Rukun asuransi syariah memiliki peran penting dalam memastikan bahwa produk ini sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.
Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar, Indonesia mengakomodasi kebutuhan masyarakatnya melalui produk asuransi syariah.
Produk ini dirancang untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi mereka yang ingin memastikan perlindungan finansial dengan cara yang sesuai ajaran Islam.
Dalam penerapannya, rukun pada asuransi syariah menjadi pedoman utama yang membedakannya dari asuransi konvensional.
Mari kita bahas lebih lanjut mengenai konsep asuransi syariah, hukumnya, serta rukun asuransi syariah yang wajib dipahami oleh masyarakat yang tertarik dengan produk ini.
Apa Itu Asuransi Syariah?
Menurut Fatwa DSN MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Asuransi Syariah, asuransi syariah dapat dipahami sebagai suatu bentuk usaha yang berlandaskan pada prinsip tolong-menolong dan saling melindungi di antara sejumlah pihak atau individu.
Usaha ini dilakukan melalui investasi dalam bentuk aset, yang dikenal dengan istilah tabarru, yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap risiko tertentu dengan menggunakan akad yang sesuai dengan prinsip syariah.
Karena berbasis syariah, akad dalam asuransi syariah harus bebas dari elemen-elemen yang dilarang dalam Islam, seperti gharar (ketidakjelasan), maisir (perjudian), zhulm (ketidakadilan), risywah (suap), barang haram, maksiat, serta riba.
Asuransi syariah, yang juga dikenal dengan istilah takaful, tadhamun, atau ta’min, merupakan sebuah usaha saling tolong-menolong dan melindungi antara pemegang polis dengan cara mengumpulkan dan mengelola dana tabarru.
Dana tabarru yang terkumpul digunakan untuk beberapa hal, antara lain: membayar upah jasa (ujrah), klaim risiko, biaya reasuransi, dan surplus underwriting.
Sebagai contoh, dana tabarru digunakan untuk membiayai klaim asuransi seperti pengobatan atau rawat inap di rumah sakit bagi peserta yang terkena penyakit kritis.
Seperti halnya dengan praktik syariah lainnya, terdapat beberapa rukun pada asuransi syariah yang harus dipenuhi agar produk ini dapat disebut sebagai asuransi syariah, yang juga menjadi perbedaan mendasar dengan asuransi konvensional.
Rukun Asuransi Syariah
Asuransi syariah memperoleh fatwa halal dari MUI karena didasarkan pada prinsip-prinsip yang tidak bertentangan dengan hukum agama, berbeda dengan asuransi konvensional yang tidak memiliki dasar yang sama.
Salah satu unsur yang membedakan asuransi syariah adalah rukun asuransi syariah, yang meliputi hal-hal yang harus dipenuhi agar praktik tersebut sah secara syariah.
Lalu, apa saja rukun yang harus ada dalam asuransi syariah? Berikut ini penjelasan lebih lanjut.
1. Aqid
Rukun pertama dalam asuransi syariah adalah Aqid, yaitu pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi, baik yang memberikan hak maupun yang menerima hak. Agar Aqid sah dalam rukun akad, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi.
Persyaratan tersebut antara lain, Aqid harus memiliki kemampuan untuk melakukan transaksi (ahliyah) dan memiliki hak atas objek yang diperdagangkan (wilayah).
2. Ma'qud 'Alaih
Selanjutnya, rukun pada asuransi syariah adalah Ma'qud 'Alaih, yang merujuk pada objek transaksi. Untuk objek transaksi ini, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
Objek transaksi harus ada pada saat akad dilaksanakan.
Objek transaksi harus sepenuhnya dimiliki oleh Aqid dan tidak boleh berupa barang yang haram dalam pandangan Islam.
Objek transaksi harus bisa diserahterimakan, baik saat akad berlangsung atau di waktu lain.
Objek transaksi harus jelas dan teridentifikasi dengan baik.
Objek transaksi harus suci dan bebas dari najis.
3. Shighat (Ijab Qobul)
Shighat atau Ijab Qobul adalah ucapan yang menandakan kesepakatan kedua belah pihak dalam transaksi.
Ijab merupakan pernyataan dari pihak yang menyerahkan objek, sementara Qobul adalah pernyataan dari pihak yang menerima. Terdapat empat syarat yang harus dipenuhi dalam proses Ijab Qobul:
Maksud dari kedua belah pihak harus jelas.
Pernyataan Ijab dan Qobul harus saling sesuai.
Ijab dan Qobul harus disampaikan berurutan.
Harus ada satu majelis akad, dan kedua pihak harus sepakat tanpa ada penolakan atau pembatalan.
Hukum Asuransi Syariah
1. Hukum Asuransi Syariah sesuai Al-Qur’an dan Hadits
Asuransi syariah pada dasarnya berbentuk tolong-menolong, yang sejalan dengan ajaran dalam Al-Qur’an dan Hadits. Beberapa ayat dan hadits yang mendasari prinsip tolong-menolong ini antara lain:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Maidah ayat 2)
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap mereka.” (An-Nisaa ayat 9)
“Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat.” (H.R. Muslim dari Abu Hurairah)
2. Hukum Asuransi Syariah Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Pada awalnya, asuransi konvensional tidak sejalan dengan prinsip syariat Islam. Namun, pada tahun 2001, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa halal terkait asuransi syariah. Beberapa fatwa MUI terkait hal ini adalah:
Fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
Fatwa No. 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah
Fatwa No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah
Fatwa No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru pada Asuransi Syariah
Akad dalam Asuransi Syariah
1. Akad Tabarru’
Akad tabarru’ merupakan kesepakatan antara peserta asuransi untuk memberikan dana sebagai hibah yang disebut dana tabarru atau premi. Dana ini kemudian dikelola oleh perusahaan asuransi untuk membantu peserta lain yang mengalami musibah.
2. Akad Tijarah
Akad tijarah adalah jenis akad yang berorientasi pada kegiatan komersial. Peserta, yang juga bertindak sebagai pemegang polis (shahibul mal), sepakat untuk menyumbangkan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi yang berperan sebagai mudharib (pengelola).
Dana ini akan digunakan untuk investasi, dan keuntungan yang dihasilkan akan dibagi dengan peserta.
3. Akad Wakalah bil Ujrah
Akad wakalah bil ujrah adalah akad yang memberikan kuasa kepada perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta dengan imbalan fee (ujrah).
Berdasarkan akad ini, perusahaan asuransi berperan sebagai wakil yang dapat menginvestasikan dana tersebut, namun tidak memperoleh bagian dari hasil investasi.
4. Akad Mudharabah
Pada akad mudharabah, perusahaan asuransi bertindak sebagai mudharib yang berinvestasi bersama peserta. Keuntungan dari investasi tersebut akan dibagikan sesuai dengan nisbah yang telah disepakati berdasarkan porsi dana masing-masing.
Manfaat Asuransi Syariah
1. Menerapkan Prinsip Tolong-menolong
Seperti yang telah dijelaskan, asuransi syariah berpegang pada prinsip risk sharing (pembagian risiko). Ini berarti bahwa risiko yang ditanggung oleh satu peserta akan menjadi beban peserta lain.
Dana kontribusi yang dibayarkan peserta melalui akad tabarru’ akan dikelola untuk membantu peserta yang sedang menghadapi musibah.
2. Tidak Mengandung Riba
Asuransi syariah dirancang untuk selalu sejalan dengan syariat Islam, salah satunya dengan menghindari riba. Tidak ada premi yang dipertukarkan dengan uang klaim seperti pada asuransi konvensional.
Sebaliknya, asuransi syariah menerapkan prinsip gotong royong, di mana dana hibah yang disalurkan akan digunakan untuk membantu peserta yang mengalami musibah.
3. Premi tidak Hangus
Pada asuransi syariah, premi yang dibayarkan peserta tidak akan hangus meskipun tidak ada klaim selama masa pertanggungan.
Saat masa pertanggungan berakhir, premi yang telah dibayar akan dikembalikan, memperkuat prinsip risk sharing yang diterapkan.
4. Pembebasan Iuran Dasar
Jika peserta mengalami cacat total akibat penyakit atau kecelakaan, asuransi syariah akan membebaskan mereka dari kewajiban membayar iuran dasar. Fasilitas ini diberikan secara cuma-cuma sesuai dengan kesepakatan yang ada.
5. Transparansi dalam Pengelolaan Dana
Dana yang terkumpul dalam asuransi syariah dikelola secara transparan. Nasabah dapat mengetahui alokasi dana mereka, apakah digunakan untuk cadangan klaim atau investasi.
Investasi yang dilakukan juga hanya di perusahaan yang bergerak sesuai dengan prinsip halal dan tidak melanggar syariat.
6. Tidak Ada Perubahan Manfaat Proteksi meski Telat Bayar
Berbeda dengan asuransi konvensional yang memberikan konsekuensi tertentu bagi peserta yang telat membayar, pada asuransi syariah, peserta tetap dapat menerima manfaat asuransi sesuai dengan ketentuan meskipun ada keterlambatan dalam pembayaran iuran.
7. Pengelolaan Berdasarkan Syariat Islam
Seluruh proses mulai dari pengumpulan hingga pengelolaan dana dilakukan dengan mengikuti prinsip-prinsip syariat Islam.
Ini termasuk pemilihan perusahaan tempat dana akan diinvestasikan, di mana dana tidak akan ditempatkan di perusahaan yang menjalankan bisnis bertentangan dengan syariat Islam.
8. Keuntungan Dibagi secara Adil
Pada asuransi syariah, hasil dari investasi akan dibagi kepada para peserta dengan cara yang adil. Pembagian keuntungan ini dilakukan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan bersama sebelumnya.
9. Wakaf
Dalam asuransi syariah, terdapat konsep wakaf, di mana harta yang dimiliki akan diwakafkan untuk diberikan kepada penerima manfaat. Harta yang diwakafkan ini bertujuan untuk memberikan manfaat yang berkelanjutan.
Sebagai penutup, dengan memahami rukun asuransi syariah, kita dapat lebih menghargai prinsip-prinsip dasar yang mendasari operasionalnya dan memastikan praktik yang sesuai dengan syariat Islam.