Apa itu exhibitionism? Mungkin kamu pernah lihat di film, ada pria tiba-tiba muncul lalu pamer organ intim ke perempuan yang sedang lewat.
Atau bahkan, kamu sendiri pernah mengalami langsung kejadian tidak menyenangkan seperti ini?
Perilaku semacam ini dikenal dengan istilah exhibitionism atau kecenderungan untuk mempertontonkan alat kelamin di depan orang lain tanpa persetujuan mereka, yang tentu saja membuat korbannya merasa terganggu, jijik, bahkan bisa mengalami trauma psikologis yang berkepanjangan.
Dalam banyak kasus, pelaku exhibitionism umumnya adalah pria yang sengaja menargetkan perempuan sebagai korban, dan aksinya bisa terjadi baik di tempat sunyi maupun di keramaian.
Meski begitu, tak menutup kemungkinan pelakunya adalah perempuan. Sebagian orang mungkin langsung menilai pelaku sebagai orang yang tidak waras, namun anggapan itu tidak sepenuhnya tepat.
Perlu dibedakan antara perilaku exhibitionism biasa dan gangguan exhibitionism yang bersifat klinis. Keduanya memang menunjukkan kecenderungan memperlihatkan organ vital di ruang publik, namun latar belakang psikologisnya bisa berbeda.
Exhibitionism sendiri masuk dalam kategori gangguan mental, lebih tepatnya termasuk ke dalam jenis paraphilia, yakni dorongan atau obsesi terhadap aktivitas seksual yang dianggap menyimpang dari norma umum.
Hal ini menimbulkan sejumlah pertanyaan: apa itu exhibitionism secara lebih dalam? Seperti apa tingkatan kelainan ini dalam dunia psikologi? Apakah ada terapi atau penanganan medis yang bisa membantu? Dan, bagaimana cara kita merespons ketika menghadapi situasi seperti ini?
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang bentuk perilaku ini, termasuk cara menghadapinya, penting bagi kita untuk memahami seluruh aspek di balik fenomena exhibitionism tersebut.
Apa Itu Exhibitionism?
Pada dasarnya, exhibitionism merupakan bagian dari tindakan asusila yang juga termasuk ke dalam gangguan mental.
Simon mendefinisikan perilaku cabul sebagai tindakan yang berkaitan erat dengan aspek seksual, dilakukan secara sengaja demi mendapatkan kepuasan, dan bertentangan dengan norma moral yang berlaku.
Aksi tak senonoh ini tidak hanya terjadi antar sesama orang dewasa, tetapi juga antara orang dewasa dan anak-anak, yang tentu sangat ditolak oleh norma agama maupun hukum negara.
Definisi perbuatan cabul bahkan telah dimuat dalam dokumen resmi dari The National Center on Child Abuse and Neglect di Amerika Serikat.
Mereka mengkategorikannya sebagai “sexual assault” yang mencakup segala bentuk interaksi atau kontak seksual antara orang dewasa dan anak, di mana anak digunakan untuk memenuhi hasrat seksual oleh pelaku yang berada dalam posisi dominan.
Bentuk-bentuk tindakan cabul sangat beragam, mulai dari menyentuh secara tidak pantas, menyuruh anak atau orang lain menonton konten pornografi, memanfaatkan mereka untuk membuat konten vulgar, hingga memperlihatkan organ kelamin kepada korban.
Aksi terakhir inilah yang dikenal sebagai apa itu exhibitionism, yakni perilaku menyimpang yang melibatkan pameran alat kelamin secara sengaja kepada orang lain.
Sebagaimana telah disebutkan, tindakan seperti ini sangat bertentangan dengan hukum dan telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 289 sampai 296.
Pelakunya bisa dikenai hukuman penjara hingga 15 tahun. Namun begitu, kenyataannya, perilaku semacam ini masih sering dianggap sepele dan tetap saja terjadi di berbagai tempat.
Secara umum, exhibitionism termasuk dalam bentuk perilaku seksual menyimpang yang ditandai dengan kecenderungan untuk memperlihatkan alat kelamin kepada orang lain tanpa persetujuan mereka.
Pelakunya umumnya adalah pria, meskipun bukan berarti wanita tidak bisa melakukannya. Pada pria, rasa puas muncul saat melihat ekspresi terkejut atau takut dari korbannya—biasanya perempuan.
Sedangkan pada wanita, rasa puas bisa timbul jika melihat korban bereaksi terangsang ketika mereka dengan sengaja menunjukkan bagian tubuh tertentu seperti payudara atau pantat.
Mereka yang memiliki kecenderungan ini merasa terpenuhi secara seksual ketika mendapatkan reaksi dari orang lain terhadap tindakan yang mereka lakukan.
Bahkan tak jarang, tindakan ini dilakukan di tempat umum yang ramai, bukan hanya di lokasi yang sepi. Dalam banyak kasus, aksi ini juga disertai dengan masturbasi, terutama ketika pelakunya adalah laki-laki.
Karena menimbulkan rasa trauma dan ketakutan berkepanjangan pada korbannya, exhibitionism diklasifikasikan sebagai bentuk kekerasan seksual yang juga merupakan pelanggaran hukum pidana.
Dalam KUHP Pasal 281, disebutkan bahwa siapa pun yang secara sengaja dan terbuka melanggar norma kesusilaan di depan orang lain dapat dikenai hukuman penjara hingga dua tahun delapan bulan atau denda.
Sebagai bentuk penyimpangan seksual yang dikenal dengan istilah gangguan paraphilia, exhibitionism biasanya hanya terbatas pada aksi memperlihatkan alat kelamin tanpa melibatkan kontak fisik langsung.
Menurut informasi dari hellosehat, sekitar 2-4% pelaku exhibitionism adalah laki-laki, meskipun kasus perempuan juga pernah terjadi.
Salah satu contoh nyatanya adalah penangkapan seorang wanita bernama Siskaeee yang sempat viral karena memperlihatkan alat kelaminnya di sebuah bandara pada akhir 2021 lalu.
Diagnosis Pelaku Exhibitionism
Sejatinya, seseorang yang mengalami gangguan seksual ini bisa dikenali secara medis, asalkan memenuhi kondisi berikut:
- Timbul hasrat seksual yang kuat dalam bentuk fantasi, dorongan, atau aksi mempertontonkan alat kelamin secara berulang selama kurang lebih 6 bulan.
- Ada dorongan dan perilaku untuk menampilkan organ intim serta melakukan aktivitas seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak lain.
Perilaku ini dapat menimbulkan gangguan yang berdampak pada hambatan dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Tingkatan Exhibitionism
Seseorang dengan dorongan exhibitionistik memiliki kecenderungan untuk mempertontonkan bagian intim tubuhnya kepada individu lain secara sembarangan, tanpa memperhatikan siapa sasarannya.
Mereka tidak merasa khawatir terhadap penilaian masyarakat, karena yang terpenting bagi mereka adalah memuaskan dorongan seksual melalui aksi tersebut.
Dilihat dari Sasaran Aksinya
Jika ditinjau dari siapa target perilaku ini, ada beberapa tingkatan yang bisa dijelaskan:
- Anak-Anak yang Belum Memasuki Masa Pubertas
Pada tahap ini, pelaku akan merasa puas secara seksual jika berhasil menunjukkan alat kelaminnya kepada anak-anak yang masih berada dalam usia dini, sebelum masa pubertas.
Mereka sering kali beranggapan bahwa anak-anak tidak akan menimbulkan reaksi hukum atau sosial, padahal tindakan semacam ini tergolong sebagai tindak pidana.
Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 82 tentang perlindungan terhadap anak, yang menyatakan bahwa siapa pun yang dengan sengaja melakukan tindakan kekerasan, ancaman, manipulasi, tipu daya, atau membujuk anak agar terlibat dalam perbuatan asusila akan dikenakan hukuman penjara paling lama 15 tahun dan minimal 3 tahun, serta denda yang dapat mencapai tiga ratus juta rupiah, dengan batas terendah enam puluh juta rupiah.
- Orang Dewasa Sebagai Target
Pada tingkatan ini, pelaku akan memperoleh kepuasan seksual ketika berhasil mempertontonkan alat kelaminnya kepada individu dewasa.
Biasanya, lokasi aksinya bervariasi, mulai dari tempat yang sepi hingga kawasan yang ramai. Sasaran mereka pun bersifat acak, seperti orang yang kebetulan melintas.
- Gabungan antara Anak Pra-Pubertas dan Orang Dewasa
Pada level ini, pelaku tidak membedakan sasaran berdasarkan usia. Mereka bisa saja merasa terpuaskan ketika sasarannya adalah anak kecil maupun orang dewasa.
Reaksi seperti ketakutan atau keterkejutan dari korban justru meningkatkan gairah dan fantasi seksual pelaku.
Dilihat dari Pola Aksinya
Perilaku ini tidak hanya terbatas pada memperlihatkan organ intim saja, namun juga bisa berupa menunjukkan aktivitas seksual secara langsung kepada orang lain secara sembarangan.
- Anasyrma
Dalam pola ini, pelaku melakukan aksi dengan cara mengangkat roknya ketika tidak mengenakan pakaian dalam, demi memancing perhatian orang lain.
- Martymachlia
Pada jenis ini, pelaku tidak hanya menunjukkan bagian tubuh, tetapi juga mempertontonkan kegiatan seksual yang sedang dilakukan, seperti masturbasi atau hubungan intim.
- Candaulism
Dalam bentuk ini, pelaku justru melibatkan pasangan mereka untuk diperlihatkan kepada orang lain. Mereka merasa puas ketika melihat orang lain memberikan reaksi terhadap tubuh pasangannya.
- Telephone Scatologia
Pada kasus ini, pelaku melakukan panggilan telepon dan membicarakan hal-hal bernada seksual tanpa izin dari lawan bicaranya, sehingga termasuk dalam bentuk pelecehan yang dilakukan lewat media suara.
Faktor Penyebab Terjadinya Exhibitionism
Banyak faktor yang memengaruhi munculnya perilaku exhibitionistik, dan sebagian besar berkaitan erat dengan kondisi psikologis serta lingkungan sosial tempat individu tersebut tumbuh.
Di bawah ini adalah sejumlah penyebab yang dapat mendorong seseorang mengalami gangguan perilaku seksual seperti exhibitionism:
Kondisi Psikologis yang Terganggu
Gangguan psikologis dapat bermula dari masa kecil yang tidak berkembang secara sehat, khususnya bila seseorang dibesarkan dalam lingkungan keluarga dengan pola asuh yang tidak seimbang.
Misalnya, memiliki ibu yang terlalu dominan atau terlalu mengontrol, bisa menyebabkan anak kesulitan menjalin hubungan emosional dengan lawan jenis saat dewasa.
Ketidakmampuan untuk membangun kedekatan emosional ini dapat menjadi salah satu akar munculnya perilaku exhibitionistik.
Pelaku exhibitionism juga sering kali menunjukkan ciri-ciri gangguan narsistik, yaitu kecenderungan merasa dirinya penting dan pantas menjadi pusat perhatian.
Dorongan untuk terlihat menonjol dan berbeda ini bisa menjelaskan motivasi mereka untuk mempertontonkan tubuh di depan orang lain. Beberapa gangguan mental yang sering berkaitan dengan perilaku ini antara lain:
- Ketergantungan terhadap aktivitas seksual yang ekstrem
- Sikap yang cenderung antisosial
- Ketertarikan seksual terhadap anak-anak atau remaja (pedofilia)
- Ketergantungan pada alkohol atau zat adiktif lainnya
Pengaruh dari Lingkungan Sosial
Kondisi sosial di lingkungan tempat tinggal maupun sekolah memainkan peran besar dalam pembentukan kepribadian dan perilaku seseorang.
Dalam banyak kasus, individu dengan kecenderungan exhibitionistik dibesarkan di lingkungan yang tidak memberinya kasih sayang atau empati. Hal ini bisa menyebabkan kekosongan emosional dan kebutuhan untuk mencari perhatian secara ekstrem.
Selain pola asuh yang terlalu mengontrol, bentuk perlakuan lain seperti hinaan, kekerasan verbal, kritik berlebihan, hingga tindakan mempermalukan secara terus-menerus di masa kecil dapat meninggalkan luka psikologis mendalam.
Trauma yang tak terselesaikan ini bisa berkembang menjadi dorongan narsistik saat dewasa, di mana seseorang merasa sangat membutuhkan validasi dari orang lain.
Akibatnya, muncullah perilaku ekstrem seperti ingin dipandang dan dikagumi melalui cara-cara yang menyimpang.
Pengobatan pada Seorang Exhibitionism
Lalu, apakah individu dengan kecenderungan exhibitionistik memiliki kemungkinan untuk pulih? Jawabannya adalah bisa, meskipun prosesnya membutuhkan waktu dan penanganan yang tidak singkat.
Terdapat beberapa metode yang dapat diterapkan untuk menangani gangguan ini, mulai dari pendekatan terapi hingga penggunaan obat-obatan medis tertentu.
Terapi Psikologis (Psikoterapi)
Pendekatan psikoterapis yang biasa digunakan adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT), atau terapi perilaku kognitif.
Tujuan dari terapi ini adalah untuk menggali akar persoalan yang menjadi pemicu munculnya perilaku menyimpang seperti exhibitionism. Dalam pelaksanaannya, CBT akan mengurai masalah ke dalam lima komponen utama, yaitu:
- Situasi yang memicu
- Pola pikir yang menyertai
- Respons emosional
- Reaksi fisik yang timbul
- Tindakan atau perilaku yang muncul
Melalui pendekatan ini, penderita akan dibantu untuk menyadari bagaimana pikiran dan emosi mereka memengaruhi tindakan, serta diarahkan untuk membentuk respons yang lebih sehat.
Terapi Berbasis Kelompok
Metode lain yang juga diterapkan adalah konseling kelompok, di mana sejumlah individu dengan kecenderungan serupa—biasanya antara 5 hingga 15 orang—berkumpul secara rutin setiap minggu untuk saling berbagi pengalaman dan dukungan.
Meski bagi orang luar hal ini mungkin terdengar aneh, pendekatan ini justru sangat membantu bagi para peserta.
Berinteraksi dengan sesama yang mengalami hal serupa dapat membuka perspektif baru dan menumbuhkan empati, sehingga proses mengendalikan dorongan seksual menyimpang bisa berjalan lebih efektif.
Pemberian Obat-Obatan Medis
Ketika seseorang telah menyadari bahwa dirinya memiliki kecenderungan seksual yang menyimpang, biasanya mereka akan berkonsultasi dengan psikiater.
Dalam situasi seperti ini, dokter bisa meresepkan jenis antidepresan seperti Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI), yang berfungsi untuk menurunkan hasrat seksual dan menekan respons orgasme.
Efektivitas obat ini umumnya berada di kisaran 60 hingga 70 persen. Selain itu, dalam beberapa kasus, psikiater juga dapat memberikan obat hormonal seperti leuprolide atau medroxyprogesterone acetate.
Obat-obatan ini bekerja dengan menurunkan kadar hormon testosteron, yang dikenal sebagai hormon utama dalam mengatur dorongan seksual seseorang.
Cara Menghadapi Tindakan Exhibitionism
Ketika berhadapan langsung dengan orang yang melakukan tindakan exhibitionistik, wajar jika kita merasakan berbagai reaksi emosional, mulai dari kaget, jijik, takut, hingga menangis.
Namun, setelah situasi tersebut berlalu dan pelaku pergi, barulah muncul dampak psikologis yang mendalam, bahkan bisa menimbulkan trauma serius.
Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan ketika kita mengalami kejadian seperti ini di ruang publik? Beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menghadapi perilaku seperti ini antara lain:
- Tetap bersikap tenang dan jangan memberikan tanggapan apa pun. Pelaku exhibitionistik biasanya mencari respons dari korban sebagai bagian dari kepuasannya.
Dengan tidak memberikan reaksi, kamu tidak memenuhi keinginan mereka.
- Tunjukkan sikap cuek atau rasa tidak nyaman. Ekspresi wajah yang menunjukkan ketidaktertarikan atau kekesalan bisa menjadi sinyal bahwa tindakan mereka tidak berdampak sebagaimana yang mereka harapkan.
- Ubah posisi tubuh menjauh dari pelaku atau membelakanginya. Cara ini menunjukkan bahwa kamu tidak memberikan atensi terhadap aksi tidak senonoh tersebut.
- Segera cari tempat aman dan hubungi pihak berwenang, seperti kepolisian. Melaporkan kejadian ini penting agar pelaku bisa ditindak dan tidak mengulangi perbuatannya kepada orang lain.
- Hindari membeku di tempat, mendekati, atau melakukan serangan fisik terhadap pelaku. Tindakan ini justru dapat membahayakan dirimu sendiri.
- Jika pelaku mendekat atau sempat menangkapmu, pura-puralah mengalami kejang. Reaksi semacam ini sering kali membuat pelaku merasa takut dan mundur.
Untuk anak-anak dan remaja, penting diajarkan tindakan tanggap darurat. Salah satu cara yang bisa diterapkan adalah mengajarkan mereka untuk berteriak “kebakaran!” bila mengalami bentuk pelecehan seksual.
Teriakan ini akan menarik perhatian orang-orang di sekitar tanpa harus menjelaskan secara spesifik apa yang sedang terjadi.
Penegakan Hukum Pidana terhadap Pelaku Exhibitionism
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, perilaku exhibitionistik telah menjadi perhatian serius dalam sistem hukum Indonesia.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku secara tegas menyatakan bahwa tindakan ini termasuk dalam kategori pelanggaran pidana.
Bahkan, exhibitionism telah digolongkan sebagai bentuk pelecehan seksual yang melanggar norma kesusilaan di masyarakat.
Salah satu dasar hukum yang menjerat perilaku ini adalah Pasal 36 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang menyatakan:
"Setiap orang yang dengan sengaja mempertontonkan dirinya sendiri atau orang lain dalam suatu pertunjukan atau di tempat umum dengan muatan ketelanjangan, eksploitasi seksual, hubungan seksual, atau unsur pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dapat dikenai hukuman penjara hingga 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda maksimal Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)."
Selain itu, exhibitionism yang melibatkan anak di bawah umur juga termasuk dalam pelanggaran berat berdasarkan hukum perlindungan anak.
Hal ini tertuang dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan perubahan dari UU Nomor 23 Tahun 2002. Ketentuan tersebut berbunyi:
"Setiap orang yang dengan kesengajaan melakukan kekerasan, ancaman kekerasan, paksaan, manipulasi, kebohongan, atau membujuk anak untuk terlibat atau membiarkan terjadi perbuatan asusila, akan dikenai hukuman penjara dengan masa paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun, serta denda maksimal Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan minimal Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)."
Dari dua landasan hukum tersebut, dapat disimpulkan bahwa exhibitionism bukan hanya pelanggaran etika, tetapi juga bentuk kejahatan yang diatur secara jelas oleh undang-undang yang berlaku di Indonesia.
Sebagai penutup, memahami apa itu exhibitionism penting agar kita bisa mengenali, menghindari, dan membantu mencegah perilaku menyimpang yang merugikan secara psikologis.