Jakarta - Sebuah terobosan baru di bidang kerajinan batik diperkenalkan di acara tahunan Inacraft 2025, yaitu malam batik berkelanjutan yang berbasis minyak sawit sebagai pengganti lilin dari minyak bumi. Produk inovatif ini merupakan hasil produksi Kampung Laweyan, Jawa Tengah, dan diluncurkan dengan dukungan dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), salah satu sponsor utama acara kerajinan terbesar di Indonesia.
Talkshow bertema “Perpaduan Warisan Budaya dan Praktik Keberlanjutan” menandai peluncuran produk ini. Acara yang berlangsung selama satu jam tersebut dipandu oleh M. Windrawan Inantha, Market Transformation Deputy Director Indonesia RSPO, yang menyatakan bahwa pengembangan sawit berkelanjutan sangat mungkin dilakukan dengan skema sertifikasi. “Malam batik dari petroleum base kini dapat digantikan dengan lilin berbasis minyak sawit. Bentuknya padat dan lebih berkelanjutan,” kata Windrawan.
Produk inovatif ini diproduksi oleh Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan dengan dukungan Apical Group, dan kini digunakan sebagai pilot project. Menurut Windrawan, riset untuk menciptakan malam dari sawit telah dilakukan selama beberapa tahun dan memiliki potensi besar untuk berkembang ke depannya. Ditambahkannya, “Sebetulnya tidak rumit, tetapi perlu kemauan bersama untuk substitusi malam. Fungsi stearin menggantikan lilin yang selama ini berbasis minyak bumi dan tidak terbarukan.”
Stearin, komponen utama dalam malam sawit, adalah senyawa kimia berbentuk bubuk putih yang merupakan fraksi dari minyak sawit dengan kandungan asam lemak jenuh. Dengan 55-60% malam sawit terbuat dari stearin, inovasi ini menjanjikan keberlanjutan yang lebih baik untuk industri batik.
Sambutan dari Para Pemangku Kepentingan
Nugroho, pemilik Batik Cap Tiga Negeri dan anggota komunitas Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan, menyatakan antusiasmenya terhadap produk ini. “Saat ini, Kampung Laweyan memproduksi sekitar 500 kg lilin batik sawit setiap bulan, dan permintaan cukup tinggi sehingga stok cepat habis,” ungkapnya. Harga kompetitif yakni sekitar Rp30 ribu hingga Rp35 ribu per kg, membuatnya menjadi alternatif yang menjanjikan bagi pelaku industri batik.
Pemilihan Kampung Laweyan sebagai pusat produksi malam sawit didukung oleh sejarah panjang daerah ini dalam hal pengolahan batik. Alpha Febela Priyatmono, Ketua Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan dan dosen di Universitas Muhammadiyah Surakarta, menjelaskan, “Dulu, Laweyan terkenal dengan pengrajin batiknya. Namun, dengan adanya pasang surut industri batik, jumlah pengusaha batik menurun drastis. Melalui Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan Solo, kami berusaha untuk menghidupkan kembali budaya membatik.”
Komitmen terhadap Lingkungan dan Keberlanjutan
Dalam konteks ini, keberlanjutan menjadi fokus utama. Angga Prathama Putra dari WWF Indonesia menyatakan dukungannya terhadap inisiatif ini. “WWF Indonesia mendukung penuh langkah-langkah UMKM yang bergerak ke arah keberlanjutan. Apalagi, upaya menjadikan batik sebagai produk hijau merupakan perpaduan yang kuat antara budaya dan lingkungan,” jelasnya.
Sementara itu, Prama Yudha Amdan dari Apical Group menyebutkan pentingnya sawit sebagai tanaman masa depan. “Kelapa sawit berperan penting dalam kehidupan sehari-hari kita. Mulai dari dapur hingga industri bahan bakar, sawit memberikan kontribusi signifikan,” ujarnya.
Di sisi lain, aktris Asri Welas, pemilik Denyut Semesta, juga menyoroti pentingnya fashion responsibility. “Baju yang kita pakai harus berdampak positif pada lingkungan. Industri fesyen saat ini banyak bersandar pada bahan kimia yang merusak. Kami di Denyut Semesta bertekad memanfaatkan sampah tekstil yang didaur ulang untuk menciptakan produk yang lebih ramah lingkungan,” kata Asri.
Masa Depan yang Berkelanjutan untuk Industri Batik
Dengan adanya produk malam sawit ini, diharapkan industri batik dapat memiliki masa depan yang lebih berkelanjutan. Keberlanjutan tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan tetapi juga memberi nilai tambah pada produk batik yang telah lama menjadi warisan budaya Indonesia.
Keberhasilan proyek ini di Kampung Laweyan dapat menjadi contoh bagi daerah lain untuk mengikuti jejak serupa, memanfaatkan sumber daya alam dengan cara yang bertanggung jawab. “Ke depan, kami berharap batik bisa menjadi produk hijau yang ramah lingkungan, membawa Laweyan dan Solo menjadi pusat batik berkelanjutan,” tutup Alpha.
Dengan dukungan penuh dari berbagai pemangku kepentingan, transformasi ini diharapkan dapat memberi manfaat jangka panjang bagi industri batik, lingkungan, dan masyarakat setempat. Harapan besar tertuang untuk masa depan, di mana inovasi dan tradisi dapat berjalan berdampingan demi kelestarian budaya dan alam.