JAKARTA - Pemerintah Indonesia tengah menjalankan kebijakan efisiensi anggaran yang diharapkan dapat mengatur pengeluaran negara secara lebih efektif dan tepat guna. Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan pentingnya penghematan anggaran dengan menetapkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, yang menargetkan pemangkasan anggaran hingga Rp306,69 triliun. Tindak lanjut dari kebijakan ini telah diterbitkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melalui surat nomor S-37/MK.02/2025, yang menginstruksikan semua kementerian/lembaga (K/L) untuk merevisi anggaran mereka sesuai dengan persentase yang tercantum dalam lampiran surat tersebut.
Sri Mulyani menyatakan bahwa revisi anggaran ini harus diajukan dan mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) paling lambat tanggal 14 Februari 2025 dan kemudian dikembalikan ke Kementerian Keuangan. Kebijakan ini tentu membawa perubahan signifikan di berbagai sektor, termasuk pasar modal di Indonesia.
Dampak Pada Pasar Modal
Efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah memiliki dampak positif dan negatif yang dapat dirasakan oleh pasar modal. Menurut Felix Darmawan, seorang Equity Research Analyst dari Panin Sekuritas, kebijakan ini menandakan disiplin fiskal yang dapat menstabilkan ekonomi dan meningkatkan kepercayaan investor. "Di satu sisi, ini bisa jadi sinyal positif karena menunjukkan pemerintah lebih disiplin dalam mengelola keuangan, yang bisa menjaga stabilitas ekonomi dan bikin investor lebih percaya diri," ujarnya.
Namun, di sisi lain, pemotongan anggaran yang menyentuh belanja infrastruktur, subsidi, atau stimulus ekonomi dapat memperlambat pertumbuhan dan berdampak pada sektor-sektor tertentu. Sektor konstruksi dan infrastruktur, misalnya, sangat bergantung pada dana pemerintah. Emiten seperti PT Adhi Karya (Persero) Tbk. (ADHI), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. (WIKA), PT PP (Persero) Tbk. (PTPP), hingga PT Waskita Karya (Persero) Tbk. (WSKT) merupakan contoh emiten yang dapat terkena dampak langsung. Felix menambahkan, "Kalau anggaran dikurangi, bisa jadi ada penundaan atau pengurangan proyek yang berdampak ke pendapatan mereka [emiten konstruksi dan infrastruktur]."
Di sisi lain, sektor keuangan seperti PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI), PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI) mungkin bisa lebih stabil, terutama jika efisiensi anggaran ini dapat menekan defisit fiskal dengan lebih terkontrol. "Investor perlu lebih selektif, menghindari sektor yang terlalu bergantung pada dana pemerintah, dan mempertimbangkan sektor yang lebih defensif di tengah perubahan kebijakan ini," jelas Felix.
Perspektif Lain dalam Pasar Modal
Head Riset Kiwoom Sekuritas Indonesia, Sukarno Alatas, memberikan pandangan serupa bahwa efisiensi anggaran bisa memberikan dampak negatif terhadap penurunan kinerja sejumlah sektor emiten. "Adapun sektor yang terdampak negatif yaitu sektor infrastruktur, khususnya konstruksi, basic industry seperti semen, industri perhotelan, serta transportasi," ujar Sukarno.
Pasar saham Indonesia sendiri sedang mengalami masa sulit. Berdasarkan data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks harga saham gabungan (IHSG) melemah 1,75% pada perdagangan Selasa, 11 Februari 2025, dan ditutup di level 6.531,99. Sepanjang tahun berjalan, tahun 2025, IHSG telah mengalami penurunan sebesar 7,74% (year to date/ytd) sejak perdagangan pertama tahun ini.
Selain itu, pasar saham Indonesia juga masih mencatat nilai jual bersih atau net sell asing sebesar Rp469 miliar pada perdagangan hari tersebut. Secara keseluruhan, sepanjang tahun 2025, pasar saham Indonesia telah mencatat net sell asing sebesar Rp8,9 triliun. Hal ini mengindikasikan bahwa investor asing masih berupaya menarik dananya dari pasar modal Indonesia, mungkin sebagai respons terhadap kebijakan penghematan anggaran yang dilakukan pemerintah.
Menghadapi kebijakan efisiensi anggaran pemerintah, baik investor maupun para pelaku pasar modal harus lebih bijaksana dan selektif dalam menentukan portofolio investasinya. Pemangkasan anggaran berpotensi menciptakan dampak yang signifikan, baik positif maupun negatif, tergantung dari sektor mana pemangkasan dilakukan. Kebijakan ini tidak hanya memerlukan pengawasan ketat terhadap dampaknya pada sektor-sektor strategis tetapi juga menuntut perhatian khusus terhadap stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Efisiensi anggaran yang diinstruksikan oleh pemerintah tentunya diharapkan dapat meningkatkan disiplin fiskal dan mengoptimalkan penggunaan anggaran negara agar lebih tepat sasaran. Namun, langkah tersebut juga perlu diimbangi dengan strategi yang mampu menjaga pertumbuhan ekonomi dan memastikan keberlanjutan proyek-proyek infrastruktur yang mendukung perkembangan ekonomi jangka panjang. Dengan ini, para investor bisa tetap menjaga kepercayaan terhadap pasar modal Indonesia dan memilih sektor-sektor yang memiliki fundamental kuat di tengah ketidakpastian ini.