Dalam langkah strategis meniru kebijakan Indonesia, Filipina sedang mempertimbangkan larangan ekspor bijih nikel untuk memajukan industri hilirisasi di dalam negeri. Wacana ini berpotensi menjadikan Filipina sebagai pesaing baru bagi Indonesia, terutama dalam menarik investasi untuk pengembangan smelter.
Filipina Mengikuti Jejak Indonesia
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Bisman Bhaktiar, mengungkapkan potensi yang dimiliki Filipina jika menerapkan larangan ekspor bijih nikel. Hal ini akan membuat Filipina terfokus pada pengembangan industri hilirisasi, serupa dengan langkah yang telah diterapkan oleh Indonesia. "Filipina bisa jadi akan menjadi pesaing utama Indonesia. Secara potensi jelas lebih besar dan menarik dari Indonesia. Namun, jika Filipina mampu memberikan kemudahan dan nilai lebih, ini ancaman juga bagi Indonesia," ujar Bisman.
Saat ini, Filipina hanya memiliki dua fasilitas pengolahan yang memproses logam bahan baku baja tahan karat dan baterai kendaraan listrik. Dengan menerapkan kebijakan larangan ekspor, Filipina diharapkan dapat meningkatkan industri smelter di dalam negeri, mendongkrak nilai tambah dari pengolahan sumber daya alam mereka.
Strategi Indonesia Menjaga Daya Saing
Bisman menekankan perlunya Indonesia mempertahankan daya saing investasi di sektor tersebut. Untuk tetap menarik bagi para investor, Indonesia perlu menawarkan insentif yang mampu bersaing, seperti kemudahan perizinan, jaminan kepastian hukum, solusi masalah tanah, serta insentif lainnya. "Mempertahankan daya tarik investasi sangat penting bagi Indonesia untuk menghadapi kompetisi yang semakin ketat di kawasan ini," kata Bisman.
Meski begitu, Bisman optimis bahwa larangan ekspor bijih nikel Filipina tidak akan berpengaruh signifikan terhadap industri dalam negeri. Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia. Walaupun saat ini Indonesia masih melakukan impor bijih nikel dari Filipina, Bisman yakin bahwa dalam kondisi normal, produksi dalam negeri cukup memenuhi kebutuhan smelter.
Data Impor dan Produksi Nikel
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 12 Februari 2025, impor bijih nikel dan konsentrat dari Filipina mencapai 10,18 juta ton dengan nilai US$445,09 juta pada tahun 2024. Namun, impor ini lebih dikarenakan adanya hambatan produksi yang dialami industri dalam negeri.
Lebih lanjut, Bisman menyebutkan bahwa Indonesia bisa mengalihkan impor nikel dari negara lain jika Filipina menghentikan ekspor. Negara-negara seperti Rusia dan Australia dapat menjadi alternatif pengganti. "Jika Indonesia tetap perlu impor dan Filipina setop, masih ada alternatif impor dari negara lain. Pengaruhnya hanya soal jarak, Filipina paling dekat," tutur Bisman.
Filipina Meniru Kebijakan Sukses Indonesia
Presiden Senat Filipina, Francis Escudero, menyatakan bahwa larangan ekspor bijih nikel bertujuan untuk menambahkan nilai lebih pada mineral yang ada, serupa dengan strategi Indonesia. Escudero mencatat bahwa kebijakan larangan ekspor bijih logam oleh Indonesia pada tahun 2020 berdampak signifikan, meningkatkan nilai ekspor nikel mereka dari US$3 miliar menjadi US$30 miliar dalam dua tahun berkat pembangunan smelter oleh perusahaan-perusahaan China.
"Indonesia telah menunjukkan bagaimana sebuah negara kaya sumber daya bisa meningkatkan nilai tambah melalui implementasi kebijakan yang tepat," ucap Escudero.
Masa Depan Industri Nikel di Asia Tenggara
Melalui pengesahan RUU untuk melarang ekspor mineral mentah, Filipina berencana menerapkan kebijakan ini paling cepat pada Juni 2025. Sebagai produsen bijih nikel terbesar kedua di dunia setelah Indonesia, kebijakan ini menunjukkan langkah Filipina untuk bersaing dalam pasar global, khususnya di sektor hilirisasi.
Jika kebijakan tersebut direalisasikan, Filipina akan mempersiapkan diri untuk menarik investasi dari perusahaan global yang tertarik membangun smelter di negara tersebut, melibatkan diri dalam persaingan ketat untuk mendapatkan investor di kawasan Asia Tenggara.
Dengan demikian, langkah Filipina dalam meniru kebijakan Indonesia bukan hanya sekadar strategi ekonomi semata, tetapi juga sebagai upaya penting dalam mengelola sumber daya alam mereka supaya memberikan dampak yang lebih besar bagi perekonomian nasional.
Namun demikian, Indonesia harus mampu merespons dengan meningkatkan efisiensi dan produktivitas sektor hilir nikel serta menjaga stabilitas kebijakan untuk memastikan posisi dominannya di industri ini tidak tergeser. Ini bukan hanya tentang persaingan regional, tetapi juga tentang bagaimana setiap negara memaksimalkan potensi sumber daya alamnya untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.