JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali merilis Harga Indeks Pasar (HIP) terbaru untuk dua jenis bahan bakar nabati (BBN) utama, yaitu bioetanol dan biodiesel, yang berlaku selama bulan Juli 2025. Penetapan harga ini mencerminkan dinamika pasar dan kondisi bahan baku yang fluktuatif, serta nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mengalami perubahan selama beberapa bulan terakhir.
Harga bahan bakar nabati yang ditetapkan oleh ESDM ini menjadi perhatian penting bagi pelaku industri energi, produsen bahan baku, serta konsumen akhir. Biofuel, sebagai bagian dari energi terbarukan, memiliki peran strategis dalam mendukung program transisi energi nasional yang tengah digalakkan pemerintah. Harga yang kompetitif diharapkan mampu mendorong pemanfaatan bioetanol dan biodiesel sebagai alternatif bahan bakar fosil sekaligus menekan emisi karbon.
Untuk bioetanol, harga yang berlaku pada Juli 2025 mengalami penurunan cukup signifikan dibandingkan bulan sebelumnya. HIP bioetanol ditetapkan pada Rp10.832 per liter, turun dari angka Rp13.356 per liter pada Juni 2025. Penurunan ini terutama dipengaruhi oleh menurunnya harga bahan baku utama bioetanol, yaitu tetes tebu, serta kurs rupiah yang digunakan dalam konversi biaya produksi.
ESDM menggunakan formula khusus untuk menghitung HIP bioetanol, yang dirumuskan sebagai berikut: HIP sama dengan harga rata-rata tetes tebu di Kantor Pemasaran Bersama (KPB) selama tiga bulan terakhir dikalikan dengan faktor konversi 4,125 kg per liter, ditambah biaya konversi sebesar US$0,25 per liter. Dalam periode 15 Maret hingga 14 Juni 2025, harga rata-rata tetes tebu tercatat sebesar Rp1.636 per kilogram. Selain itu, nilai tukar rupiah yang digunakan adalah rata-rata kurs tengah Bank Indonesia untuk periode yang sama, yakni Rp16.339 per dolar AS.
Sementara itu, untuk biodiesel, penetapan HIP Juli 2025 hanya mengalami penurunan tipis dibanding bulan sebelumnya. Harga ditetapkan sebesar Rp12.874 per liter ditambah ongkos angkut, dibandingkan Rp12.890 per liter plus ongkos angkut pada bulan Juni 2025. Penetapan harga biodiesel ini juga menggunakan rumus tersendiri yang mengacu pada harga crude palm oil (CPO) rata-rata di KPB ditambah biaya konversi tetap US$85 per metrik ton, dikalikan faktor konversi 870 kg per meter kubik, serta ongkos angkut dari lokasi produksi ke titik distribusi.
Nilai tukar rupiah yang digunakan untuk menghitung HIP biodiesel bulan ini adalah Rp16.303 per dolar AS. Ongkos angkut sendiri diatur secara terpisah dalam Lampiran I Keputusan Menteri ESDM Nomor 153.K/EK.05/DJE/2024, yang secara spesifik mengatur biaya distribusi bahan bakar nabati dari lokasi produksi ke titik penyaluran. Faktor ongkos angkut ini menjadi variabel penting dalam harga akhir biodiesel yang diterima konsumen.
Kementerian ESDM menegaskan bahwa seluruh perhitungan HIP BBN dilakukan secara transparan dan berdasarkan regulasi yang berlaku. Untuk bioetanol, acuan yang digunakan mengacu pada keputusan resmi pemerintah melalui formulasi yang menggabungkan harga bahan baku dan nilai tukar mata uang. Sedangkan untuk biodiesel, penghitungan harga sudah diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 3.K/EK.05/DJE/2024 yang mengatur penentuan harga jual biodiesel yang dicampurkan ke dalam minyak solar.
Penyesuaian harga ini mencerminkan upaya pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara biaya produksi yang terus berfluktuasi dan daya beli konsumen yang perlu tetap diperhatikan, terutama di tengah dinamika pasar bahan baku global serta perubahan nilai tukar rupiah yang belum stabil. Penurunan harga bioetanol yang cukup besar menjadi sorotan, karena turun hampir Rp2.500 per liter, sementara harga biodiesel relatif stabil dengan penurunan hanya beberapa belasan rupiah saja.
Dari sisi kebijakan, pengendalian harga bahan bakar nabati merupakan bagian dari strategi besar pemerintah untuk memperkuat transisi energi nasional menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Bioetanol dan biodiesel sebagai energi terbarukan diharapkan dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil yang selama ini dominan dalam konsumsi energi nasional. Selain itu, pengembangan biofuel juga mendukung komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi karbon yang merupakan bagian dari agenda global mitigasi perubahan iklim.
Pemerintah berharap dengan harga bioetanol dan biodiesel yang lebih kompetitif, akan terjadi peningkatan penggunaan bahan bakar nabati di berbagai sektor. Industri dan transportasi umum di dalam negeri diharapkan dapat memanfaatkan biofuel sebagai campuran bahan bakar utama. Secara teknis, penggunaan bioetanol dan biodiesel telah diintegrasikan dalam campuran bahan bakar seperti program B30 (biodiesel 30 persen) dan E5 (etanol 5 persen) yang sudah berjalan di berbagai wilayah di Indonesia.
Dengan adanya penetapan HIP secara rutin setiap bulan, pemerintah juga memberikan kepastian harga kepada seluruh pelaku di rantai pasok biofuel, mulai dari petani tebu dan produsen crude palm oil (CPO), hingga produsen dan distributor bahan bakar nabati. Kepastian harga ini sangat penting untuk mendukung pengembangan industri biofuel yang sehat dan menarik investasi jangka panjang di sektor energi terbarukan.
Lebih jauh, harga bioetanol dan biodiesel yang baru akan menjadi acuan penting dalam pengaturan distribusi bahan bakar nabati ke seluruh wilayah Indonesia. Baik melalui lembaga penyalur resmi maupun untuk campuran dalam produk BBM bersubsidi maupun nonsubsidi. Langkah ini diharapkan dapat menjaga ketersediaan bahan bakar terbarukan yang andal serta menekan impor bahan bakar fosil.
Penyesuaian harga yang dilakukan oleh ESDM juga merupakan sinyal kepada pelaku industri dan investor bahwa pemerintah konsisten mengelola sektor energi dengan cara yang transparan dan profesional. Hal ini diharapkan dapat mendorong peningkatan investasi dalam teknologi dan infrastruktur biofuel, memperkuat kemandirian energi nasional, serta mendukung pertumbuhan ekonomi hijau yang berkelanjutan.
Kesimpulannya, penetapan harga baru bioetanol dan biodiesel oleh ESDM di bulan Juli 2025 mencerminkan respons pemerintah terhadap kondisi pasar dan bahan baku. Penurunan harga bioetanol cukup signifikan, sedangkan biodiesel relatif stabil, memberikan pilihan harga yang kompetitif di pasar. Kebijakan ini menjadi salah satu langkah penting dalam mendukung transisi energi nasional yang ramah lingkungan, memperkuat ketahanan energi, serta mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia secara berkelanjutan di Indonesia.