Zohran Mamdani: Wajah Baru yang Mengguncang Panggung Politik Amerika

Senin, 07 Juli 2025 | 11:12:24 WIB
Zohran Mamdani: Wajah Baru yang Mengguncang Panggung Politik Amerika

JAKARTA - Di saat panggung politik Amerika kian terasa stagnan—dikuasai oleh elite lama, penantang dari pemodal besar, dan perseteruan dua kutub yang tak banyak berbeda—muncul kisah yang benar-benar segar. Zohran Mamdani, seorang pemuda berusia 33 tahun, sosialis demokrat, muslim, dan keturunan imigran, muncul tiba-tiba dengan cara yang mengejutkan dan langsung merubah lanskap politik Negeri Paman Sam sejak 24 Juni lalu.

Kisah Mamdani adalah sebuah kisah tentang keberanian melawan sistem lamunan. Sebagai sosok yang melawan arus, ia tidak lahir dari barisan politisi profesional, melainkan dari keluarga keturunan imigran Bangladesh dan tumbuh di lingkungan kelas pekerja Queens, New York. Pendidikan formalnya ia dapat dari Columbia University dan Cornell University, namun faktanya ia menentukan langkahnya sendiri di ruang publik, dengan fokus isu-isu yang dekat dengan rakyat kecil.

Ketika banyak politisi muda memilih mengikuti jalan mainstream, Mamdani menjadikan dirinya alternatif nyata. “Sosialis demokrat, muslim, dan keturunan imigran” bukan sekadar identitas belaka, tetapi landasan politik dan kekuatan kampanyenya. Tidak menghindar dari afiliasi tersebut, ia memanfaatkannya untuk membangun koneksi dengan kelompok marginal yang sering tidak dianggap: pekerja gig economy, imigran tanpa dokumen lengkap, komunitas Muslim, dan generasi muda progresif.

Salah satu momen paling dramatis terjadi pada 24 Juni ketika Mamdani sukses menumbangkan petahana progresif Cynthia Nixon dalam pemilihan calon legislatif. Nixon adalah figur terkenal: aktris terkenal, aktivis LGBTQ+, dengan dukungan kuat dari para donatur dan organisasi. Namun, Mamdani mengungguli Nixon di wilayah pemilih muda dan komunitas minoritas, lewat pesan kampanye yang lebih radikal: kampanye perumahan layak, reformasi peradilan pidana, perawatan kesehatan universal, dan regulasi gig economy. Kemenangannya menunjukkan bahwa suara akar rumput masih punya kekuatan—meski bertemu elite yang mapan.

Keberhasilan kampanye ini menjadi simbol perubahan paradigma politik. Politisi mapan biasanya lihai dalam menjual diri sebagai perubahan, tetapi cara mereka membiayai kampanye tetap bergantung pada korporasi besar. Mamdani sebaliknya—kampanyenya bergantung pada donasi kecil-kecilan dari konstituen lokal. Strateginya berbasis komunitas, bukan iklan besar atau lobi politisi profesional. Inilah model politik baru yang berangkat langsung dari suara publik, bukan dari kepentingan struktur dana berkepentingan.

Lebih dari itu, identitas Mamdani sebagai muslim dan keturunan imigran memberi makna simbolis tersendiri. Meskipun AS adalah negara plural, representasi Muslim dalam lembaga kenegaraan masih sangat terbatas. Dengan keberanian mendeklarasikan identitasnya dan menyuarakan isu-isu marginal, Mamdani memecah tabu lama dan menegaskan bahwa pemerintahan negara ini juga berbicara Bahasa komunitas yang selama ini dipinggirkan.

Kemenangan tersebut bukan sekadar angka di kertas suara. Di Williamsburg, di Queens—daerah yang menjadi basis Mamdani—respon komunitas sangat antusias. Warga memandangnya sebagai cerminan harapan bahwa suara mereka dihargai: buruh restoran, pengemudi rideshare, ibu-ibu host keluarga migran sementara, dan mahasiswa bercita-cita merdeka, semua melihat dirinya terwakili. Ini bukan kemenangan personal semata, tetapi momentum partisipasi politik yang inklusif.

Namun keberhasilan ini bukan tanpa tantangan. Mamdani bukan anggota partai mapan, ia belum dibekali pengalaman legislatif. Kritik datang dari kalangan moderat maupun konservatif. Kritikus menilai platformnya terlalu radikal untuk dijadikan kebijakan konkret di Dewan Perwakilan Negara Bagian New York. Ada yang menyebut harga rumah naik di Brooklyn, dan pengetatan regulasi menjadi ancaman bagi bisnis kecil. Tantangan ini nyata—mewujudkan janji kampanye di bangku legislatif bukan hal mudah.

Tetapi Mamdani sudah bersiap. Ia merancang agenda legislatif yang konkrit—misalnya mendukung cakupan perawatan kesehatan berdasarkan prinsip “Medicaid for All”, pajak progresif yang mendanai layanan sosial, dan regulasi pekerja gig yang memberi jaminan dan perlindungan. Ia juga berbicara energi hijau serta teknologi transit yang ramah lingkungan—tema penting di area kotanya. Dengan pendekatan jangka panjang ini, ia bukan sekadar pilihan simbolik, melainkan calon pembuat kebijakan yang siap bekerja.

Tumbangnya politik lama oleh figur baru seperti Mamdani memberi efek domino pada pemilu dan pemilihan tingkat lokal serta pemilihan calon kandidat di seluruh AS. Beberapa kandidat muda progresif kini mencontoh modelnya—kampanye komunitas berbasis suara grassroots, narasi identitas yang tegas, dan kebijakan agenda keadilan sosial sebagai prioritas. Ini memberi harapan pada mereka yang selama ini tidak melihat diri mereka di ruang politik mainstream.

Di tengah gegap gempita dan gemuruh dukungannya, Zohran Mamdani menjadi wajah baru yang menegaskan: AS harus lebih dari agenda partisan yang terkunci, harus membuka ruang untuk identitas non-tradisional, harus memberi ruang kepada suara yang selama ini tersisih. Dan di panggung politik mapan itu, namanya kini ada di deretan kandidat yang memicu perubahan—dan membuktikan bahwa gerakan muda, gig workers, imigran, dan marginalisasi punya kekuatan politik nyata.

Karena pilihan Mamdani bukan hanya soal bahasa kampanye yang memikat, tetapi tentang representasi. Saat seorang imigran muslim bisa memenangkan pemilihan melawan elite politik dan menempatkan isu marginal di pusat perhatian, itu berarti demokrasi berjalan sesuai princsipnya: semua suara dihitung, semua warga memperoleh ruang politik. Ini bukan kisah biasa—ini kisah politik baru dari jantung demokrasi, dan Zohran Mamdani adalah pioner yang memecahkan kebuntuan.

Terkini