JAKARTA - Kesejahteraan buruh pelabuhan kembali menjadi sorotan. Konfederasi Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) menilai bahwa nasib tenaga kerja bongkar muat (TKBM) masih jauh dari kata layak, meskipun sektor logistik pelabuhan berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional.
Dalam Lokakarya Nasional Optimalisasi Kebijakan Pengelolaan TKBM di Indonesia yang digelar di Jakarta, Presiden Konfederasi Sarbumusi, Irham Ali Saifuddin, menekankan pentingnya peran negara dalam memperbaiki tata kelola dan meningkatkan perlindungan bagi para buruh yang berada di lapisan paling bawah struktur ekonomi logistik.
“Ini adalah para buruh TKBM yang berada di piramida ekonomi paling bawah di sektor logistik. Kami berharap hak dan kesejahteraan mereka dipikirkan oleh negara,” ujar Irham.
Upah Rendah dan Minim Perlindungan Sosial
Menurut Irham, masih banyak buruh TKBM yang menerima upah di bawah standar minimum dan belum memperoleh perlindungan sosial yang memadai. Padahal, kontribusi sektor pelabuhan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional cukup besar, yakni sekitar 7–8 persen per tahun.
Kondisi timpang ini membuat Sarbumusi mendorong pemerintah agar lebih serius memperhatikan kelompok pekerja rentan. Salah satu usulan yang diajukan adalah agar negara menanggung sebagian iuran BPJS Ketenagakerjaan untuk buruh berupah rendah, minimal sebesar 20 persen.
Langkah ini diharapkan dapat memperluas cakupan perlindungan sosial dan menjamin keamanan pekerja serta keluarganya.
Perlindungan Sosial Belum Menyeluruh
Direktur Kelembagaan dan Pencegahan Perselisihan Kementerian Ketenagakerjaan, Heru Widyanto, mengakui bahwa perlindungan sosial bagi buruh TKBM memang belum merata. Dari sekitar 86 ribu buruh yang terdata, baru sekitar 42 ribu yang tercatat sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Untuk memperluas kepesertaan, Kemnaker berencana bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan dan Kementerian Koperasi. Upaya ini akan difokuskan pada edukasi kepada koperasi dan pengusaha pelabuhan agar memenuhi kewajiban mereka terkait jaminan sosial tenaga kerja.
“Peserta aktif juga berhak mendapatkan manfaat tambahan seperti renovasi rumah atau akses KPR,” jelas Heru.
Pentingnya Kolaborasi Lintas Sektor
Deputi Bidang Kepesertaan Korporasi dan Institusi BPJS Ketenagakerjaan, Hendra Nopriansyah, menegaskan bahwa forum seperti lokakarya ini penting untuk menyatukan langkah antara pemerintah, pengusaha, dan pengelola TKBM.
Menurut Hendra, perluasan perlindungan sosial sejalan dengan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yaitu melindungi 99,5 persen pekerja dalam program jaminan sosial. Namun, saat ini peserta formal baru mencakup 55 persen dari total pekerja, sementara sektor informal seperti TKBM masih banyak yang belum terjangkau.
“Tantangan terbesar adalah kelengkapan data pekerja TKBM di daerah. Diperlukan kolaborasi untuk mempercepat pendataan dan kepesertaan,” ujarnya.
BPJS Ketenagakerjaan sendiri mencatat total manfaat yang sudah disalurkan mencapai sekitar Rp57 triliun. Angka ini mencakup program jaminan hari tua, jaminan kematian, hingga beasiswa pendidikan untuk anak pekerja.
Tantangan Regulasi dan Aspek Hukum
Ketua Panitia Lokakarya sekaligus praktisi hukum, Masykur Isnan, mengingatkan bahwa kebijakan efisiensi logistik nasional tidak boleh mengesampingkan kesejahteraan buruh pelabuhan. Ia menyinggung kebijakan strategis seperti National Logistic Ecosystem (NLE) dan Instruksi Presiden Nomor 25 Tahun 2020 yang erat kaitannya dengan pengelolaan pelabuhan.
“Kebijakan strategis di industri ke depan tidak terlepas dari pelabuhan. Tentunya ada Peti Kemas dan TKBM,” ujar Masykur.
Ia menekankan pentingnya regulasi yang tidak hanya fokus pada efisiensi logistik, tetapi juga memperhatikan hak-hak dasar pekerja, mulai dari kepastian hubungan kerja, kontrak, upah minimum, cuti, hingga pesangon.
Harapan untuk Program Peningkatan Kualitas Buruh
Selain memperbaiki tata kelola, Sarbumusi juga menekankan perlunya program peningkatan kualitas pekerja. Irham menyebut sejumlah program yang dapat didorong, seperti pelatihan keterampilan, magang untuk anak buruh, dan perluasan jaminan sosial.
Langkah-langkah ini dinilai penting agar buruh TKBM tidak hanya terpaku pada upah rendah, tetapi juga memiliki kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dan mobilitas sosial.
“Kita ingin efisiensi logistik nasional berjalan seiring dengan peningkatan kesejahteraan pekerjanya,” kata Irham.
Buruh TKBM dalam Bayang-Bayang Ketertinggalan
Fakta bahwa sebagian besar buruh TKBM belum terjangkau program jaminan sosial menegaskan adanya kesenjangan besar dalam perlindungan tenaga kerja. Padahal, peran mereka sangat vital dalam kelancaran distribusi logistik nasional.
Ketertinggalan dalam perlindungan sosial dan rendahnya upah membuat buruh TKBM berada di posisi yang rentan. Karena itu, forum seperti lokakarya ini diharapkan menjadi pintu masuk untuk memperbaiki nasib buruh pelabuhan melalui sinergi antara pemerintah, pengusaha, serikat buruh, dan lembaga jaminan sosial.
Seruan Sarbumusi agar pemerintah membenahi kesejahteraan buruh TKBM merupakan pengingat bahwa pembangunan ekonomi nasional harus menyentuh lapisan paling bawah. Dengan kontribusi sektor pelabuhan yang begitu besar terhadap PDB, buruh TKBM seharusnya juga mendapatkan hak yang layak.
Kolaborasi lintas sektor, pembenahan regulasi, serta perluasan jaminan sosial akan menjadi kunci agar buruh pelabuhan tidak lagi terpinggirkan. Pada akhirnya, efisiensi logistik nasional hanya bisa tercapai bila pekerja di garis depan rantai distribusi juga sejahtera.