JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) tengah memfinalisasi penyusunan Rancangan Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang Pedoman Pengelolaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung. Regulasi ini menjadi langkah penting dalam memperkuat pemanfaatan energi panas bumi, tidak hanya sebagai sumber pembangkitan listrik, tetapi juga sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi lokal.
Direktur Jenderal EBTKE, Eniya Listiani Dewi, menjelaskan bahwa penyusunan regulasi ini didorong oleh kebutuhan akan kerangka hukum yang komprehensif dan terintegrasi guna mendorong pemanfaatan langsung panas bumi secara masif, komersial, dan berkelanjutan.
“Pemanfaatan langsung panas bumi merupakan wajah baru dari sektor energi bersih yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan. Lebih dari sekadar penyedia energi bersih, panas bumi membuka peluang inovasi bisnis dan industri mulai dari produksi hidrogen hijau, ekstraksi mineral bernilai tinggi, hingga pengembangan ekowisata berbasis panas bumi,” ujar Eniya.
Fokus pada Penguatan Regulasi
Dalam draf peraturan tersebut, Kementerian ESDM akan mengatur berbagai aspek penting dalam penyelenggaraan pemanfaatan langsung panas bumi. Hal ini meliputi penyusunan neraca cadangan, penerbitan Sertifikat Laik Operasi (SLO), pembinaan dan pengawasan kegiatan usaha, konservasi sumber daya panas bumi, serta penetapan harga energi panas bumi untuk pemanfaatan langsung.
Kebijakan ini diharapkan menjadi dasar hukum yang kokoh bagi pelaku usaha dan pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi panas bumi secara lebih produktif dan luas. Menurut Eniya, selama ini pemanfaatan langsung masih terbatas pada proyek percontohan (pilot project) dan program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR).
“Saat ini, sebagian besar pemanfaatan langsung panas bumi masih bersifat pilot project atau inisiatif CSR dari pengembang PLTP. Contohnya pengeringan kopi di Kamojang, produksi gula aren di Lahendong, dan budidaya melon dalam rumah kaca di Ulubelu,” jelasnya.
Dengan hadirnya regulasi resmi, pemerintah berharap pemanfaatan langsung panas bumi bisa dikembangkan secara komersial dan memberikan kontribusi nyata terhadap ekonomi daerah.
Berkontribusi pada Pembangunan Berkelanjutan
Upaya ini juga menjadi bagian dari transformasi besar dalam pengelolaan energi nasional menuju pendekatan Sustainable Geothermal Development. Pendekatan ini menekankan pada keseimbangan antara manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
“Ini sejalan dengan upaya Pemerintah dalam mendorong paradigma baru, yaitu Sustainable Geothermal Development,” tambah Eniya. “Pendekatan ini akan memperluas manfaat panas bumi secara langsung bagi masyarakat, dan mendorong penerimaan sosial atas proyek-proyek PLTP.”
Dalam satu dekade terakhir, pemanfaatan panas bumi secara tidak langsung (melalui pembangkitan listrik) telah menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) senilai Rp 18,2 triliun. Di sisi lain, bonus produksi sebesar Rp 1 triliun telah disalurkan ke daerah penghasil sebagai bentuk keadilan fiskal. Bahkan, lebih dari 870.000 tenaga kerja langsung dan tidak langsung telah terserap dalam lima tahun terakhir di sektor ini.
Namun, potensi pemanfaatan langsung masih belum tergarap optimal. ESDM menilai bahwa dukungan regulasi yang kuat dapat mengakselerasi pemanfaatan panas bumi di sektor pertanian, perikanan, industri, pariwisata, hingga pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di daerah-daerah potensi.
Game Changer dalam Industri Geothermal
Kementerian ESDM percaya bahwa pemanfaatan langsung panas bumi akan menjadi game changer dalam industri panas bumi nasional. Langkah ini akan memperkuat kemandirian energi dan membangun ekonomi hijau berbasis energi bersih.
“Kami berharap regulasi ini dapat menjadikan panas bumi sebagai lokomotif ekonomi hijau Indonesia, serta memperkuat kemandirian energi nasional, sebagaimana ditekankan dalam Asta Cita Presiden,” ujar Eniya.
Salah satu potensi besar dari pemanfaatan langsung ini adalah peningkatan nilai tambah produk pertanian, perikanan, dan perkebunan. Misalnya, pemanfaatan panas bumi dapat digunakan dalam pengeringan hasil panen, pemanasan rumah kaca, hingga pemrosesan bahan baku secara hemat energi. Selain itu, potensi ekowisata berbasis panas bumi juga terbuka lebar, terutama di wilayah kerja panas bumi yang memiliki keunikan alam dan budaya.
Libatkan Stakeholder Lewat Konsultasi Publik
Sebagai bagian dari proses penyusunan regulasi yang partisipatif dan inklusif, Kementerian ESDM juga menggelar konsultasi publik terhadap Rancangan Permen ini. Tujuannya adalah untuk menjaring masukan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, asosiasi pengembang panas bumi, akademisi, dan pelaku industri terkait.
Keterlibatan multipihak diharapkan dapat memperkaya substansi regulasi serta memperkuat komitmen kolektif dalam mengembangkan panas bumi sebagai energi masa depan Indonesia.
Dengan potensi panas bumi yang sangat besar Indonesia merupakan negara dengan cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia kebijakan pemanfaatan langsung ini menjadi langkah strategis. Tidak hanya untuk mengejar target bauran energi baru terbarukan 23% pada 2025, tetapi juga sebagai instrumen nyata dalam menggerakkan ekonomi lokal dan mempercepat transisi energi nasional.
Pemerintah optimistis bahwa dengan regulasi yang tepat, sinergi antara pusat dan daerah, serta dukungan dunia usaha dan masyarakat, pemanfaatan langsung panas bumi akan menjadi pilar penting dalam pembangunan ekonomi hijau Indonesia di masa depan.