BEIJING TIONGKOK – Dalam upaya memperkuat ambisi iklim dan mempercepat transisi energi di Indonesia, Institute for Essential Services Reform (IESR) menjalin kolaborasi dengan Belt Road Initiative Green Coalition (BRIGC) melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU). Acara yang berlangsung pada 13 Desember 2024 di Beijing ini turut disaksikan oleh Wakil Menteri Kementerian Ekologi dan Lingkungan Hidup Tiongkok. MoU ini mencerminkan semangat kerja sama erat antara Indonesia dan Tiongkok yang berfokus pada inisiatif hijau dan proyek rendah karbon.
IESR, sebagai lembaga think tank terkemuka dalam bidang transisi energi dan perubahan iklim di Indonesia, berkomitmen memanfaatkan kerjasama ini guna mendorong pengembangan energi terbarukan di tanah air. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menegaskan pentingnya peran Tiongkok sebagai produsen teknologi energi bersih dan sebagai investor dalam proyek energi terbarukan. "Tiongkok memimpin dalam inovasi teknologi, mengintegrasikan standar baru dan model bisnis terkini untuk transformasi bisnis rendah karbon," kata Fabby.
MoU ini menggarisbawahi rencana strategis IESR untuk melakukan penelitian dan analisis kebijakan yang dapat memberikan rekomendasi strategis bagi inisiatif hijau dalam kerangka Belt and Road Initiative (BRI). IESR juga akan memanfaatkan keahlian dari mitra BRIGC baik di Tiongkok maupun internasional, untuk mempercepat peralihan energi menuju netralitas karbon di Indonesia.
Dalam lanskap energi Indonesia, transisi ke energi terbarukan memerlukan investasi substansial. Fabby menyoroti, "Kita harus mengalihkan investasi BRI dari batu bara ke energi terbarukan. Indonesia perlu membangun sekitar 15 hingga 25 GW kapasitas energi terbarukan setiap tahun hingga 2050." Ini termasuk investasi dalam teknologi penyimpanan energi dan modernisasi jaringan listrik dengan total kebutuhan investasi kumulatif mencapai USD 1,2 triliun. Menurut Fabby, investasi dan teknologi dari Tiongkok adalah kontribusi penting untuk mencapai target ambisius ini.
Sebelumnya, IESR bersama ClientEarth dan BRIGC telah melakukan studi untuk mengidentifikasi potensi kerja sama antara Indonesia dan Tiongkok dalam transisi energi yang berhasil. Evaluasi tersebut diterima dengan positif oleh pemerintah Tiongkok, menandai niat kedua negara memperdalam kerjasama bilateral yang berlandaskan kepentingan bersama.
Namun, tidak dapat diabaikan bahwa sejarah proyek BRI sebelumnya tercatat berkontribusi terhadap polusi dan perubahan iklim. Hingga 2021, pembiayaan BRI mencapai USD 29,55 miliar untuk proyek pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia, menekankan perlunya peralihan yang jelas menuju proyek ramah lingkungan.
Penunjukan Fabby Tumiwa sebagai anggota Belt Road Initiative Green and Low Carbon Expert Network (GLEN) oleh Kementerian Ekologi dan Lingkungan Hidup Tiongkok merupakan pengakuan atas kompetensi IESR. "Merupakan kehormatan dapat menjadi bagian dari GLEN. Kami berharap dapat membentuk visi hijau BRI," ujar Fabby, menambahkan bahwa proyek BRI harus menegakkan prinsip-prinsip kemitraan setara dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Dalam keseluruhan kerangka kerja sama ini, IESR berharap dapat memperkuat hubungan diplomatik dan ekonomi antara Indonesia dan Tiongkok, sekaligus memberi dorongan besar pada proyek-proyek rendah karbon. Melalui akses yang lebih besar terhadap keahlian dan inovasi dari Tiongkok, diharapkan transisi energi berkeadilan di Indonesia dapat terwujud lebih cepat. Upaya ini bukan hanya tentang menghadirkan energi bersih, tetapi juga tentang membangun masa depan yang lebih berkelanjutan dan inklusif bagi generasi yang akan datang.
Dengan kolaborasi ini, IESR dan BRIGC berharap dapat mempromosikan lingkungan yang lebih sehat dan ekonomi energi yang lebih kuat, memungkinkan Indonesia untuk memainkan peran utama dalam medan energi global yang terus berkembang.