Pengertian OCD dapat dijelaskan sebagai gangguan psikologis yang ditandai oleh pikiran obsesif dan perilaku kompulsif yang sulit dikendalikan.
Gangguan ini bisa saja berakar dari pengalaman emosional yang berat di masa kecil, seperti perpisahan orang tua. Masa kanak-kanak seharusnya menjadi waktu yang penuh keceriaan dan kasih sayang dari lingkungan terdekat.
Namun, tidak semua anak mendapatkan keberuntungan tersebut. Beberapa di antaranya harus menghadapi kenyataan pahit berupa perceraian orang tua saat usia mereka masih sangat muda.
Banyak orang mengira bahwa anak-anak belum mampu memahami peristiwa besar seperti itu. Padahal, pengalaman traumatis semacam itu bisa tertanam kuat dalam ingatan dan memengaruhi kondisi mental anak hingga dewasa.
Salah satu dampak psikologis yang bisa muncul akibat trauma masa kecil tersebut adalah gangguan obsesif-kompulsif.
Gangguan ini menempati urutan keempat dalam daftar gangguan mental yang paling umum, setelah fobia, penyalahgunaan zat, dan depresi berat.
Banyak penderita gangguan ini awalnya mendatangi dokter umum sebelum akhirnya ditangani oleh psikiater.
Sayangnya, dibutuhkan waktu cukup panjang—hingga sembilan tahun rata-rata—sebelum diagnosis yang tepat ditegakkan dan pasien menerima terapi yang sesuai.
Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang gangguan mental seperti OCD juga perlu dimiliki oleh tenaga medis umum, bukan hanya psikiater.
Prevalensi gangguan ini di masyarakat umum berkisar antara 2 hingga 3 persen. Sekitar sepertiga dari penderita mengalami gejala awal ketika memasuki usia 20-an.
Umumnya, gejala mulai muncul sekitar usia 19 tahun pada laki-laki dan 22 tahun pada perempuan.
Di usia remaja, anak laki-laki lebih berisiko mengalami gangguan ini dibandingkan anak perempuan, meskipun secara umum tidak ditemukan perbedaan besar antara pria dan wanita dewasa.
Beberapa studi menunjukkan bahwa OCD berhubungan dengan aktivitas bagian tertentu dalam otak.
Penelitian dari University of Cambridge yang diterbitkan dalam jurnal Science menemukan adanya gangguan pada bagian orbitofrontal cortex—bagian otak yang berperan dalam pengambilan keputusan—pada penderita OCD.
Dalam penelitian tersebut, partisipan dengan gangguan ini, serta anggota keluarga mereka, menjalani pencitraan otak.
Hasilnya menunjukkan bahwa bagian otak yang seharusnya aktif justru tidak menunjukkan aktivitas normal. Sebaliknya, orang tanpa gangguan menunjukkan pola aktivitas otak yang sehat.
Selain kelainan pada struktur otak, ada teori lain yang menyebut bahwa ketidakseimbangan serotonin berperan dalam munculnya gejala OCD. Namun, keterkaitan langsung serotonin sebagai penyebab utama belum bisa dipastikan.
Faktor genetik juga diyakini memiliki kontribusi besar, terutama karena ditemukan perbedaan yang mencolok pada kasus kembar identik dan kembar tidak identik.
Dengan melihat faktor penyebab dan gejala yang kompleks, penting untuk memahami pengertian OCD secara menyeluruh, terutama dalam kaitannya dengan dampak psikologis dari trauma masa kecil yang tidak ditangani dengan baik.
Pengertian OCD
Pengertian OCD merujuk pada kondisi gangguan kejiwaan yang ditandai oleh kemunculan pikiran berulang yang tidak diinginkan (obsesi) dan dorongan kuat untuk melakukan tindakan tertentu secara berulang (kompulsi).
Pengidap kondisi ini biasanya merasa tidak mampu mengendalikan dorongan tersebut, meskipun sadar bahwa perilaku yang dilakukan tidak masuk akal.
Sebagai contoh, seseorang mungkin merasa harus mencuci tangan hingga tujuh kali setelah menyentuh benda yang menurutnya kotor.
Pikiran dan tindakan semacam itu bukanlah sesuatu yang diinginkan, namun tetap terjadi secara terus-menerus. Kondisi ini dapat berdampak besar terhadap aktivitas sehari-hari dan kualitas hidup penderitanya.
Faktor Risiko OCD
Beberapa hal yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami gangguan ini antara lain adalah faktor genetik, kondisi fisik dan fungsi otak yang belum sepenuhnya dipahami, serta situasi lingkungan tempat seseorang tumbuh.
Namun, pengaruh terbesar biasanya berasal dari pengalaman hidup di masa kanak-kanak yang tidak mendukung kesehatan mental.
Misalnya, saat seorang anak sering menjadi sasaran ejekan atau merasa diremehkan karena memiliki kekurangan.
Pengalaman semacam ini dapat menimbulkan dorongan dalam diri untuk selalu berusaha menjadi sempurna sebagai bentuk kompensasi terhadap perlakuan yang diterima.
Penyebab OCD
Gangguan ini merupakan kondisi yang cukup sering terjadi dan dapat dialami oleh siapa saja, baik orang dewasa, remaja, maupun anak-anak dari berbagai belahan dunia.
Umumnya, diagnosis pertama kali diberikan saat seseorang berusia sekitar 19 tahun, dan dalam banyak kasus, anak laki-laki cenderung lebih awal teridentifikasi dibandingkan anak perempuan.
Meski belum ada penyebab pasti yang dapat dipastikan secara ilmiah, sejumlah faktor telah diketahui berperan dalam perkembangan kondisi ini.
Salah satu pemicu utama yang diyakini memiliki pengaruh besar adalah riwayat keluarga.
Seseorang yang memiliki anggota keluarga dekat, seperti orang tua atau saudara kandung yang mengalami gangguan serupa, cenderung memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk turut mengalaminya.
Para peneliti menduga bahwa hal ini berkaitan dengan adanya gen tertentu yang diturunkan, dan gen tersebut memengaruhi fungsi serta perkembangan otak.
Kendati demikian, hingga kini belum ditemukan gen spesifik yang benar-benar dikaitkan secara langsung.
Di samping faktor keturunan dan pengalaman hidup yang memicu tekanan mental, karakter bawaan seseorang juga bisa turut berperan.
Individu yang dikenal sangat rapi, gemar keteraturan, memiliki perhatian terhadap detail yang tinggi, serta berdisiplin kuat, disebut memiliki kerentanan lebih besar terhadap gangguan ini.
Gejala OCD
Penderita gangguan ini umumnya menunjukkan ciri khas berupa adanya dorongan mental yang sulit dikendalikan, perilaku berulang, atau bahkan keduanya sekaligus.
Tanda-tanda tersebut dapat mengganggu berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari pekerjaan, pendidikan, hingga hubungan dengan orang lain.
Dorongan mental tersebut biasanya muncul dalam bentuk pikiran yang terus menerus mengganggu, bayangan atau keinginan yang tidak diinginkan, serta kekhawatiran yang menyebabkan ketegangan emosional.
Di sisi lain, perilaku yang berulang dilakukan sebagai respons terhadap dorongan mental tersebut.
Contohnya termasuk kebiasaan membersihkan atau mencuci tangan secara berlebihan, menata atau merapikan benda-benda dengan cara tertentu, hingga memeriksa sesuatu secara berulang, seperti memastikan pintu terkunci atau kompor dalam keadaan mati.
Tingkat keparahan gejala bisa berbeda-beda setiap waktu. Kadang gejalanya mereda, lalu muncul kembali atau bahkan menjadi lebih berat.
Beberapa individu berusaha menghindari pemicu dari dorongan tersebut, seperti menjauhi situasi tertentu. Ada pula yang mencoba menenangkan dirinya dengan cara yang kurang sehat, seperti mengonsumsi alkohol atau zat tertentu.
Sebagian besar orang dewasa dengan gangguan ini menyadari bahwa tindakan mereka tidak logis. Namun, pada sebagian orang dewasa dan hampir seluruh anak-anak, kesadaran terhadap ketidaknormalan perilaku ini sering kali tidak muncul.
Dalam banyak kasus, justru orang-orang terdekat seperti orang tua maupun guru yang pertama kali menyadari adanya gejala pada anak-anak yang mengalaminya.
Berikut ini adalah beberapa bentuk dorongan pikiran yang mungkin dirasakan oleh penderita kondisi ini:
- Takut kotor, misalnya anti menyentuh barang yang sudah disentuh orang lain atau enggan bersalaman.
- Sangat memerhatikan keteraturan dan tata letak yang simetris, misalnya menyusun pakaian berdasarkan gradasi warnanya.
- Perasaan ketakutan yang berlebihan, sehingga pengidap bisa berulang kali memastikan bahwa pintu rumah sudah dikunci.
- Munculnya pikiran yang tidak diinginkan, biasanya berkaitan dengan sikap agresif, seksualitas, keyakinan, dan agama. Misalnya, pengidap bisa tiba-tiba mengeluarkan sumpah serapah tanpa alasan yang jelas.
Berikut ini adalah beberapa gejala yang umum terjadi pada penderita OCD:
1. Pikiran Obsesif
Pikiran yang bersifat obsesif merupakan kondisi mental yang terus muncul secara berulang dan memicu rasa gelisah atau tidak tenang.
Dorongan mental ini bisa timbul kapan saja, bahkan saat seseorang sedang fokus pada suatu hal atau sedang melakukan aktivitas tertentu.
Orang yang mengalami gangguan ini biasanya menunjukkan beberapa tanda khas terkait pikiran obsesif, di antaranya:
- Cemas atau takut tertular penyakit sehingga menghindari bersalaman atau menyentuh benda-benda.
- Stres ketika melihat sekumpulan benda tidak selaras atau simetris.
- Takut melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri atau orang lain, misalnya ragu apakah sudah mematikan kompor atau mengunci pintu.
- Takut mengatakan sesuatu yang mungkin menyinggung perasaan orang lain.
- Khawatir membuang barang yang telah dikumpulkan
2. Perilaku Kompulsif
Perilaku kompulsif merupakan tindakan yang dilakukan secara terus-menerus sebagai bentuk usaha meredakan kegelisahan atau ketakutan yang dipicu oleh pikiran obsesif.
Individu yang mengalami kondisi ini biasanya merasakan ketenangan sesaat setelah melakukan tindakan tersebut.
Meski demikian, dorongan obsesif bisa kembali muncul, sehingga orang tersebut terdorong untuk mengulangi pola perilaku kompulsif yang sama. Tanda-tanda umum dari perilaku kompulsif antara lain:
- Mandi atau mencuci tangan berulang-ulang sampai lecet.
- Menyusun benda menghadap ke arah yang sama atau sesuai jenisnya.
- Memeriksa berulang kali apakah sudah mematikan kompor atau mengunci pintu.
- Mengulangi kata-kata atau kalimat tertentu dalam hati agar tidak salah mengatakannya.
- Mengumpulkan atau menimbun barang-barang, seperti surat atau koran yang tidak terpakai.
Secara umum, tanda-tanda kondisi ini pada anak dan orang dewasa memiliki kemiripan. Namun, pada anak-anak, gejalanya sering kali tidak begitu tampak jelas.
Oleh sebab itu, penting bagi orang tua untuk lebih peka apabila buah hati mereka mulai menunjukkan beberapa tanda yang mengarah pada gangguan ini.
- Sering berganti pakaian karena dianggap sudah kotor.
- Meletakkan barang-barangnya di satu bagian rumah dan akan tersinggung bila dipindahkan.
- Cenderung hanya menggunakan satu toilet tertentu ketika di tempat umum.
- Menggunakan sabun tangan, sabun mandi, atau tisu toilet secara berlebihan.
- Menghindari bersosialisasi dengan teman sebaya dan tidak senang berbagi barang miliknya.
Tipe-tipe OCD
Berikut ini adalah berbagai jenis karakteristik dari individu yang mengalami gangguan obsesif-kompulsif:
Tipe Pemeriksa Berulang
Kelompok ini memiliki kecenderungan untuk memeriksa sesuatu berkali-kali. Mereka merasa tidak tenang sebelum memastikan bahwa suatu tindakan benar-benar telah dilakukan, seperti mengecek pintu yang telah ditutup secara berulang agar yakin bahwa pintu tersebut memang sudah tertutup rapat.
Tipe Pencinta Kebersihan Berlebih
Individu dengan tipe ini sangat terobsesi terhadap kebersihan. Mereka merasa lingkungan sekitar selalu penuh kotoran dan menghindari kontak fisik dengan orang lain karena takut terpapar kuman.
Obsesi mereka terhadap sanitasi membuat mereka terus-menerus membersihkan barang atau bagian tubuh tertentu secara berlebihan.
Tipe Penata Sempurna
Mereka yang masuk dalam kategori ini sangat memperhatikan keteraturan dan kerapian. Perasaan tidak nyaman akan muncul ketika benda-benda di sekitarnya tidak tertata sesuai urutan atau warna.
Misalnya, mereka akan memisahkan makanan berdasarkan jenisnya di piring agar tidak tercampur satu sama lain.
Tipe Pemikir Obsesi
Tipe ini dicirikan dengan adanya pikiran-pikiran yang terus muncul dan mendesak untuk dituruti demi mencapai kesempurnaan.
Contohnya, mereka mungkin merasa tidak tenang jika harus duduk di tempat tertentu yang diyakini membawa sial, atau hanya mengenakan pakaian dengan warna tertentu karena alasan pribadi yang tidak rasional.
Mereka juga kerap mengikuti ritual kecil dengan sangat spesifik, seperti mencuci rambut dengan jumlah bilasan tertentu.
Tipe Pengumpul Barang Tak Terpakai
Kategori ini mencakup individu yang sulit membuang barang-barang, meski tidak lagi berguna.
Mereka terus menyimpan benda-benda yang seharusnya sudah dibuang karena merasa memiliki keterikatan emosional atau ketakutan akan kehilangan sesuatu yang penting.
Diagnosis OCD
Beberapa tahapan yang dilakukan untuk mengetahui apakah seseorang mengalami gangguan ini dimulai dengan pemeriksaan kondisi fisik secara menyeluruh.
Tujuannya adalah untuk mengeliminasi kemungkinan penyakit lain yang memiliki gejala serupa, sekaligus mengevaluasi adanya kondisi medis yang berkaitan.
Tahap berikutnya mencakup uji laboratorium, seperti pemeriksaan darah lengkap, analisis fungsi kelenjar tiroid, serta deteksi konsumsi alkohol atau zat adiktif lainnya.
Setelah itu, dilakukan penilaian psikologis yang mencakup pembahasan mendalam mengenai pola pikir, kondisi emosional, keluhan yang dirasakan, dan kebiasaan perilaku seseorang.
Untuk menetapkan diagnosis secara pasti, digunakan panduan dari buku panduan resmi yang diterbitkan oleh Asosiasi Psikiatri Amerika, yaitu edisi kelima dari klasifikasi Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-5).
Pengobatan OCD
Meskipun tidak ada metode yang benar-benar menyembuhkan gangguan ini secara permanen, gejala yang ditimbulkan tetap bisa dikendalikan agar tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Penanganan kondisi ini umumnya mencakup pemberian obat-obatan, terapi psikologis, atau kombinasi keduanya.
Banyak individu menunjukkan perbaikan setelah menjalani pengobatan, meskipun sebagian lainnya masih tetap mengalami gejala meski telah ditangani.
Dalam beberapa kasus, penderita juga memiliki gangguan lain yang menyertai, seperti kecemasan berlebih, depresi, atau gangguan citra tubuh, yaitu kondisi ketika seseorang merasa bagian tubuhnya tampak tidak wajar meski sebenarnya tidak ada yang salah.
Adanya gangguan tambahan ini perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan langkah terapi yang tepat. Beberapa jenis obat yang umum diberikan antara lain adalah golongan SRI dan SSRI.
Selain itu, jenis antidepresan trisiklik—terutama dari kelompok lama—juga terbukti bisa membantu pada sebagian penderita, baik dewasa maupun anak-anak.
Jika respons terhadap obat tersebut kurang optimal, terapi tambahan menggunakan antipsikotik kadang memberikan hasil yang lebih baik.
Di luar pengobatan medis, pendekatan psikoterapi juga banyak digunakan untuk mengatasi kondisi ini, termasuk pada anak-anak. Salah satu pendekatan yang terbukti efektif adalah terapi perilaku kognitif atau CBT.
Metode ini melatih penderita untuk memahami pola pikir dan kebiasaan yang mengarah pada perilaku yang tidak diinginkan, lalu mengubahnya secara bertahap.
Salah satu bentuk CBT yang disebut Exposure and Response Prevention atau EX/RP, dinilai cukup berhasil dalam menurunkan frekuensi perilaku berulang, bahkan pada pasien yang sebelumnya tidak merespons pengobatan berbasis SRI.
Tujuan utama dari semua metode penanganan ini adalah mengontrol kemunculan gejala dan menurunkan intensitasnya. Pilihan terapi disesuaikan dengan kondisi masing-masing individu.
Dalam beberapa kasus, terapi perlu dijalani dalam jangka panjang atau bahkan seumur hidup. Kombinasi antara psikoterapi dan penggunaan obat biasanya menjadi pilihan utama yang disesuaikan dengan tingkat keparahan yang dialami pasien.
Pencegahan OCD
Memang tidak ada metode yang benar-benar menjamin untuk menghindari munculnya gangguan ini.
Namun, penanganan yang dilakukan sejak dini dapat membantu mencegah kondisi tersebut berkembang lebih parah dan mengacaukan aktivitas harian seseorang.
Bagaimana Anak OCD Bersosialisasi dengan Lingkungan Sekitarnya?
Secara umum, rasa cemas berlebihan dapat mendorong anak untuk terus melakukan tindakan tertentu yang dianggap mampu memberikan rasa aman.
Jika tidak segera diarahkan, kondisi ini dapat menyulitkan anak dalam berinteraksi sosial karena ia terlalu khawatir terhadap situasi di sekitarnya. Lantas, bagaimana anak dengan gangguan ini bisa bersosialisasi?
Kuncinya terletak pada peran serta bimbingan dari orang tua. Kehadiran dan dukungan orang tua sangat penting dalam membantu anak mengelola gangguan yang dialaminya.
Saat si kecil mulai menunjukkan kecenderungan melakukan sesuatu secara berulang, ayah atau ibu bisa mencoba memberikan penjelasan bahwa kekhawatiran tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi.
Contohnya, ketika anak merasa tangannya masih kotor dan terus mencucinya berulang kali, orang tua bisa meyakinkannya bahwa satu kali mencuci sudah cukup untuk membuat tangannya bersih dari kuman atau kotoran.
Kapan Harus ke Dokter?
Apabila kondisi ini mulai mengganggu rutinitas harian dan menimbulkan kesulitan dalam menjalani aktivitas, disarankan untuk segera berkonsultasi dengan tenaga medis guna memperoleh penanganan yang tepat.
Sebagai penutup, memahami pengertian OCD membantu kita lebih peduli terhadap kesehatan mental dan pentingnya dukungan bagi mereka yang mengalaminya dalam kehidupan sehari-hari.