JAKARTA - Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi Digital CELIOS, Nailul Huda, memberikan sorotan tajam terhadap kondisi perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Dalam sebuah surat terbuka yang ia tujukan kepada pemerintah, ia mengkritisi rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang direncanakan mulai berlaku awal 2025.
Nailul mencatat bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga, yang menjadi indikator utama kesehatan ekonomi, mengalami penurunan dari 5,15% pada tahun 2014 menjadi 4,8% di tahun 2023. Meskipun pemerintah mengklaim inflasi terkendali, fakta menunjukkan masyarakat cenderung mengurangi konsumsi mereka.
“Kita melihat masyarakat semakin enggan berbelanja, bahkan untuk kebutuhan kecil sekalipun. Contohnya, banyak yang harus berutang ke warung tetangga hanya untuk membeli kopi sachet. Kondisi ini tidak hanya terjadi di satu atau dua tempat, tetapi menyeluruh di berbagai sudut negeri,” ungkap Nailul dalam keterangannya.
Tekanan pada Kelas Menengah
Menurut Nailul, masyarakat kelas menengah kini berada dalam situasi sulit dengan kenaikan beban pengeluaran yang tidak sebanding dengan peningkatan pendapatan. Ia menyebutkan, kenaikan PPN dari 10% ke 11% serta harga bahan bakar seperti Pertalite yang melonjak 30% pada 2022, memberikan tekanan tambahan. Hal ini diperparah dengan kenaikan upah minimum yang rata-rata hanya sebesar 1,09% di tahun 2022, sehingga tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan yang terus meningkat.
“Beban yang bertambah ini membuat masyarakat kelas menengah harus mengencangkan ikat pinggang, bahkan terpaksa berutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kondisi ini menggambarkan situasi ‘lebih besar pasak daripada tiang’,” tegasnya.
PHK dan Penurunan Daya Beli
Situasi ekonomi yang melemah juga tercermin dari meningkatnya jumlah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hingga 18 November 2024, sebanyak 64.751 pekerja telah kehilangan pekerjaan, meningkat 11,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Nailul menyebutkan bahwa daya beli masyarakat yang melemah memicu deflasi selama periode Mei hingga September 2024, yang kemudian berdampak pada penurunan produksi dan gelombang PHK di berbagai sektor.
“Kondisi ini mengingatkan kita pada krisis ekonomi 1997-1998, di mana permintaan barang anjlok, produksi terhenti, dan perusahaan memilih efisiensi dengan melakukan PHK besar-besaran,” jelasnya.
Kritik terhadap Kebijakan PPN
Nailul juga mempertanyakan transparansi pemerintah dalam memberikan informasi terkait kebijakan kenaikan PPN. Ia mengungkapkan bahwa meskipun pemerintah awalnya menyatakan kenaikan hanya berlaku untuk barang mewah, kenyataannya semua barang yang dikenakan PPN akan terdampak. Kebijakan ini, menurutnya, tidak hanya membebani masyarakat tetapi juga berpotensi memicu pembangkangan sipil.
“Banyak masyarakat yang akan menolak kewajiban perpajakan seperti pelaporan SPT atau pembayaran pajak kendaraan. Hal ini mencerminkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah akibat kurangnya transparansi dan penggunaan anggaran yang tidak jelas,” tambahnya.
Sebagai penutup, Nailul meminta Presiden Prabowo Subianto untuk berpihak pada rakyat dengan membatalkan rencana kenaikan PPN ini. Ia menegaskan bahwa Presiden memiliki kewenangan untuk menentukan tarif PPN melalui mekanisme Peraturan Pemerintah.
“Kami berharap Presiden hadir sebagai pemimpin yang mendengarkan jeritan rakyatnya. Jangan sampai masyarakat menilai keberpihakan pemerintah hanya muncul saat membutuhkan suara mereka saja,” pungkas Nailul dalam surat terbukanya.
(kkz/kkz)