Sabtu, 06 September 2025

Krisis di Balik Pemutihan Izin Perkebunan Sawit: Antara Korporasi Bermasalah dan Konflik Sosial

Krisis di Balik Pemutihan Izin Perkebunan Sawit: Antara Korporasi Bermasalah dan Konflik Sosial
Krisis di Balik Pemutihan Izin Perkebunan Sawit: Antara Korporasi Bermasalah dan Konflik Sosial

JAKARTA - Industri kelapa sawit Indonesia kembali menjadi sorotan setelah terungkapnya sejumlah masalah di balik kebijakan pemutihan izin perkebunan sawit. Keputusan Menteri Kehutanan No. 36 Tahun 2025 memberikan status pemutihan kepada 436 perusahaan, sebuah langkah kontroversial yang menuai kritik dari berbagai kalangan. Ini menyangkut lahan seluas 317.253 hektare yang permohonan penyelesaiannya ditolak karena tak memenuhi kriteria Pasal 110A Undang-undang Cipta Kerja (UUCK), dan 790.474 hektare lainnya yang masih dalam proses.

Dalam kerangka pemutihan ini, terungkap bahwa beberapa perusahaan terindikasi melakukan pelanggaran serius, mulai dari penanaman di luar wilayah izin, ketidakpatuhan terhadap kewajiban plasma, hingga dugaan keterlibatan dalam kasus suap. Beberapa perusahaan yang diindikasikan terlibat antara lain Bumitama Group dan Sampoerna Agro Group, yang ironisnya dikenal memiliki komitmen terhadap prinsip sawit berkelanjutan melalui keanggotaan mereka di Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Dalam investigasinya, Sawit Watch mencatat bahwa aktivitas ilegal ini menyebabkan konflik sosial yang signifikan dengan masyarakat setempat. "Sejumlah korporasi yang mendapat pemutihan sawit tercatat bermasalah. Mereka terindikasi menanam di luar wilayah izin, tak memenuhi plasma, hingga terlibat suap," ujar Bony, peneliti dari Sawit Watch. Laporan mereka menunjukkan ada 1126 komunitas yang terlibat konflik dengan perusahaan sawit hingga tahun 2024.

Salah satu kasus yang menonjol adalah Bumitama Gunajaya Agro (BGA), anak perusahaan Bumitama Group yang beroperasi di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Perusahaan ini dituduh menggarap lahan di luar konsesi yang dimiliki, melanggar aturan sempadan, dan dampaknya dirasakan secara nyata oleh lingkungan dan masyarakat. Aktivitas BGA berisiko merusak ekosistem setempat, mengeringkan sungai, serta mengancam habitat satwa liar dan sumber pangan bagi masyarakat lokal.

Selain Bumitama, masalah lain juga muncul dengan PT Sampoerna Agro dan anak perusahaannya, PT SR, yang menghadapi konflik dengan masyarakat Desa Tempayung. Persoalan janji pembangunan kebun plasma yang belum dipenuhi hingga kini masih menjadi sumber ketegangan. Kriminalisasi petani yang memperjuangkan hak mereka atas kebun plasma merupakan bukti nyata dari konflik ini. "Melihat dua contoh di atas bahwa, sertifikasi berkelanjutan tidak menjamin tata kelola kebun sawit yang bebas pelanggaran prinsip dan kriteria berkelanjutan," tambah Bony, menggarisbawahi masalah serius dalam pelaksanaan praktik keberlanjutan di lapangan.

Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch, secara tegas mengkritik kebijakan pemutihan ini. "Kami melihat upaya pemutihan ini hanya akan menjadi preseden buruk bagi tata kelola sawit di Indonesia," ujarnya, seraya menekankan perlunya RSPO untuk menindak tegas anggota-anggotanya yang terbukti melanggar aturan. Sawit Watch bahkan telah mengajukan gugatan untuk uji materiil terhadap PP No. 24 Tahun 2021 di Mahkamah Agung dan berencana membawa kasus serupa ke Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 110B.

Isu ini semakin diperkeruh oleh kasus suap yang melibatkan Managing Director PT BAP, sebuah perusahaan sawit lainnya yang, pada tahun 2019, pimpinannya divonis penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara, Roni Saputra, menganggap bahwa seluruh kebijakan pemutihan ini kurang mencerminkan fokus pada sawit berkelanjutan. "Seharusnya pemerintah mempertimbangkan perkara sawit berkelanjutan ketika memberikan pemutihan ini," tegasnya.

Kondisi ini mengindikasikan bahwa kebijakan pemutihan harus ditinjau kembali dengan mempertimbangkan berbagai aspek sustainability termasuk pemenuhan kewajiban plasma, penyelesaian konflik masyarakat, dan kepatuhan terhadap hukum. Sebagai negara penghasil sawit terbesar, Indonesia harus mampu menjamin bahwa roda ekonomi yang digerakkan oleh industri ini berputar seiring dengan praktik yang adil dan berkelanjutan bagi lingkungan dan masyarakat.

Dampak dari pengabaian prinsip-prinsip ini sangat luas. Tidak hanya lingkungan yang dirugikan dengan ekosistem yang rusak dan keanekaragaman hayati yang terancam punah, masyarakat lokal juga harus menanggung ketidakadilan, kehilangan akses pada sumber daya alami, dan tekanan sosial akibat konflik berkepanjangan. Ke depannya, pembaruan kebijakan yang komprehensif dan penegakan hukum yang konsisten menjadi langkah vital dalam memastikan bahwa industri sawit Indonesia bukan hanya sukses dari sisi ekonomi, tetapi juga secara sosial dan lingkungan.

Dengan adanya berbagai insiden ini, tiba saatnya pemerintah dan para pelaku industri di Indonesia untuk mengkalibrasi ulang strategi mereka dalam mengelola perkebunan sawit, memastikan bahwa bisnis yang dijalankan tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga berkelanjutan dan berkeadilan bagi semua pihak yang terlibat.

Regan

Regan

teropongbisnis.id adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.

Rekomendasi

Berita Lainnya

KAI Layani 138 Ribu Penumpang Libur Maulid

KAI Layani 138 Ribu Penumpang Libur Maulid

Danantara Perkuat Posisi RI di Dunia Internasional

Danantara Perkuat Posisi RI di Dunia Internasional

Rute Kapal Pelni Jayapura Manokwari September 2025

Rute Kapal Pelni Jayapura Manokwari September 2025

KAI Siapkan Layanan Istimewa Libur Maulid

KAI Siapkan Layanan Istimewa Libur Maulid

MIND ID Tegaskan Komitmen Turunkan Emisi

MIND ID Tegaskan Komitmen Turunkan Emisi