiri bahwa memiliki anak membawa kebahagiaan tersendiri, terutama bagi mereka yang telah menikah. 

Namun, ini tidak berarti bahwa pasangan yang memilih untuk tidak memiliki keturunan tidak bisa merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Saat seseorang memiliki anak, peran dan perhatian dari ayah serta ibu akan terbagi. 

Seorang ayah biasanya akan berpikir lebih keras dalam mencari penghasilan yang mencukupi kebutuhan keluarga, mengingat hadirnya sosok baru yang juga memerlukan perhatian dan pemenuhan kebutuhan. 

Sementara itu, ibu lebih banyak terlibat dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara emosional maupun fisik. Di sela-sela kesibukan masing-masing, keduanya tetap harus hadir dan terlibat aktif dalam mengasuh anak.

Kondisi ini bisa mengakibatkan berkurangnya perhatian terhadap pasangan, bahkan cenderung terlupakan jika dibandingkan dengan masa awal pernikahan. 

Berbeda halnya dengan pasangan yang belum atau tidak memiliki anak, yang biasanya bisa lebih fokus terhadap kebutuhan diri dan pasangannya. Dengan begitu, keintiman dan keromantisan dalam hubungan suami istri dapat lebih terpelihara. 

Walaupun, tidak menutup kemungkinan bahwa kehadiran anak bisa menjadi alasan hilangnya kehangatan dalam rumah tangga.

Selain alokasi waktu, energi, dan biaya yang umumnya tercurah untuk anak, pasangan yang tidak memiliki keturunan dapat mengarahkan sumber daya tersebut untuk mengejar cita-cita atau tujuan hidup yang belum tercapai. 

Misalnya, mengembangkan karier, menjelajahi berbagai negara, atau menjalani berbagai pengalaman baru yang sebelumnya belum sempat diwujudkan. 

Tak bisa dipungkiri, ketika memiliki anak, usaha untuk menggapai mimpi bisa terhambat, terutama jika pasangan hidup dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan.

Mengapa Ada Perempuan atau Pasangan yang Memutuskan Childfree?

Pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak sering kali harus menghadapi tekanan dari lingkungan sosial, terutama di Indonesia. 

Hal ini berkaitan erat dengan pola pikir masyarakat yang masih menganut nilai-nilai kolektivitas, di mana pernikahan dan kehadiran anak dianggap sebagai bagian penting dalam kehidupan berumah tangga, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Menurut Dr. Tri Rejeki Andayani, seorang psikolog dari Indonesia, meskipun keputusan untuk tidak memiliki anak merupakan pilihan pribadi yang sangat individual, sebaiknya tetap melibatkan keluarga besar, terutama orang tua dari kedua belah pihak.

Apabila keputusan untuk tidak memiliki anak tidak mendapat restu dari orang tua, tekanan dari lingkungan bisa menjadi lebih berat. 

Namun, jika orang tua bisa menerima keputusan tersebut, maka pasangan akan lebih siap menghadapi reaksi dari lingkungan maupun tekanan yang mungkin timbul dari keluarga besar.

Meskipun berisiko menimbulkan penolakan atau tekanan, masih ada pasangan yang mantap memilih untuk tidak memiliki anak. 

Bahkan, keputusan semacam ini belakangan semakin banyak diambil, tidak hanya di luar negeri tetapi juga mulai marak di Indonesia.

Salah satu alasan yang mendorong keputusan tersebut berasal dari keprihatinan terhadap kondisi lingkungan hidup. 

Beberapa pasangan atau perempuan yang memilih untuk tidak memiliki anak merasa bahwa pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat tidak diimbangi dengan kondisi bumi yang sehat maupun kecukupan sumber daya pangan. 

Oleh sebab itu, mereka memutuskan untuk tidak menambah jumlah penduduk sebagai bentuk kontribusi terhadap kelestarian lingkungan.

Dr. Tri juga mengaitkan fenomena ini dengan teori perkembangan psikososial dari Erik Erikson, yang membahas fase stagnasi versus generativitas. 

Dalam tahap ini, seseorang yang berada dalam kondisi stagnan akan merasa kesulitan dalam mencari cara untuk memberi makna atau berkontribusi terhadap kehidupan orang lain. 

Sementara itu, generativitas akan mendorong seseorang untuk peduli, menciptakan hal baru, dan berusaha menjadikan dunia tempat yang lebih baik—salah satunya bisa melalui pernikahan ataupun pilihan hidup lainnya.

Selain faktor lingkungan, sebagian pasangan juga merasa ragu terhadap kemampuan mereka dalam membesarkan anak. 

Ketidakpastian ini dapat menimbulkan kekhawatiran yang membuat mereka merasa belum siap secara emosional maupun finansial untuk menjalani peran sebagai orang tua.

Berbagai pertimbangan tersebut menjadi latar belakang mengapa seorang perempuan atau pasangan akhirnya memutuskan untuk tidak memiliki anak.

Riwayat keluarga

Salah satu alasan utama yang mendorong seseorang atau pasangan untuk memilih tidak memiliki anak adalah pengalaman pribadi yang berakar dari kehidupan keluarganya di masa lalu. 

Apa yang disaksikan dan dialami sejak kecil turut membentuk sudut pandangnya saat dewasa, termasuk dalam mengambil keputusan besar seperti ini.

Pengalaman yang kurang menyenangkan selama masa kecil, atau perasaan terluka yang pernah dialami dalam lingkup keluarga, sering kali menjadi pemicu utama seseorang memutuskan tidak ingin memiliki keturunan.

Pengaruh keluarga terhadap keputusan tersebut juga bisa muncul dari pola asuh yang memberikan keleluasaan dalam menentukan pilihan hidup. 

Dalam situasi seperti ini, individu merasa lebih bebas dan tidak dibebani tekanan atau penilaian negatif ketika memilih tidak memiliki anak. 

Bahkan, keputusan tersebut bisa mendapatkan dukungan penuh dari keluarga yang memahami dan menghormati kebebasan memilih.

Kepedulian terhadap lingkungan

Alasan lain yang menjadi pertimbangan cukup kuat adalah keprihatinan terhadap kondisi alam. Permasalahan terkait lonjakan jumlah penduduk masih menjadi sorotan global. 

Peningkatan populasi tidak diiringi dengan membaiknya kondisi lingkungan dan semakin menipisnya ketersediaan pangan.

Sebagian orang, baik yang sudah menikah maupun yang masih hidup sendiri, mulai menyadari urgensi persoalan tersebut. 

Kepedulian ini kemudian mendorong mereka untuk tidak menambah jumlah penduduk demi menjaga keseimbangan lingkungan hidup.

Pilihan untuk tidak memiliki anak dianggap sebagai langkah kecil yang bisa memberikan dampak jangka panjang terhadap keberlangsungan bumi dan sumber daya yang dimilikinya.

Situasi keuangan pribadi

Faktor lainnya yang memengaruhi keputusan ini adalah keadaan ekonomi individu atau pasangan. Merawat dan membesarkan anak merupakan tanggung jawab besar yang tidak hanya memerlukan kesiapan mental, tetapi juga stabilitas keuangan yang kuat.

Pasangan yang memutuskan untuk tidak memiliki anak kemungkinan besar sudah memperhitungkan secara matang berbagai hal yang berkaitan dengan kemampuan finansial, termasuk kemungkinan dalam mencukupi kebutuhan tumbuh kembang anak di masa depan.

Jika berdasarkan perhitungan tersebut mereka merasa tidak siap, maka keputusan untuk tidak memiliki anak pun diambil. 

Hal ini memungkinkan mereka untuk mengarahkan pengeluaran pada hal-hal lain yang bersifat pribadi dan memerlukan dana yang tidak sedikit pula.

Adanya rasa takut tidak mampu membesarkan anak dengan baik

Faktor keempat yang sering kali menjadi alasan seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak adalah munculnya kekhawatiran akan ketidakmampuan dalam menjalankan tanggung jawab sebagai orang tua. 

Banyak individu atau pasangan merasa belum memiliki kesiapan, baik dari segi mental maupun emosional, untuk mendampingi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak.

Hal ini muncul karena kondisi psikologis setiap orang tidaklah sama. Bagi mereka yang memiliki tantangan dalam hal kesehatan mental, rasa takut tersebut bisa semakin besar. 

Mereka mungkin bertanya-tanya, apakah mampu memberikan kebahagiaan kepada anak, memenuhi kebutuhannya secara menyeluruh, atau memastikan anak tumbuh dengan sehat secara fisik dan mental. 

Kekhawatiran semacam itu pada akhirnya mendorong mereka untuk mengambil keputusan tidak memiliki anak.

Kurangnya naluri keibuan

Naluri keibuan adalah kemampuan emosional yang biasanya dimiliki oleh seorang perempuan, terutama dalam hal memahami dan menentukan tindakan terbaik saat merawat anak. 

Banyak orang percaya bahwa kemampuan ini penting dimiliki oleh calon ibu, karena berkaitan langsung dengan perlindungan dan pengasuhan terhadap anak.

Namun, sebagian perempuan merasa ragu karena mereka tidak merasakan adanya naluri tersebut, atau bahkan merasa bahwa mereka mengalami kesulitan dalam aspek tersebut. 

Ketidakpastian itu menimbulkan rasa khawatir akan ketidakmampuan mereka menjalani peran sebagai ibu yang ideal, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi anak yang kelak akan diasuh. 

Situasi ini kemudian menjadi salah satu penyebab seseorang memilih tidak memiliki anak.

Adanya kondisi kesehatan tertentu

Dalam beberapa kasus, alasan tidak memiliki anak berkaitan langsung dengan keadaan fisik seseorang. Misalnya, individu yang memiliki riwayat penyakit genetik atau kondisi medis tertentu yang menyulitkan mereka untuk memiliki keturunan. 

Situasi seperti ini dapat menjadi pertimbangan utama yang membuat mereka mengambil keputusan untuk tidak menambah anggota keluarga dari keturunan biologis.

Pilihan pribadi

Faktor terakhir berasal dari keputusan pribadi yang tidak selalu dilandasi oleh alasan yang kompleks. Ada individu atau pasangan yang memang merasa nyaman dengan gaya hidup tanpa anak. 

Mereka merasa bahwa kondisi tersebut lebih sesuai untuk dijalani, baik dari sisi emosional, fisik, maupun ekonomi. Dalam pandangan mereka, keputusan untuk tidak memiliki anak justru memberikan rasa aman dan stabil dalam hidup.

Sebagai penutup, istilah childfree terus menjadi sorotan karena mencerminkan perubahan cara pandang terhadap pernikahan, keluarga, dan makna hidup di era modern ini.

Bru

Bru

teropongbisnis.id adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.

Rekomendasi

Berita Lainnya

Vivo X200 Resmi Hadir dengan Chipset Dimensity 9400

Vivo X200 Resmi Hadir dengan Chipset Dimensity 9400

Realme GT 7 Dream Edition, Flagship dengan Desain Aston Martin

Realme GT 7 Dream Edition, Flagship dengan Desain Aston Martin

Realme 14 5G Resmi Hadir, Usung Snapdragon 6 Gen 4 dan Baterai 6000 mAh

Realme 14 5G Resmi Hadir, Usung Snapdragon 6 Gen 4 dan Baterai 6000 mAh

Tecno Spark 30 Pro Resmi Hadir dengan Desain Transformers

Tecno Spark 30 Pro Resmi Hadir dengan Desain Transformers

Lenovo Loq 15IAX9I, Laptop Gaming Harga Terjangkau

Lenovo Loq 15IAX9I, Laptop Gaming Harga Terjangkau