JAKARTA — Konflik seputar review skincare oleh influencer kecantikan telah mencuat ke publik, menarik perhatian Komisi IX DPR RI dan mempersoalkan peran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Isu ini tidak hanya menyeret para influencer, tetapi juga menyoroti pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dalam industri kosmetik.
Dalam beberapa waktu terakhir, influencer kecantikan gencar mempromosikan berbagai produk skincare di media sosial. Mereka sering kali mengupas kandungan dan manfaat produk secara rinci, menciptakan tren baru dalam pemasaran produk kosmetik. Namun, hal ini mengundang kekhawatiran mengenai keabsahan informasi dan potensi risiko bagi konsumen.
Peran dan Tanggapan BPOM
BPOM sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas regulasi produk kosmetik, seolah-olah tidak efektif menjalankan fungsinya, menurut Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh. Kepada media, Nihayatul mengungkapkan bahwa BPOM harus lebih tegas dalam pengawasan dan penegakan regulasi.
Di pihak lain, Kepala BPOM, Taruna Ikrar, menegaskan bahwa lembaga ini belum memberikan legitimasi kepada influencer untuk menyampaikan informasi produk kosmetik kepada publik. "Fenomena influencer yang merilis produk tanpa pemahaman ilmiah yang mendalam dapat menimbulkan risiko bagi masyarakat," jelas Taruna Ikrar.
BPOM sedang merancang aturan baru yang akan melarang influencer mengeluarkan review secara mandiri tanpa merujuk hasil penelitian dari BPOM. Aturan ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari klaim berlebihan tanpa dasar yang jelas.
Pandangan Berbeda: dr Tirta dan dr Ika
Persoalan ini turut ditanggapi oleh dua tokoh medis yang aktif di media sosial, dr Tirta dan dr Ika, yang memiliki pandangan berbeda terkait peran influencer dalam industri kecantikan.
Pandangan dr Tirta
dr Tirta, seorang dokter yang juga populer sebagai influencer, memiliki pandangan terbuka terhadap ulasan produk oleh influencer. Dalam pernyataan di kanal YouTube AH, dia menyatakan, "Kita sebagai influencer atau dokter jika menemukan kejanggalan, review tidak apa-apa, namun laporkan juga ke BPOM." Menurut dr Tirta, influencer berhak mengecek dan mengulas produk, tetapi tidak berhak memberikan kesimpulan akhir tentang kualitas atau keamanan barang itu. "Kesimpulan produk kecantikan adalah wewenang dari BPOM," tambahnya.
dr Tirta juga mengingatkan bahwa konsumen memiliki hak untuk memprotes jika produk yang mereka beli tidak sesuai dengan klaim. "Hal ini bukan bentuk pencemaran nama baik, tetapi bagian dari hak konsumen," tegasnya.
Pandangan dr Ika
Sebaliknya, dr Ika lebih kritis terhadap kebijakan baru yang dikeluarkan BPOM. Melalui akun TikTok resminya, @dokter_Ika, dia berpendapat bahwa kebijakan ini menunjukkan lemahnya prosedur pengawasan terhadap produk berbahaya. "Selama proses pengawasannya terhambat, konsumen tetap akan dirugikan," ungkap dr Ika. Menurutnya, banyak produk yang melakukan overclaim akan terus berada di pasar meskipun telah ada peraturan baru.
Konflik ini mencerminkan adanya tantangan besar dalam regulasi dan pengawasan produk skincare di Indonesia. Sementara influencer memiliki dampak besar dalam pemasaran produk kecantikan, tindakan tanpa dasar ilmiah dan legal dapat merugikan konsumen dan menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Peran BPOM sangat penting untuk menjamin bahwa semua klaim yang disampaikan kepada publik sudah diverifikasi dengan uji ilmiah. Aturan baru yang tengah digodok diharapkan dapat memberikan klarifikasi mengenai peran dan batasan influencer dalam mereview produk skincare.
Ke depannya, kerjasama yang lebih solid antara BPOM, para pelaku industri kosmetik, dan influencer perlu dibentuk untuk menciptakan ekosistem yang aman dan terpercaya bagi konsumen. Dengan begitu, informasi yang disampaikan ke masyarakat dapat dipertanggungjawabkan dan memberikan manfaat nyata tanpa merugikan konsumen.
Sebagaimana disampaikan oleh Ketua Komisi IX DPR RI, langkah tegas dan cepat dari BPOM menjadi kunci bagi perlindungan konsumen dan peningkatan kualitas industri kosmetik di Indonesia. Ini adalah momen penting untuk menguatkan regulasi dan edukasi yang komprehensif agar standar keamanan dan kualitas produk tetap terjaga.