JAKARTA - Kinerja ekspor batu bara Indonesia pada delapan bulan pertama tahun 2025 mengalami penurunan tajam di tengah tren positif ekspor nonmigas nasional.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor batu bara sepanjang periode Januari–Agustus 2025 tercatat anjlok 20,99 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dengan total hanya mencapai US$15,82 miliar atau sekitar Rp261,9 triliun (dengan asumsi kurs Rp16.555 per dolar AS).
Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$20,13 miliar. Koreksi ini tidak hanya terjadi pada sisi nilai ekspor, tetapi juga pada volume pengiriman batu bara ke luar negeri.
“Nilai ekspor batu bara turun 20,99% secara kumulatif,” ungkap Deputi Bidang Statistik BPS, M. Habibullah.
Secara volume, ekspor batu bara Indonesia pada Januari–Agustus 2025 tercatat menurun 5,16 persen menjadi 251,13 juta ton, lebih rendah dibandingkan 264,78 juta ton pada periode yang sama tahun lalu. Kondisi ini menunjukkan bahwa pasar ekspor batu bara global tengah mengalami tekanan, yang turut memengaruhi kinerja ekspor nasional dari komoditas unggulan tersebut.
Harga Batu Bara Dunia Turun, Tekan Nilai Ekspor Nasional
Selain penurunan volume, merosotnya harga batu bara dunia juga menjadi penyebab utama penurunan nilai ekspor komoditas ini. Menurut data BPS, rata-rata unit nilai ekspor batu bara mengalami penyusutan 16,62 persen, dari US$76,14 per ton tahun lalu menjadi hanya US$63,48 per ton tahun ini.
Penurunan harga tersebut dipengaruhi oleh melimpahnya pasokan batu bara global dan melemahnya permintaan dari sejumlah negara tujuan ekspor utama seperti China dan India.
Sementara itu, di sisi lain, beberapa komoditas unggulan nonmigas Indonesia justru mencatatkan tren penguatan signifikan sepanjang tahun berjalan. Misalnya, ekspor besi dan baja melonjak 10,24 persen menjadi US$18,29 miliar, naik dari posisi tahun lalu di US$16,59 miliar.
Tak hanya itu, ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya juga mengalami peningkatan pesat sebesar 35,23 persen, dari US$12,32 miliar menjadi US$16,66 miliar.
“Tiga besar negara tujuan ekspor adalah China, Amerika Serikat, dan India. Nilai ekspor ke ketiga negara ini mencapai 41,82% dari total ekspor nonmigas Indonesia,” jelas Habibullah.
Berdasarkan rincian data BPS hingga Agustus 2025, ekspor bahan bakar mineral (HS 27) ke China mencapai US$5,91 miliar, sedangkan ke India sebesar US$3,69 miliar. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun permintaan melemah, kedua negara tersebut tetap menjadi pasar utama bagi batu bara Indonesia.
Nonmigas Jadi Pendorong Utama Surplus Perdagangan Nasional
Meski ekspor batu bara mengalami penurunan, kinerja ekspor nasional secara keseluruhan masih mencatatkan pertumbuhan positif. Total nilai ekspor Indonesia pada Januari–Agustus 2025 mencapai US$185,13 miliar, meningkat 7,72 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Dari total tersebut, ekspor migas tercatat US$9,04 miliar atau turun 14,14 persen, sementara ekspor nonmigas justru naik 9,15 persen menjadi US$176,09 miliar.
Lonjakan ekspor dari sektor nonmigas inilah yang menjadi penopang utama surplus neraca perdagangan Indonesia. Berdasarkan catatan BPS, neraca perdagangan barang Indonesia mencatat surplus sebesar US$5,49 miliar per Agustus 2025.
Kinerja ini bahkan lebih tinggi dari proyeksi konsensus pasar, yang sebelumnya memperkirakan surplus hanya akan berada di kisaran US$4 miliar.
“Penyumbang surplus yakni komoditas lemak dan minyak hewani/nabati, bahan bakar mineral, serta besi dan baja,” ujar Habibullah.
Dengan demikian, meskipun sektor batu bara menunjukkan tren pelemahan, perekonomian ekspor Indonesia tetap tertopang oleh diversifikasi komoditas unggulan nonmigas yang terus tumbuh positif di pasar global.
Perdagangan Migas Masih Defisit, Batu Bara Perlu Diversifikasi Pasar
Di sisi lain, neraca perdagangan komoditas migas masih mencatatkan defisit sebesar US$1,66 miliar. BPS melaporkan bahwa penyumbang utama defisit ini berasal dari minyak mentah dan hasil minyak yang masih bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Kondisi ini menandakan bahwa sektor energi Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menjaga keseimbangan ekspor-impor, terutama pada komoditas energi fosil.
Melemahnya ekspor batu bara juga menjadi sinyal bagi pemerintah dan pelaku industri untuk segera melakukan diversifikasi pasar serta peningkatan nilai tambah komoditas.
Selama ini, ekspor batu bara Indonesia masih didominasi oleh penjualan bahan mentah tanpa pengolahan lebih lanjut. Padahal, dengan mengembangkan industri hilirisasi batu bara seperti gasifikasi dan bahan bakar cair, Indonesia bisa memperluas pasar ekspor sekaligus meningkatkan pendapatan dari sektor ini.
Selain itu, fluktuasi harga global dan kebijakan energi hijau di negara tujuan ekspor juga perlu menjadi perhatian. Banyak negara, terutama di kawasan Eropa dan Asia Timur, kini mulai mengurangi ketergantungan terhadap batu bara demi mencapai target net zero emission.
Langkah ini berpotensi menekan permintaan batu bara dalam jangka panjang, sehingga strategi nasional ke depan harus mengarah pada penguatan energi terbarukan serta pengembangan pasar baru di kawasan berkembang yang masih mengandalkan batu bara sebagai sumber energi utama.
Outlook Perdagangan dan Tantangan Energi Indonesia ke Depan
Kinerja ekspor batu bara yang melemah di tengah kenaikan ekspor nonmigas menunjukkan perlunya transformasi ekonomi ekspor Indonesia agar tidak terlalu bergantung pada satu jenis komoditas.
BPS mencatat, meski total ekspor Indonesia tumbuh 7,72 persen, penurunan tajam batu bara sebesar 20,99 persen memberikan dampak signifikan terhadap total pendapatan ekspor sektor energi. Namun, surplus neraca perdagangan yang cukup besar menunjukkan bahwa fondasi perdagangan luar negeri Indonesia masih kuat.
Ke depan, pemerintah diharapkan dapat mempercepat program hilirisasi dan memperluas pasar tujuan ekspor untuk menjaga stabilitas ekspor nasional. Penguatan industri pengolahan sumber daya alam menjadi produk bernilai tambah tinggi akan menjadi kunci dalam menjaga daya saing ekspor Indonesia di tengah dinamika global yang terus berubah.