JAKARTA - Kasus mengejutkan menimpa seorang warga Purwokerto, Jawa Tengah, setelah terungkap bahwa rumah mewah yang dibelinya melalui skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) ternyata tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Peristiwa ini mencuat setelah Hendy Wahyu Saputra, warga Desa Karangrau, Kecamatan Sokaraja, mengajukan penambahan kredit (top up) kepada pihak bank, namun permohonannya ditolak dengan alasan yang mengejutkan: rumah yang dibeli tak memiliki IMB.
Rumah tersebut terletak di kawasan elite Sapphire Mansion, dan dibeli atas nama istri Hendy, Tri Afiyani, pada tahun 2019 dengan nilai transaksi mencapai Rp809.900.000 melalui pembiayaan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Namun, fakta bahwa bangunan tidak memiliki IMB menimbulkan pertanyaan besar tentang kelalaian pihak bank maupun pengembang.
“Kami sangat heran, bagaimana bisa pihak bank meloloskan KPR tanpa adanya IMB? Ini sangat janggal,” ujar Hendy dalam keterangannya kepada media.
Sertifikat Tak Sesuai, IMB Tak Ada
Persoalan tidak berhenti pada ketiadaan IMB saja. Hendy yang kemudian melakukan penelusuran lebih dalam mendapati bahwa sertifikat rumah tersebut memiliki peruntukan yang tidak sesuai. Dalam sertifikat disebutkan bahwa rumah tersebut diperuntukkan untuk rumah sederhana dan rumah sangat sederhana plus. Padahal, secara fisik, rumah yang berada di Sapphire Mansion memiliki karakteristik rumah mewah dengan desain dan fasilitas kelas atas.
Hendy juga menemukan bahwa site plan kawasan Sapphire Mansion telah dicabut sejak 2019 oleh Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) Kabupaten Banyumas. Namun, pembangunan dan penjualan rumah oleh pihak pengembang ternyata tetap berlangsung hingga kini.
“Ini jelas menyalahi aturan. Site plan sudah dicabut, IMB tidak ada, tapi proyek tetap berjalan, dan anehnya bank tetap menyetujui kredit,” kata Hendy dengan nada kecewa.
Satpol PP Pernah Tutup Proyek, Tapi Aktivitas Masih Jalan
Informasi lain yang turut memperkeruh situasi adalah fakta bahwa proyek Sapphire Mansion pernah disegel oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Banyumas karena diduga tidak memenuhi perizinan yang sah. Namun, menurut Hendy, setelah penyegelan dilakukan, pembangunan dan aktivitas penjualan tetap berlanjut seolah tidak ada pelanggaran.
“Saya mendapat informasi dari warga sekitar bahwa Satpol PP sempat menutup proyek itu, tapi faktanya sampai sekarang masih ada aktivitas pembangunan. Ini harus jadi perhatian serius,” ujar Hendy.
Desak Pengembang Terbitkan IMB atau Batalkan Kredit
Merasa dirugikan secara hukum dan finansial, Hendy menuntut pertanggungjawaban dari pengembang untuk segera mengurus dan menerbitkan IMB sesuai dengan kondisi bangunan saat ini. Jika tidak, ia mendesak BRI untuk membatalkan skema kredit tersebut dan mengembalikan seluruh dana yang telah dibayarkan, termasuk uang muka, cicilan, dan bunga.
“Jika IMB tidak diterbitkan, maka saya menuntut pembatalan kredit dan pengembalian seluruh pembayaran yang sudah saya lakukan selama ini,” tegas Hendy.
Laporan ke OJK, Tindakan Dinilai Lamban
Tidak berhenti di situ, Hendy juga telah menyampaikan pengaduan secara resmi kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Purwokerto terkait dugaan pelanggaran prosedur pembiayaan oleh pihak bank. Namun hingga saat ini, ia mengaku belum melihat adanya langkah konkret atau tanggapan serius dari pihak OJK atas laporannya.
“Saya sudah laporkan hal ini ke OJK, tapi belum ada tindakan tegas sampai sekarang. Padahal ini menyangkut perlindungan konsumen,” ujar Hendy dengan nada kecewa.
Sorotan pada Prosedur KPR dan Lemahnya Pengawasan
Kasus ini menimbulkan sorotan tajam terhadap sistem verifikasi dalam proses KPR, khususnya pada tahap pengecekan dokumen legalitas properti. Banyak pihak mempertanyakan bagaimana mungkin sebuah bank besar seperti BRI bisa meloloskan skema pembiayaan rumah mewah tanpa adanya IMB maupun kejelasan peruntukan dalam sertifikat.
Praktik seperti ini dinilai sangat merugikan konsumen, sebab masyarakat yang menggunakan fasilitas KPR umumnya sangat bergantung pada validitas dokumen dari pihak pengembang dan ketelitian bank dalam proses appraisal.
Menurut pengamat properti dan perbankan, Veronica Lestari, seharusnya bank wajib menolak pembiayaan jika properti yang diajukan tidak memiliki kelengkapan izin, termasuk IMB.
“Bank tidak hanya sekadar menilai harga dan kemampuan membayar nasabah, tapi juga harus mengecek legalitas aset. Jika tidak ada IMB, semestinya kredit tidak bisa diproses,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa kasus semacam ini bisa menjadi pintu masuk bagi aparat penegak hukum dan regulator untuk mengevaluasi proses KPR dan pengawasan terhadap pengembang nakal.