
JAKARTA – Harga minyak mentah global kembali mencatatkan kenaikan signifikan menyusul prediksi stabilnya gencatan senjata antara Iran dan Israel yang diumumkan awal pekan ini oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Kenaikan harga ini juga diperkuat oleh lonjakan permintaan minyak dari Amerika Serikat, negara dengan konsumsi minyak terbesar di dunia.
Pada penutupan perdagangan, harga minyak mentah Brent tercatat naik 54 sen atau sekitar 0,8 persen, sehingga berada di level 67,68 dolar AS per barel. Sementara itu, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat juga mengalami kenaikan sebesar 55 sen atau 0,9 persen, menjadi 64,92 dolar AS per barel.
Kenaikan harga ini menjadi pemulihan dari penurunan tajam yang terjadi di awal pekan, menyusul ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel yang sempat mengganggu pasar minyak global.
Baca Juga
Stabilitas Politik Timur Tengah Dorong Optimisme Pasar
Kabar gencatan senjata yang diumumkan oleh Presiden Donald Trump, dianggap menjadi faktor utama yang memulihkan kepercayaan pasar terhadap stabilitas pasokan minyak dari kawasan Timur Tengah. Trump menyampaikan bahwa Israel dan Iran telah mencapai kesepakatan untuk menghentikan aksi militer, menyusul 12 hari bentrokan sengit yang mencakup serangan udara Israel ke Iran dan serangan balasan dari Teheran berupa drone dan rudal.
"Iran menyatakan siap menghentikan serangan jika Israel juga melakukan hal serupa. Israel akhirnya menyetujui tawaran tersebut setelah merasa telah mencapai tujuan dari operasi militernya," ujar Presiden Trump dalam konferensi pers.
Meski demikian, kondisi masih dinamis. Trump juga mengakui bahwa gencatan senjata ini berpotensi gagal karena kedua negara belum sepenuhnya menghentikan aksi militer secara menyeluruh.
Proyeksi Harga Minyak Masih dalam Zona Waspada
Meski menunjukkan tren positif, para analis tetap memberikan catatan hati-hati terhadap pergerakan harga minyak dalam waktu dekat. Tina Teng, analis pasar independen, menyebut bahwa harga minyak kemungkinan akan bergerak di rentang 65 hingga 70 dolar AS per barel, dengan banyaknya faktor eksternal yang masih membayangi pasar global.
"Pasar saat ini masih menanti kejelasan dari data ekonomi makro Amerika Serikat dan arah kebijakan suku bunga terbaru dari The Fed. Itu akan sangat mempengaruhi proyeksi permintaan energi global," jelas Teng.
Ia juga menambahkan bahwa jika Federal Reserve benar-benar memangkas suku bunga pada bulan September, maka pertumbuhan ekonomi AS akan terdorong, yang otomatis akan meningkatkan permintaan minyak global. Spekulasi terhadap langkah The Fed ini menjadi salah satu pendorong utama optimisme harga minyak di pasar berjangka.
Permintaan Domestik AS Juga Jadi Pendorong Kenaikan
Selain stabilitas geopolitik, peningkatan permintaan minyak di pasar domestik Amerika Serikat turut menjadi faktor penentu dalam penguatan harga minyak global. Dengan berakhirnya musim dingin dan mulai meningkatnya mobilitas warga dalam musim panas, konsumsi energi terutama bahan bakar transportasi kembali melonjak.
Kondisi ini membuat harga minyak berhasil memangkas sekitar sepertiga dari kerugian 13 persen yang terjadi dalam dua hari sebelumnya. Tekanan terhadap harga sempat terjadi akibat kekhawatiran pasar bahwa eskalasi konflik Iran-Israel akan mengganggu pasokan, namun kini berbalik arah menjadi sentimen positif setelah kabar gencatan senjata diumumkan.
Dampak Global dari Gencatan Senjata
Peran Iran sebagai salah satu eksportir utama minyak mentah di dunia tidak bisa dikesampingkan. Ketika wilayahnya diserang atau stabilitas nasional terganggu, pasar dunia langsung bereaksi karena potensi gangguan pada alur ekspor dari Teluk Persia. Apalagi Iran juga memiliki pengaruh signifikan terhadap Selat Hormuz jalur vital pengiriman minyak dunia.
Dengan gencatan senjata yang diklaim relatif stabil, para investor kini mulai kembali menaruh kepercayaan pada keberlangsungan pasokan dari wilayah tersebut. Namun, pasar tetap siaga karena situasi di Timur Tengah dikenal sangat cepat berubah, dan kondisi damai yang rapuh bisa dengan mudah kembali memanas.
Proyeksi Ke Depan: Menanti Keputusan The Fed dan Stabilitas Geopolitik
Sejumlah faktor masih akan menentukan arah pergerakan harga minyak dalam beberapa pekan ke depan. Di antaranya adalah:
Keputusan suku bunga Federal Reserve (The Fed) — Jika benar suku bunga dipangkas pada September, maka akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi.
Stabilitas gencatan senjata Iran-Israel — Jika kedua negara benar-benar menghentikan konflik militer, maka kepercayaan pasar terhadap kestabilan pasokan akan meningkat.
Data ekonomi makro global — Termasuk laporan tenaga kerja AS, inflasi, dan data sektor industri dari negara-negara konsumen energi besar seperti China dan India.
Kenaikan harga minyak pada, menjadi sinyal penting bagi pelaku pasar bahwa stabilitas geopolitik, meski masih rapuh, tetap mampu mendorong sentimen positif. Dengan harga Brent berada di level 67,68 dolar AS dan WTI di 64,92 dolar AS, pasar menunjukkan antusiasme terhadap gencatan senjata Iran-Israel dan potensi pertumbuhan ekonomi yang ditandai oleh meningkatnya permintaan energi di Amerika Serikat.
Namun, ketidakpastian global tetap tinggi, dan pasar akan terus mencermati perkembangan dari kawasan Timur Tengah dan langkah kebijakan moneter dari bank sentral AS. Dalam waktu dekat, semua mata tertuju pada apakah ketegangan benar-benar mereda, atau justru kembali memicu gejolak baru di pasar energi global.

Sutomo
teropongbisnis.id adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
Sinergi BRIN dan UBSI Dorong Riset Inovasi Indonesia
- 11 September 2025
2.
Yamaha Uji Pasar Kendaraan Listrik Swap Battery
- 11 September 2025
3.
Jepang Masih Jadi Destinasi Wisata Favorit Global
- 11 September 2025
4.
Jadwal Pelni KM Nggapulu September Oktober 2025
- 11 September 2025
5.
HUT KAI 2025 Hadirkan Promo Diskon Tiket Spesial
- 11 September 2025