JAKARTA - Perselingkuhan sering kali dipandang sebagai bentuk pengkhianatan terbesar dalam hubungan.
Namun, di balik perbuatan yang menyakitkan itu, ternyata terdapat alasan psikologis yang jauh lebih kompleks daripada sekadar rasa bosan atau kehilangan cinta.
Terapis hubungan Vanessa Marin mengungkapkan, banyak orang cenderung melihat perselingkuhan secara hitam putih—seolah hanya ada pihak yang benar dan salah. Padahal, kenyataannya, fenomena ini memiliki banyak sisi abu-abu yang sering terabaikan.
“Kita sering melihat perselingkuhan secara hitam putih. Padahal sebenarnya banyak sisi abu-abu di dalamnya,” ujar Marin.
Menurutnya, memahami akar penyebab dari tindakan tersebut bukan untuk membenarkan perilaku selingkuh, tetapi agar seseorang dapat memahami apa yang sebenarnya terjadi di balik hubungan yang rusak dan mengambil keputusan dengan lebih bijak.
Sebuah laporan dalam Current Opinion in Psychology (2017) mencatat bahwa sekitar 2 hingga 4 persen pasangan menikah berselingkuh secara seksual pada tahun pertama pernikahan. Meski angka ini tampak kecil, efek emosional yang ditimbulkannya sangat besar—bahkan kerap menjadi alasan utama perceraian.
Namun, data dari American Association for Marriage and Family Therapy (AAMFT) menunjukkan bahwa tidak semua hubungan berakhir setelah terjadi perselingkuhan. Sebagian pasangan yang memilih menjalani terapi justru mengaku hubungan mereka menjadi lebih kuat setelah menghadapi krisis tersebut.
“Ada banyak orang baik yang melakukan hal buruk dan itu tidak membuat mereka menjadi manusia yang sepenuhnya buruk,” ujar Marin menegaskan.
Rasa Terjebak dalam Hubungan yang Sulit Dilepaskan
Banyak orang berasumsi bahwa perselingkuhan terjadi karena seseorang sudah tidak bahagia dalam hubungannya. Namun, Marin menekankan bahwa realitasnya jauh lebih rumit.
Menurut AAMFT, sebagian orang yang berselingkuh justru melakukannya karena merasa terjebak dalam hubungan yang tidak bisa diakhiri. Mereka mungkin masih mencintai pasangannya, tetapi berada dalam kondisi emosional yang menekan dan tidak tahu bagaimana keluar dari situasi itu.
“Kita sering berpikir orang berselingkuh karena tidak bahagia dalam hubungan, tapi kenyataannya lebih kompleks. Banyak orang yang sebenarnya berada dalam hubungan yang bahagia, tapi tetap berselingkuh,” jelas Marin.
Dalam banyak kasus, tindakan ini bukan semata-mata mencari cinta baru, melainkan bentuk pelarian dari kebuntuan emosional yang sudah lama dirasakan. Rasa jenuh dan tekanan yang tidak tertuntaskan bisa mendorong seseorang mencari kenyamanan di luar hubungan yang sah.
Kehilangan Diri Sendiri dalam Hubungan
Selain karena tekanan hubungan, alasan lain yang kerap memicu perselingkuhan adalah rasa kehilangan jati diri. Marin menjelaskan bahwa banyak individu berselingkuh bukan karena kekurangan kasih sayang dari pasangannya, tetapi karena merasa kehilangan koneksi dengan dirinya sendiri.
“Mereka merasa kehilangan koneksi dengan diri sendiri dan perselingkuhan jadi cara untuk mengisi kekosongan itu,” ujar Marin.
Menurut AAMFT, individu yang berselingkuh sering kali sedang berjuang dengan harga diri rendah atau perasaan tidak berharga. Dalam kondisi ini, perhatian dan pujian dari orang baru dapat memberikan validasi instan yang menumbuhkan kembali rasa diterima dan diinginkan.
“Perselingkuhan bukan selalu tentang pasangan yang kurang atau hubungan yang gagal. Sering kali, ini tentang seseorang yang mencoba memahami siapa dirinya dan mencari sesuatu yang hilang dalam dirinya sendiri,” tambahnya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kebutuhan emosional seseorang bisa menjadi sangat kompleks. Perselingkuhan kadang muncul bukan karena keinginan untuk menghancurkan hubungan, melainkan karena kebutuhan pribadi yang belum terpenuhi.
Mencari Sensasi dan Rasa Hidup Kembali
Aspek lain yang sering diabaikan dalam kasus perselingkuhan adalah pencarian sensasi baru. Menurut Marin, tidak sedikit pelaku selingkuh yang justru berada dalam hubungan stabil, tetapi merasa kehilangan gairah hidup.
“Banyak orang mengira mereka diselingkuhi karena kurang menarik atau tidak cukup menggairahkan. Padahal, perselingkuhan lebih berkaitan dengan apa yang terjadi di dalam diri si pelaku, bukan kesalahan orang yang diselingkuhi,” jelasnya.
Bagi sebagian orang, hubungan baru bisa memunculkan lonjakan adrenalin—rasa bersemangat, berdebar, dan hidup kembali setelah lama merasa datar. Namun, sensasi ini biasanya hanya bersifat sementara. Ketika euforia itu memudar, yang tersisa sering kali adalah penyesalan mendalam dan kehilangan kepercayaan dari orang yang dicintai.
Rasa penasaran, dorongan ego, atau kebutuhan untuk merasa istimewa menjadi pemicu kuat di balik perilaku ini. Namun, pada akhirnya, Marin mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari hubungan rahasia, melainkan dari kemampuan seseorang untuk menyembuhkan luka emosional di dalam dirinya sendiri.
Memahami Tanpa Membenarkan: Kunci Menyembuhkan Luka Perselingkuhan
Meski menyakitkan, memahami alasan di balik perselingkuhan dapat membantu pasangan menavigasi proses penyembuhan dengan lebih baik. Marin menegaskan bahwa memaafkan bukan berarti melupakan, tetapi memberi ruang untuk memahami dan memperbaiki diri.
Setiap hubungan memiliki dinamika berbeda, dan tidak ada satu penjelasan tunggal untuk semua kasus. Beberapa pasangan mungkin memilih berpisah, sementara yang lain berusaha membangun kembali kepercayaan.
Menurut AAMFT, terapi pasangan dapat membantu kedua pihak memahami akar permasalahan, memperbaiki komunikasi, dan menetapkan batasan yang lebih sehat di masa depan.
“Tujuan memahami alasan perselingkuhan bukan untuk mencari pembenaran, tapi agar kita bisa membuat keputusan dengan kesadaran penuh dan bukan karena amarah,” kata Marin.
Perselingkuhan memang sulit diterima, tetapi membuka ruang dialog yang jujur dapat membantu mencegah kesalahan yang sama terulang. Pada akhirnya, mengenali penyebabnya menjadi langkah awal untuk menyembuhkan luka dan menemukan kembali arti keintiman yang sebenarnya.