JAKARTA – Pemerintah Indonesia saat ini tengah berada dalam tahap akhir negosiasi intensif dengan Amerika Serikat (AS) terkait rencana pemberlakuan tarif bea masuk sebesar 32 persen untuk produk-produk asal Indonesia. Langkah ini muncul setelah Presiden AS Donald Trump menyatakan keinginannya untuk menyesuaikan kebijakan perdagangan bilateral dengan Indonesia.
Jika tidak tercapai kesepakatan antara kedua negara hingga 8 Juli 2025, maka tarif tambahan yang diajukan oleh pemerintah AS akan secara otomatis diberlakukan. Hal ini dikhawatirkan dapat memberikan dampak besar terhadap neraca ekspor Indonesia, khususnya untuk produk unggulan seperti tekstil, produk kayu, dan komoditas pertanian.
Sri Mulyani: Komunikasi dengan AS Masih Berjalan Baik
Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia terus mengupayakan solusi terbaik melalui jalur diplomatik dan negosiasi perdagangan. Ia memastikan bahwa komunikasi dengan otoritas perdagangan AS sejauh ini berjalan dalam suasana yang kondusif.
“Kami masih terus melanjutkan negosiasi secara intensif. Komunikasi dengan otoritas perdagangan Amerika Serikat berjalan dengan baik dan positif, terutama setelah kunjungan saya ke Washington DC pada April 2025 lalu,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan, Kamis 26 Juni 2025.
Kunjungan Sri Mulyani ke Washington DC pada April lalu merupakan bagian dari rangkaian dialog ekonomi bilateral yang bertujuan untuk memperkuat kerja sama perdagangan serta mempertahankan akses pasar produk Indonesia di AS.
Tarif 32 Persen Ancam Ekspor Produk Unggulan Indonesia
Rencana AS untuk menetapkan bea masuk 32 persen terhadap produk asal Indonesia dikhawatirkan akan menurunkan daya saing barang ekspor nasional di pasar AS. Produk-produk seperti alas kaki, tekstil, furnitur, produk elektronik, karet, dan hasil pertanian disebut sebagai sektor yang paling terdampak apabila tarif ini diberlakukan.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa ekspor nonmigas Indonesia ke Amerika Serikat selama tahun 2024 mencapai USD 21,8 miliar, menjadikan AS sebagai salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Oleh karena itu, penambahan tarif akan berdampak signifikan terhadap kelangsungan usaha dan tenaga kerja di sektor-sektor terkait.
Ancaman Tarif: Dampak terhadap UMKM dan Tenaga Kerja
Selain perusahaan besar, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) juga dinilai akan terkena dampak langsung dari kebijakan ini. Banyak pelaku UMKM yang menggantungkan penjualan ekspor mereka pada pasar AS, terutama di sektor kerajinan tangan, tekstil, dan olahan makanan.
Direktur Eksekutif Indonesian Exporters Association, Nurlaila Hanifah, menyatakan bahwa pemberlakuan tarif 32 persen akan sangat memberatkan pelaku ekspor dari Indonesia.
“Ini jelas akan menjadi pukulan berat. Biaya produksi akan menjadi tidak kompetitif di pasar AS. Kami berharap pemerintah bisa memperjuangkan kesepakatan yang adil sebelum tenggat waktu,” ujar Nurlaila dalam keterangan tertulis.
Negosiasi Berfokus pada Status GSP dan Ketentuan Perdagangan Adil
Salah satu titik fokus dari perundingan adalah terkait status Generalized System of Preferences (GSP) yang sebelumnya diberikan AS kepada Indonesia. Meski status GSP sempat dihentikan dan kemudian dikembalikan sebagian, diskusi lanjutan terus berputar pada isu perdagangan adil, hak buruh, dan keberlanjutan lingkungan.
Pemerintah AS di bawah administrasi Trump menilai bahwa beberapa kebijakan perdagangan dan ketenagakerjaan di Indonesia belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip fair trade yang menjadi syarat penerima GSP. Di sisi lain, Indonesia menilai bahwa tarif 32 persen terlalu tinggi dan tidak sejalan dengan semangat kerja sama ekonomi yang telah terjalin selama puluhan tahun.
Upaya Diplomasi: Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Turut Bergerak
Selain Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri juga turut dilibatkan dalam upaya negosiasi yang sedang berjalan. Delegasi dari Indonesia telah melakukan pertemuan dengan United States Trade Representative (USTR) di Washington dan Geneva untuk menyampaikan posisi resmi Indonesia.
Direktur Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Arif Putra, menegaskan bahwa pemerintah tidak tinggal diam menghadapi ancaman ini.
“Kita terus menyuarakan pentingnya prinsip perdagangan bebas yang saling menguntungkan. Indonesia tidak melanggar aturan WTO, dan selama ini sudah menunjukkan komitmen tinggi dalam reformasi perdagangan,” ungkap Arif.
Industri Nasional Siapkan Strategi Alternatif
Meski masih berharap pada hasil negosiasi yang positif, pelaku industri di dalam negeri mulai bersiap untuk menghadapi skenario terburuk. Beberapa strategi yang tengah dikaji termasuk diversifikasi pasar ekspor, optimalisasi pasar regional ASEAN, serta peningkatan efisiensi produksi guna menekan biaya.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat, mengungkapkan bahwa industri tekstil akan menjadi salah satu sektor yang paling terdampak oleh kenaikan tarif ini.
“Selama ini ekspor tekstil ke AS menjadi salah satu tulang punggung industri. Kalau tarif 32 persen diberlakukan, kita harus mencari pasar alternatif seperti Uni Emirat Arab, Australia, atau bahkan memperkuat pasar dalam negeri,” kata Ade.
Sri Mulyani: Pemerintah Komit Menjaga Stabilitas Ekonomi
Menanggapi kekhawatiran dari berbagai pihak, Sri Mulyani menyatakan bahwa pemerintah tetap berkomitmen untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional dan melindungi sektor industri yang berorientasi ekspor. Ia memastikan bahwa seluruh kementerian terkait bekerja keras untuk mendapatkan solusi terbaik bagi kepentingan nasional.
“Kita ingin menjaga hubungan baik dengan AS, namun dalam waktu yang sama kita juga harus melindungi kepentingan pekerja dan pelaku usaha nasional,” tegas Sri Mulyani.
Tenggat Semakin Dekat, Harapan Tertuju pada Diplomasi Final
Dengan tenggat waktu negosiasi yang tinggal beberapa hari lagi, yaitu hingga 8 Juli 2025, perhatian publik kini tertuju pada hasil akhir pembicaraan antara dua negara. Apabila tidak tercapai kesepakatan, maka jutaan produk Indonesia yang masuk ke pasar Amerika Serikat berisiko dikenakan tarif yang jauh lebih tinggi.
Pemerintah Indonesia tetap optimis bahwa diplomasi akan menghasilkan hasil yang saling menguntungkan. Namun jika tidak, maka diperlukan langkah cepat untuk mengamankan sektor ekspor dan menjaga pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kami berharap semua pihak tetap tenang dan percaya bahwa pemerintah berusaha maksimal. Hasil negosiasi ini sangat penting untuk masa depan ekonomi kita,” pungkas Sri Mulyani.