JAKARTA – Di tengah dominasi sistem keuangan global yang dikuasai Amerika Serikat, langkah Indonesia mengembangkan sistem pembayaran digital mandiri lewat QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) semakin mendapat perhatian. Meski tampak kecil di mata dunia, dampak inovasi ini sesungguhnya sangat besar, terutama dalam konteks kedaulatan finansial dan kemerdekaan negara berkembang membangun sistemnya sendiri.
QRIS bukan sekadar alat mempermudah transaksi digital, melainkan simbol kebangkitan kemandirian finansial yang dapat menantang dominasi global yang selama ini dipegang oleh jaringan pembayaran internasional berbasis Amerika, seperti Visa dan Mastercard.
Pertumbuhan Pesat QRIS di Indonesia
Sejak resmi diluncurkan oleh Bank Indonesia, QRIS mengalami perkembangan yang luar biasa. Hingga akhir 2024, lebih dari 30 juta merchant telah menggunakan sistem ini, didominasi oleh pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). QRIS menjadi solusi transaksi yang cepat, murah, aman, dan efisien, menjawab kebutuhan digitalisasi keuangan di seluruh lapisan masyarakat.
Di balik kemudahan itu, QRIS menyimpan makna yang lebih dalam sebagai bentuk perlawanan halus terhadap sistem pembayaran global yang selama ini mengendalikan arus keuangan lintas negara. Sistem pembayaran internasional yang didominasi Amerika Serikat kerap membebankan biaya transaksi tinggi dan menciptakan ketergantungan yang membatasi akses keuangan negara-negara berkembang.
Konektivitas Regional yang Kian Kuat
Langkah Indonesia tidak hanya berhenti di dalam negeri. Bank Indonesia aktif memperluas konektivitas QRIS ke negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Hal ini memungkinkan pelancong Indonesia menggunakan QRIS di luar negeri tanpa harus repot menukar uang tunai atau memakai kartu kredit asing.
Bayangkan, pelancong Indonesia yang berkunjung ke Malaysia cukup menggunakan dompet digital dengan QRIS tanpa perlu membawa mata uang asing. Ini bukan hanya soal kemudahan transaksi, melainkan juga pertanda negara berkembang mulai membangun jaringan sistem keuangan yang saling terhubung secara mandiri, memberi alternatif kuat terhadap sistem lama yang didominasi negara maju.
Teknologi Merambah Hingga Pelosok Desa
Fenomena menarik terjadi di daerah pedesaan seperti Desa Kasreman, Kabupaten Ngawi. Seorang penjual pentol keliling yang menjajakan dagangannya dengan sepeda motor sudah mengadopsi QRIS sebagai metode pembayaran. Kode QR dipasang rapi di depan motornya, siap dipindai oleh pelanggan yang membawa aplikasi pembayaran digital.
Di lokasi yang jauh dari hiruk-pikuk ibu kota ini, teknologi digital terbukti sangat bermanfaat dan mampu memberdayakan pelaku usaha mikro. Paradoksnya, saat sebagian negara maju masih meremehkan digitalisasi negara berkembang, justru pelaku usaha kecil di pelosok Indonesia sudah lebih siap menghadapi masa depan tanpa uang tunai.
QRIS memungkinkan pelaku usaha mikro untuk tercatat secara resmi dalam sistem keuangan, transaksi mereka dapat terlacak, dan akses pembiayaan menjadi lebih mudah berkat data transaksi yang jelas. Hal ini mendorong inklusi keuangan yang selama ini sulit dicapai oleh segmen usaha kecil.
Tantangan dan Pentingnya Keberanian
Meski demikian, adopsi teknologi seperti QRIS bukan tanpa tantangan. Masih banyak pelaku usaha yang ragu atau takut mencoba teknologi baru karena keterbatasan pemahaman dan kesiapan sumber daya manusia.
Menurut Dr. Mahameru Rosy Rochmatullah, dosen Sistem Teknologi Informasi Akuntansi di Universitas Muhammadiyah Surakarta, “Kemajuan teknologi tidak bisa kita kendalikan. Kalau kita menunggu SDM-nya paham dulu baru mengikuti teknologi, kita justru akan tertinggal.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa keberanian melangkah dan mencoba terlebih dahulu menjadi kunci sukses transformasi digital. QRIS membuktikan bahwa teknologi dapat diterima luas oleh masyarakat, dan kemandirian finansial tidak harus menunggu dukungan dari negara maju.
Kemandirian Finansial sebagai Jalan Negara Berkembang
QRIS menjadi bukti nyata bahwa negara berkembang bisa membangun jalannya sendiri dalam sistem keuangan digital, dimulai dari hal sederhana warung kopi, penjual pentol, hingga pasar tradisional. Setiap transaksi yang bergeser dari tunai ke digital merupakan langkah penting menuju sistem keuangan yang lebih kuat, transparan, dan mandiri.
Meskipun Amerika Serikat mungkin tidak benar-benar takut terhadap QRIS secara langsung, peningkatan adopsi sistem serupa di berbagai negara bisa secara perlahan mengikis dominasi dolar dan infrastruktur pembayaran global yang dikuasai negara tersebut.
Ketakutan sesungguhnya bukan pada teknologi QRIS itu sendiri, melainkan pada gagasan besar bahwa negara-negara berkembang mampu berdiri sendiri dan mengendalikan sistem keuangan mereka tanpa ketergantungan pada negara maju. Perubahan besar dimulai dari langkah kecil para pelaku usaha di tingkat paling dasar, yang kini dengan percaya diri menggunakan teknologi canggih untuk mengembangkan usahanya.
Dominasi sistem keuangan global oleh negara maju selama ini menjadi tantangan bagi kedaulatan finansial negara berkembang. Namun, dengan inovasi seperti QRIS, Indonesia membuktikan bahwa kemandirian finansial bukan sekadar impian, melainkan kenyataan yang sedang dibangun.
Keberhasilan QRIS dalam menjangkau jutaan merchant, mulai dari kota besar hingga pelosok desa, menunjukkan bahwa digitalisasi keuangan adalah jalan menuju inklusi finansial dan kedaulatan ekonomi. Kolaborasi regional yang semakin erat membuka peluang baru bagi negara berkembang untuk saling terhubung tanpa harus bergantung pada sistem lama.
Inisiatif ini bukan hanya soal teknologi, melainkan simbol perlawanan dan kebangkitan negara berkembang dalam mengukir masa depan ekonomi mereka sendiri. QRIS adalah langkah kecil yang memiliki potensi mengguncang dominasi global dan memperkuat kemandirian finansial Indonesia serta negara-negara serumpun di kawasan.