JAKARTA - Dolar Amerika Serikat (AS) terus menunjukkan tren penguatan terhadap berbagai mata uang dunia, termasuk rupiah. Meskipun demikian, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, mengungkapkan bahwa kinerja rupiah tetap lebih baik dibandingkan dengan sejumlah mata uang negara lain yang juga terdampak.
Dalam seminar nasional KAFEGAMA yang digelar di Menara BTN, Jakarta Pusat, pada Sabtu lalu, Perry menjelaskan bahwa pelemahan nilai tukar merupakan fenomena global akibat faktor eksternal. "Memang seluruh negara mengalami depresiasi, tetapi depresiasi rupiah termasuk yang kecil," ungkapnya.
Perry menyoroti bahwa penguatan dolar AS ini terkait erat dengan situasi ekonomi dan kebijakan di Amerika Serikat pasca kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden. Pemerintah AS, jelas Perry, telah meningkatkan penerbitan surat utang negara secara signifikan sehingga defisit fiskal naik menjadi 7,7%. Hal ini memicu gelombang perpindahan investasi global ke pasar Amerika Serikat, fenomena yang dikenal sebagai capital reversal.
“Utang pemerintah Amerika sangat tinggi, dan suku bunga yang juga tinggi membuat dolar AS menjadi sangat kuat. Ini mendorong investor global memindahkan portofolionya ke AS," papar Perry.
Indeks dolar AS mengalami lonjakan dari 101 menjadi 107 sejak Trump terpilih sebagai presiden. Kenaikan ini, yang terjadi dalam waktu kurang dari dua bulan, mencapai sekitar 6-7%. Menurut Perry, kondisi ini menandai era baru yang penuh tantangan bagi ekonomi global, termasuk Indonesia.
"Semua negara terdampak oleh penguatan dolar ini. Ini adalah angin baru yang harus kita hadapi dalam lima tahun mendatang, dan kita belum tahu perkembangan apa yang akan terjadi ke depan," imbuhnya.
Perry menegaskan bahwa Indonesia terus memperkuat kebijakan ekonomi domestik guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Bank Indonesia juga berkomitmen untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak dalam mengelola dampak volatilitas global terhadap perekonomian nasional.
(kkz/kkz)