Apa Bedanya dengan LNG dan Mengapa Kelangkaan Terjadi?

Kamis, 06 Februari 2025 | 22:21:38 WIB
Apa Bedanya dengan LNG dan Mengapa Kelangkaan Terjadi?

JAKARTA - Dalam beberapa hari terakhir, masyarakat di berbagai wilayah Indonesia mengalami kesulitan memperoleh gas elpiji 3 kilogram (LPG 3 kg). Krisis ini menyusul pemberlakuan kebijakan baru yang diterapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang melarang penjualan LPG 3 kg melalui pengecer sejak 1 Februari 2025. Kebijakan ini diharapkan dapat memastikan distribusi subsidi yang tepat sasaran dan mencegah penyalahgunaan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya banyak masalah dalam implementasinya, termasuk antrean panjang di banyak tempat. Tragisnya, seorang warga dilaporkan meninggal dunia akibat kelelahan saat mengantri.

Indonesia, Negara Kaya Gas Alam tetapi Impor LPG

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan gas alam, bahkan termasuk dalam jajaran negara eksportir gas alam terbesar di dunia. Tetapi, ironisnya, banyak dari gas alam yang diproduksi di Indonesia lebih banyak diekspor daripada digunakan untuk kebutuhan dalam negeri, khususnya dalam bentuk LPG yang justru diimpor. Maka timbul pertanyaan, mengapa sebagai negara penghasil gas alam, Indonesia harus bergantung pada impor untuk LPG?

Menurut data yang dikumpulkan dari Buku Jargas yang diterbitkan Kementerian ESDM, gas alam yang dihasilkan di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan LPG. Gas alam Indonesia kebanyakan diolah menjadi LNG (liquefied natural gas), yang berbeda dari LPG (liquefied petroleum gas).

Perbedaan Mendasar antara LPG dan LNG

Baik LNG maupun LPG pada dasarnya adalah gas alam yang dicairkan, yang bertujuan untuk memudahkan distribusi ke lokasi yang tidak terjangkau dengan pipa distribusi. Namun, perbedaan utama dari kedua jenis gas ini terletak pada komposisinya. LPG terdiri dari propane dan butane, yang memiliki massa jenis lebih besar dan lebih cocok untuk penggunaan rumah tangga. Dalam tabung, LPG berbentuk cair, tetapi pada suhu dan tekanan normal langsung berubah menjadi gas saat dikeluarkan. Penggunaan LPG relatif mudah karena tidak memerlukan infrastruktur pembakaran khusus selain kompor gas biasa.

Sebaliknya, LNG lebih kompleks dalam pengolahannya. LNG didominasi oleh metana dan etana yang didinginkan hingga menjadi cair pada suhu yang ekstrem, antara -150°C hingga -200°C. Proses ini membutuhkan fasilitas pendingin dan tangki kriogenik yang membutuhkan investasi sangat besar, baik di sisi produksi maupun distribusinya. Sebab itu, pemanfaatan LNG memerlukan infrastruktur yang lebih kompleks, seperti terminal regasifikasi untuk mengubah LNG kembali menjadi gas sebelum digunakan.

Tantangan dan Pembangunan Infrastruktur

Pengembangan dan distribusi LNG tidak semudah distribusi LPG. "Dalam hal distribusi, LNG memerlukan fasilitas khusus dan jaringan pipa yang harganya sangat mahal serta time-consuming untuk dibangun," ungkap seorang pejabat dari Kementerian ESDM.

Di tingkat hilir, regasifikasi LNG menjadi gas alam kembali memerlukan fasilitas serta jaringan pipa yang menghubungkan terminal ke konsumen akhir. Hal ini menuntut adanya infrastruktur yang lebih kompleks dibandingkan LPG yang bisa diedarkan dalam tabung.

Kebijakan dan Dampaknya pada Masyarakat

Dinamika kebijakan terkait distribusi LPG dan LNG tak luput dari aspek dampaknya pada masyarakat. Pelarangan penjualan LPG 3 kg oleh pengecer oleh Kementerian ESDM bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan memastikan bahwa subsidi elpiji yang ada tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan masyarakat miskin.

Namun, kebijakan ini menimbulkan masalah di lapangan. Antrean panjang terjadi di mana-mana, dan bahkan menyebabkan seorang warga dikabarkan meninggal akibat kelelahan. "Kondisi ini menunjukkan perlunya evaluasi kebijakan untuk mengurangi dampak negatif dari kebijakan tersebut," kata seorang ahli ekonomi energi dalam sebuah wawancara, menyoroti pentingnya tata kelola yang lebih baik dalam distribusi LPG bersubsidi.

Mengapa Gas Alam Indonesia Lebih Banyak Diekspor?

Pertanyaan mendasar berikutnya adalah mengapa gas alam Indonesia, yang sudah melimpah, lebih banyak diekspor? Faktor besar dalam hal ini adalah soal nilai ekonomi dari ekspor LNG yang dikatakan lebih menguntungkan. “Indonesia mengekspor LNG karena pasar internasional menawarkan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasar domestik,” kata seorang analis energi.

Kendati demikian, kebijakan ini menghadapi kritik lantaran paradoks bahwa Indonesia sebagai produsen besar gas tetap harus mengimpor LPG untuk memenuhi kebutuhan domestik. Sebuah kebijakan yang mungkin memerlukan revisi dalam rangka mengutamakan kebutuhan energi dalam negeri.

Solusi Alternatif dan Jalan ke Depan

Krisis LPG ini memicu perlunya solusi alternatif serta kebijakan yang lebih menyeluruh. Salah satu alternatif yang dapat dipertimbangkan adalah pengembangan lebih banyak kilang LPG domestik serta peningkatan kapasitas infrastruktur pengolahan gas alam.

Sementara itu, kebijakan perbaikan sistem distribusi dan penerapan teknologi baru yang lebih maju seperti monitoring distribusi berbasis teknologi informasi bisa menjadi solusi lain untuk memastikan bahwa subsidi LPG benar-benar dimanfaatkan oleh kalangan yang membutuhkannya. Pemerintah pun perlu mempertimbangkan secara serius bagaimana memanfaatkan gas alam domestik untuk kesejahteraan masyarakat luas, tanpa harus selalu mengandalkan impor.

Dalam kesimpulannya, krisis LPG ini menjadi momentum penting bagi pemerintah dan semua pihak terkait untuk mengevaluasi kembali berbagai kebijakan energi yang ada, serta merancang strategi jangka panjang yang lebih pro-rakyat demi menjamin keamanan dan ketersediaan energi di seluruh penjuru negeri.

Terkini

Danantara Jadi Pilar Strategis Kemandirian Fiskal Indonesia

Rabu, 10 September 2025 | 18:30:22 WIB

Hutama Karya Rayakan Harhubnas Dengan Jembatan Ikonik

Rabu, 10 September 2025 | 18:30:21 WIB

Jasa Marga Tingkatkan Layanan Tol Cipularang Padaleunyi

Rabu, 10 September 2025 | 18:30:19 WIB

Waskita Karya Garap Proyek Budidaya Ikan Nila

Rabu, 10 September 2025 | 18:30:17 WIB